tag:blogger.com,1999:blog-1257077227738158642024-03-05T03:10:17.841-08:00Media dan jurnalismekumpulan artikel mengenai media dan juranlisme di tanah aireka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.comBlogger51125tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-53077316720071918302011-08-05T19:38:00.000-07:002011-08-05T19:55:12.622-07:00Prinsip-prinsip Dasar Wartawan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYKuxoXxtGVGMIBdiAZlQIRFg9ZxdEXCAqEiKn1CFB1Sg_owJnOl_YO_YmhgMzKVGPDm3cd47oRnblySVNoXFG3xKmF9VkgHYNq6HbEacMXbTYRxMbuSrAVHjprcTsagBYE9mDIcxGasM/s1600/ba_jailed_journalist.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 153px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYKuxoXxtGVGMIBdiAZlQIRFg9ZxdEXCAqEiKn1CFB1Sg_owJnOl_YO_YmhgMzKVGPDm3cd47oRnblySVNoXFG3xKmF9VkgHYNq6HbEacMXbTYRxMbuSrAVHjprcTsagBYE9mDIcxGasM/s200/ba_jailed_journalist.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5637569568974146242" /></a><br />Prinsip-prinsip Dasar yang Harus Diketahui Wartawan dalam Menulis Berita<br />Prinsip-prinsip Dasar yang Harus Diketahui Wartawan dalam Menulis Berita<br />Ada lima syarat menulis berita, yaitu:<br />1.Kejujuran: apa yang dimuat dalam berita harus merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Wartawan tidak boleh memasukkan fiksi ke dalam berita.<br />2.Kecermatan: berita harus benar-benar seperti kenyataannya dan ditulis dengan tepat. Seluruh pernyataan tentang fakta maupun opini harus disebutkan sumbernya.<br />3.Keseimbangan:<br /><span class="fullpost"><br />Agar berita seimbang harus diperhatikan:<br />1.tampilkan fakta dari masalah pokok<br />2.jangan memuat informasi yang tidak relevan<br />3.jangan menyesatkan atau menipu khalayak<br />4.jangan memasukkan emosi atau pendapat ke dalam berita tetapi ditulis seakan-akan sebagai fakta<br />5.tampilkan semua sudut pandang yang relevan dari masalah yang diberitakan<br />6.jangan gunakan pendapat editorial<br />4.Kelengkapan dan kejelasan:<br />Berita yang lengkap adalah berita yang memuat jawaban atas pertanyaan who, what, why, when, where, dan how.<br />5.Keringkasan:<br />Tulisan harus ringkas namun tetap jelas yaitu memuat semua informasi penting.<br /><br />Struktur Berita dan Induk Berita<br />Judul berita sangat penting untuk mengantarkan pembaca masuk ke dalam berita. Ia digunakan untuk merangkum isi berita kepada pembaca mengenai isi berita. Karenanya, penulisan judul berita hendaknya dibuat dengan mengikuti kaidah penulisan judul berita<br />Judul berita memiliki beberapa fungsi, yakni untuk menarik minat pembaca; merangkum isi berita; melukiskan “suasana berita”; menserasikan perwajahan surat kabar.<br />Judul berita sebaiknya sesuai dengan teras berita. Artinya, tidak ada pertentangan antara keduanya. Judul juga sebaiknya memakai kalimat positif serta diusahakan senetral mungkin. Prinsip cover both side (menampilkan dua sisi dalam pemberitaan) diimplementasikan – salah satunya – dalam penulisan judul berita. Selain itu judul berita juga sebaiknya dibuat dengan menggunakan kata-kata yang sederhana dan sejelas mungkin.<br />Teknik Menulis Teras Berita<br />Teras berita adalah modal utama seorang reporter untuk menarik minat pembaca sehingga pembaca akan terus tertarik untuk membaca sampai selesai berita yang ditulisnya.<br />Teras berita yang baik menyampaikan secara ringkas intisari persoalan yang diberitakan. Intisari persoalan adalah fakta yang paling penting dari seluruh fakta dari persoalan itu. Menentukan fakta yang penting adalah sama halnya dengan menentukan nilai berita itu (news value). Pada umumnya sesuatu yang penting itu sekaligus sesuatu yang menarik. Dengan demikian jika penulis telah menemukan fakta terpenting untuk ditampilkan dalam lead, ia tinggal menulis lead itu dengan menarik.<br />Pedoman untuk menulis teras berita adalah: singkat, spesifik, identifikasi dengan jelas, hindari bentuk pertanyaan atau kutipan, beri keterangan waktu dengan tepat dan keterangan dengan tepat. Adapun jenis-jenis berita adalah: ringkas, kutipan, teras berita menunjuk, pertanyaan, deskripsi, latar belakang, kontras, lead memukul, dan lead aneh.<br /><br />Teknik Menulis Tubuh Berita<br />Tubuh berita (news body) merupakan tempat di mana berita terletak. Dalam tubuh beritalah pembaca dapat mengetahui berita yang sesungguhnya, dalam arti bukan rangkuman. Karena tubuh berita menyimpan informasi yang penting, tubuh berita hendaknya ditulis semenarik mungkin, sehingga mampu membuat pembaca terus membaca berita tersebut, namun dengan tetap menjaga keringkasan berita (karena ruang yang terbatas dalam surat kabar).<br />Tubuh berita dapat disusun dengan susunan piramida terbalik, dengan susunan kronologis, maupun dengan susunan di mana informasi penting diletakkan di belakang.<br />Selain teknik penyusunan tubuh berita, membuat berita yang baik juga dapat dilaksanakan dengan memperhatikan kesatuan tubuh berita. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengulangi kata-kata kunci; memakai kata maupun frase transisi yang tepat serta menyusun struktur berita dengan benar dan mengalir.<br />Di samping itu kekuatan tubuh berita dapat pula dibangun dengan menyertakan kutipan, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber berita; menyertakan nama/jabatan sumber berita (attribution); memberi identifikasi yang jelas tentang siapa sumber berita serta menyertakan latar belakang berita.<br />Penerapan Penulisan Berita<br />Setelah mendapatkan fakta-fakta secara lengkap di lapangan, maka pekerjaan berikut adalah menuangkannya ke dalam tulisan yang sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang baik. Pada bagian ini Anda telah mempelajari apa yang harus dipertimbangkan dalam proses pembuatan tulisan jurnalistik, yakni: melaporkan secara menyeluruh, menuliskannya secara sistematis dan berstruktur, menggunakan tata bahasa yang benar dan tepat, hemat, serta menghadirkan intensitas dan warna. Tiga hal yang disebutkan belakangan dapat terpenuhi jika Anda menerapkan prinsip-prinsip bahasa jurnalistik. Terakhir, sebelum Anda menerbitkan tulisan Anda, pertimbangkan akan ketentuan hukum yang berkaitan dengan dunia pers dan kode etik akan menjadikan Anda seorang wartawan yang bijaksana.<br />Analisis Tulisan<br />Setelah mengamati dan menganalisis contoh tulisan jadi yang disiarkan media massa, Anda dapat merasakan betapa sebenarnya tidak mudah untuk membuat tulisan yang baik. Kurangnya informasi yang digali dari lapangan, menyebabkan tidak jelasnya laporan yang ditulis. Informasi yang lengkap pun belum tentu dengan sendirinya menjamin laporan yang dibuat akan baik. Pengabaian prinsip-prinsip penulisan yang dibahas di awal modul ini juga akan membuat laporan yang dihasilkan kurang sempurna. Jebakan lain yang mungkin kurang disadari penulis adalah berlebihnya hasil reportase sehingga penulis merasa sayang untuk membuang keterangan yang tak perlu.<br />Contoh tulisan ini sengaja tidak diperbaiki secara keseluruhan tetapi hanya pada bagian-bagian tertentu saja. Hal ini pertama karena tidak cukupnya keterangan atau fakta untuk membuat perbaikannya karena contoh ini memang diambil dari media massa sehingga berkas laporan reporter atau hasil wawancara dengan narasumber tidak ada kedua, agar tulisan tersebut dapat dijadikan bahan latihan bagi Anda.<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-72314116974665102512011-03-27T20:09:00.000-07:002011-03-27T20:20:43.454-07:00Jenis-jenis Film dokumenter<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinpajxoDr5b-8ythQo_fPqDnFEGeJEWlyoNIf2nbxLZo99gYkqG3OOMdYnsjIAkoabX97W7rqelNGg5vYUgwdVeDtCHPz89cTtp_u5n5TYASAbUcM489aIh0qoOse4TGnnzA3CfZDjsFY/s1600/252047635_d0de938863.jpg"><img style="cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 136px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinpajxoDr5b-8ythQo_fPqDnFEGeJEWlyoNIf2nbxLZo99gYkqG3OOMdYnsjIAkoabX97W7rqelNGg5vYUgwdVeDtCHPz89cTtp_u5n5TYASAbUcM489aIh0qoOse4TGnnzA3CfZDjsFY/s200/252047635_d0de938863.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5588965179712832818" border="0" /></a><br /><span style="font-family:arial;">Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.</span> <span style="font-family:arial;">Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.</span> <span style="font-family:arial;">Dokudrama</span> <span style="font-family: arial;" class="fullpost"><br />Pada perkembangannya, muncul sebuah istilah baru yakni Dokudrama. Dokudrama adalah genre dokumenter dimana pada beberapa bagian film disutradarai atau diatur terlebih dahulu dengan perencanaan yang detail. Dokudrama muncul sebagai solusi atas permasalahan mendasar film dokumenter, yakni untuk memfilmkan peristiwa yang sudah ataupun belum pernah terjadi.<br /><br />Dokumenter Modern<br />Para analis Box Office telah mencatat bahwa genre film ini telah menjadi semakin sukses di bioskop-bioskop melalui film-film seperti Super Size Me, March of the Penguins dan An Inconvenient Truth. Bila dibandingkan dengan film-film naratif dramatik, film dokumenter biasanya dibuat dengan anggaran yang jauh lebih murah. Hal ini cukup menarik bagi perusahaan-perusahaan film sebab hanya dengan rilis bioskop yang terbatas dapat menghasilkan laba yang cukup besar.<br />Perkembangan film dokumenter cukup pesat semenjak era cinema verité. Film-film termasyhur seperti The Thin Blue Line karya Errol Morris stylized re-enactments, dan karya Michael Moore: Roger & Me menempatkan kontrol sutradara yang jauh lebih interpretatif. Pada kenyataannya, sukses komersial dari dokumenter-dokumenter tersebut barangkali disebabkan oleh pergeseran gaya naratif dalam dokumenter. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah film seperti ini dapat benar-benar disebut sebagai film dokumenter; kritikus kadang menyebut film-film semacam ini sebagai mondo films atau docu-ganda.[1] Bagaimanapun juga, manipulasi penyutradaraan pada subyek-subyek dokumenter telah ada sejak era Flaherty, dan menjadi semacam endemik pada genrenya.<br />Kesuksesan mutakhir pada genre dokumenter, dan kemunculannya pada keping-keping DVD, telah membuat film dokumenter menangguk keuntungan finansial meski tanpa rilis di bioskop. Meski begitu pendanaan film dokumenter tetap eksklusif, dan sepanjang dasawarsa lalu telah muncul peluang-peluang eksibisi terbesar dari pasar penyiaran. Ini yang membuat para sineas dokumenter tertarik untuk mempertahankan gaya mereka, dan turut mempengaruhi para pengusaha penyiaran yang telah menjadi donatur terbesar mereka.[2]<br />Dokumenter modern saling tumpang tindih dengan program-program televisi, dengan kemunculan reality show yang sering dianggap sebagai dokumenter namun pada kenyataannya kerap merupakan kisah-kisah fiktif. Juga bermunculan produksi dokumenter the making-of yang menyajikan proses produksi suatu Film atau video game. Dokumenter yang dibuat dengan tujuan promosi ini lebih dekat kepada iklan daripada dokumenter klasik.<br />Kamera video digital modern yang ringan dan editing terkomputerisasi telah memberi sumbangan besar pada para sineas dokumenter, sebanding dengan murahnya harga peralatan. Film pertama yang dibuat dengan berbagai kemudahan fasilitas ini adalah dokumenter karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq sepanjang perang dan dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri.<br />Bentuk Dokumenter Lainnya<br />Film Kompilasi<br />Film kompilasi dicetuskan pada tahun 1927 oleh Esfir Shub dengan film berjudul The Fall of the Romanov Dynasty. Contoh-contoh berikutnya termasuk Point of Order (1964) yang disutradarai oleh Emile de Antonio mengenai pesan-pesan McCarthy dan The Atomic Cafe yang disusun dari footage-footage yang dibuat oleh pemerintah AS mengenai keamanan radiasi nuklir (misalnya, memberitahukan pada pasukan di suatu lokasi bahwa mereka tetap aman dari radiasi selama mereka menutup mata dan mulut mereka). Hampir mirip dengannya adalah dokumenter The Last Cigarette yang memadukan testimoni dari para eksekutif perusahaan-perusahaan tembakau di depan sidang parlemen AS yang mengkampanyekan keuntungan-keuntungan merokok.<br /><br /><br /><br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-27616075715566252232011-02-28T21:38:00.000-08:002011-02-28T21:51:32.154-08:00Televisi Cermin ZamanTulisan ini diambil dari milis Media-Bali:<br /><br />Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group<br /><br />Wartawan-wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka."<br />Beberapa hari sebe lum Metro TV meng udara satu dasawarsa yang lalu,seorang tokoh pertelevisian Indonesia bertanya, "Apakah televisi berita memiliki daya tarik?<br />Sulit untuk membayangkan." Untuk menghindari perdebatan berlarut, pertanyaan itu dibiarkan mengambang, berlalu tanpa jawaban. Sepuluh tahun kemudian terbukti,televisi berita adalah anak zaman. Dia berfungsi mencerdaskan. Pesan-pesan yang disampaikan Metro TV memenuhi kebutuhan penonton sasarannya. Yakni mereka yang menghendaki siaran padat berita dan informasi, sesuai dengan dinamika kehidupan modern.<br /><span class="fullpost"><br />Tidak ada masyarakat yang homogen. Semakin tinggi heterogenitas,semakin banyak memerlukan pilihan dan pengkhususan pelayanan jasa,termasuk jasa penyebaran informasi. Ini yang terbaca oleh tokoh pers Surya Paloh, yang idealisme, nyali, dan visinya mencetuskan gagasan melahirkan TV berita pertama di Indonesia.<br />Menanggapi banjir informasi Dalam era informasi, yang mencemplungkan<br />masyarakat dalam banjir informasi, para pengamat sosial mendapati ada<br />dua hal yang meminta perhatian: <br />1) jenis informasi yang datang dan <br />2)jenis masyarakat penerima informasi. Penerima informasi memiliki konsep yang berbeda-beda mengenai informasi yang diserap, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman masing-masing. Dr Philip Kotler (1931-...), ahli pemasaran, dalam Social Marketing menyatakan bahwa masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan<br />nilainilai yang dianutnya. Selain itu, ada saja kelompok yang secara kronis tidak reseptif terhadap informasi karena pengetahuan mereka demikian minim.<br /><br />Akibatnya, informasi tidak gampang menyentuh perhatiannya. Respons terhadap informasi meningkat kala dia merasa pesan yang disampaikan melibatkan kepentingannya, atau sesuai dengan sikapnya. Masyarakat,kata Kotler, cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapat atau seleranya. Sebaliknya, dia cenderung menyambut gembira informasi yang mengenakkan atau sesuai dengan kebutuhan pikiran dan<br />perasaannya. Tidak mustahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan,ringan, atau bahkan yang merangsang naluri rendah. Kenyataan tersebut mendorong media elektronik TV umumnya menyuguhkan berbagai jenis program dalam satu paket siaran, demi menarik sebanyakbanyaknya penonton. <br />Ini pun suatu pilihan.<br /><br />Dalam kaitan efek siaransiaran televisi terhadap penonton, Dr Juwono Sudarsono, yang juga pakar pendidikan dan komunikasi, pernah mengatakan dalam suatu seminar bahwa masyarakat yang mendapat berbagai macam informasi belum tentu masyarakat yang produktif. Mengutip salah satu edisi majalah bulanan World Monitor, terbitan Christian Science Publishing Society, Juwono kemudian memaparkan tentang sebuah<br />organisasi yang pernah ada di Amerika, Action for Children Television (ACT; 1968-1992). Organisasi tersebut memperjuangkan agar Kongres Amerika mengupayakan pembaharuan dalam rancangan program-program televisi Amerika. Desakan itu diajukan bukan hanya dalam rangka memperbaiki dan membersihkan siaran-siaran untuk orang-orang dewasa yang sempat ditonton anak-anak, melainkan juga dalam usaha meningkatkan daya saing Amerika menghadapi perekonomian negara-negara lain.<br /><br />Karena televisi salah satu media pendidikan yang paling efisien dan cost effective, ACT, sebelum dibubarkan pada 1992, pernah menuntut agar anak-anak Amerika pun dididik dan didayagunakan dalam arti luas supaya memahami tempat dan kedudukan Amerika sebagai kekuatan perekonomian dunia. Dengan kata lain, orientasi siaran televisi<br />hendaknya diarahkan bukan terutama pada hiburan, melainkan pada fungsinya yang utama, yakni `mencerdaskan' masyarakat. Bahwa mediadiharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, agaknya umum disepakati.<br />Betapa besar peran pengelola yang ada di belakang media, umum dimengerti. Seperti kata almarhum Dr Soedjatmoko, yang prihatin menghadapi masa depan, dan kami k u t i p , " Te r k e m b a n g n y a masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telahmengakibatkan perubahan sosial yang demikian pesat dan mendalam<br />sehingga melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lemba ga, termasuk<br />berbagai sistem politik di dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi<br />ketinggalan karena peningkatan kecerdasan dan kompleksitas<br />masyarakatnya sendiri."<br /><br />Retrospeksi wartawan "The press thinks he is Jesus Christ, but he is not." Ucapan yang pernah dilontarkan Jenderal Benny Moerdani (alm)dalam suatu kelompok diskusi itu tidak gampang dilupakan. Bagi wartawan, ucapan itu menyengat, tetapi membuat orang mawas diri.<br />Apakah wartawan bersikap gagah-gagahan?<br />Media massa adalah cermin zaman. Wartawan mengungkap situasi zaman.Bukan hanya hasil pembangunan yang diungkap. Struktur hubungan sosial<br />pada umumnya, jenis-jenis kekuatan/ kekuasaan yang ada, maupun pengaruh tekanan-tekanan institusional dan industri (media) juga<br />diungkap. Media massa jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Untuk mengenalnya, perlu dikenali proses operasionalnya, identitas/ peran wartawan-wartawannya dalam bidang-bidang politik/ ekonomi/budaya dan sosial, apa sumber-sumber kekuatan dan bagaimana aturan main yang dibuatnya maupun yang dibuat orang lain untuknya.<br /><br />Di masa-masa sebelum 1966, idealisme wartawan dianggap menonjol karena<br />pikiran wartawan belum terpengaruh pertimbangan bisnis.Generasigenerasi lama sering berbangga diri bahwa merekalah anakrevolusi yang punya nyali.Namun, rasanya jauh lebih gampang terjun di media tanpamempertimbangkan sisi bisnisnya. Orang-orang pers atau media massa adalah anak zaman.<br /><br />Namun, sejauh apa wartawan larut menjadi anak zaman? Sejauh apa pertimbangan bisnis membuatnya lupa diri? Perhatikan apa yang pernah dikatakan Goenawan Mohamad: "Maklum, di manamana kita melihat mentalitas bayaran--orang-orang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu, dan wartawan. Apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya kira tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak,tapi tak punya kesempatan untuk mempersoalkan benar atau tidaknya mentalitas bayaran itu." Walaupun Goenawan mengatakannya hampir seperempat abad yang lalu, konsep tersebut terbukti masih berlaku sampai sekarang.<br /><br />Singkat kata, wartawanwartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya,bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka; selain kelincahan berpikir sesuai dengan perkembangan situasi.<br /><br />Selamat ulang tahun ke-10 Metro TV.<br /><br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-6777858880150545052011-02-19T20:23:00.000-08:002011-02-19T20:25:26.493-08:00Standar Kerja Production HouseDalam mengerjakan sebuah program ( baca: company profile), diperlukan sebuah standar kerja yang untuk memberikan gambaran tentang apa yang akan dibuat. <br />1. Klien<br />Dalam produksi, klien dapat datang dari personal/ kelompok/ perusahaan ataupun Pemerintah Daerah. Untuk memulai sebuah pekerjaan maka para pihak yang tersebut diatas haruslah membuat kerjsama dalam bentuk tertulis . Kesepakatan antara para pihak sangat penting untuk menjalin kerjasama selanjutnya. <br />2. Penentuan Tema & Lokasi<br />-Tema adalah hal yang paling dari sebuah produksi. Untuk melangkah Pihak Pertama memberikan tema apa yang diberikan, dan untuk selanjutnya dari rumah produksi akan mengkajinya lebih dalam tentang apa yang tersangkut dalam tema tersebut.<br />-Antara para pihak selanjutnya bersama menentukan tempat lokasi dan menentukan kapan akan dilakukan pengambilan gambar.<br /><span class="fullpost"><br />3. Survey <br />Setelah lokasi ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah survey lokasi. Survey dilakukan untuk mempermudah lancarnya kegiatan shooting diantaranya :<br />- Dengan menentukan titik-titik pengambilan gambar maka berbagai <br />hal yang berkaitan dengan perlengkapan dapat dipersiapkan<br />-Untuk melengkapi data/ peralatan, maka rumah produksi harus melakukan pencatatan dalam setiap hal yang diperlukan dalam shooting. <br />-Tentukan kesepakatan dengan Pihak ketiga tentang siapa narasumber yang berkompeten untuk memberikan informasi/ statement.<br />Kemudian tentukan kapan jadwal shooting dilakukan.<br /><br />4. Editing Script <br />Setiap rumah produksi , sebelum terjun ke lokasi shooting, maka buatlah sebuah editing script<br />Editing script adalah hal yang dapat membantu crew dalam melakukan tugasnya.<br />- kameramen: - dengan membaca story board mereka terbantu dalam pengambilan gambar.<br />- teknik : - dengan titik titik yang ditentukan mereka dapat mempersiapkan perlengkapan shooting<br />Di dalamnya berisi gambaran singkat tentang situasi yang akan terjadi dilapangan yang tentunya dapat berubah sesuai dengan perkembangan yang terjadi lapangan.<br />Sebelum terjun ke lapangan, lakukan koordinasi dengan para pihak tentang script yang telah dihasilkan. <br /><br />5. Shooting <br />Koordinasi dengan narasumber yang ada di lapangan sehari sebelumnya. Perubahan kondisi dan situasi pada waktu shooting sering terjadi, jangan lupa untuk selalu mencatat <br />- Ada beberapa hal yang dilakukan saat shooting adalah: <br /> pengambilan gambar secara umum <br /> pengambilan gambar secara insert<br /> wawancara dengan narasumber <br /> dan berbagai gambar pendukung lainnya<br /> Editing script yang telah disusun apakah mengalami perubahan, lakukan pencatatan tentang data-data yang telah didapat <br />.-Jangan lupa untuk mengecek rekaman yang telah dilakukan saat di lapangan, hal ini untuk kepastian hasil yang didapat<br /><br />6. Naskah<br />-Naskah adalah hasil perjalanan dalam shooting yang dituangkan dalam format khusus. <br />-Naskah ini untuk mempermudah proses editing oleh editor dalam menyusun audio dan video acara tersebut. Di dalam naskah ada narasi perjalanan atau informasi yang akan disampaikan. <br />-Lakukan pengecekan/ editing dengan pihak ketiga tentang naskah yang telah dihasilkan untuk memberikan kepuasan semua pihak.<br /><br />7. Editing<br />Hasil shooting yang telah dilakukan selanjutnya akan diedit oleh Editor. Proses editing ditentukan terhadap kesukaran tingkat editing. <br />Urutan diediting<br />- naskah dan kaset rushes masuk editing<br />- capture <br />- voice over<br />- edit<br />- final <br /><br />Untuk hasil yang maksimal, seorang produser harus melakukan koordinasi dengan editor.<br />Pihak Ketiga mendapatkan hasil sebuah dvd untuk melakukan pengecekan tentang apa yang telah dihasilkan. <br />Lakukan revisi untuk memberikan hasil yang maksimal.<br /><br />8. Recording<br />Setelah semuannya OK, lakukan Recording. <br />Recording adalah hal yang dilakukan setelah editing. <br /><br />9. FINAL<br />Pemberian hasil berupa dvd kepada para pihak . Ingatlah lakukan koordinasi dan berkerjasama dengan berbagai pihak untuk memperlancar kegiatan shooting hingga tayang.<br /><br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-43354319402527911242011-02-19T20:18:00.000-08:002011-02-19T20:23:02.257-08:00Bagaimana Membuat Film DokumenterMungkin anda bertanya-tanya bagaimana seharusnya seseorang membuat atau memproduksi film dokumenter. Sekarang ini, dengan peralatan yang murah, setiap orang dapat membuat film. Bisa saja benar demikian, namun, seberapa baik hasilnya? Adakah yang bersedia membayar untuk menontonnya?<br />Berikut adalah beberapa langkah penting yang sangat mendasar dalam membuat film dokumenter:<br />1) Pastikan bahwa kita mempunyai ide yang orisinil. Telusuri daftar-daftar film di festival internasional (khususnya Hot Docs, Silver Docs, Full Frame dan festival film dokumenter lainnya), Internet Movie Database, Indiewire dan wadah film-film lainnya, untuk memastikan bahwa belum ada film dengan topik yang sama pernah dibuat. Hampir semua film yang dibuat oleh para pemula dapat menarik perhatian para distributor film dari keikutsertaanya dalam festival film. Programer festival biasanya hanya mempunyai sedikit tempat untuk film dokumenter. Pastikan bahwa film kita berbeda dari yang lain. Film-film tentang 9/11, Iraq, dan AIDS adalah film-film yang sudah sangat umum.<br /><br /><span class="fullpost"><br />2) Baca. Jika belum pernah sama sekali membuat film maka kita harus banyak belajar. Jangan membuat kesalahan-kesalahan yang tidak penting dan akhirnya membuang-buang uang. Luangkan waktu untuk membaca atau mencari cara untuk mendapatkan masukan dari para profesional.<br />3) Tonton. Carilah tempat-tempat di mana kita bisa menyewa atau menonton film-film dokumenter. Jika menggunakan TV kabel, beberapa saluran (channel) juga dapat menjadi sumber yang baik. Diskusikan film dokumenter favorit bersama teman yang juga menyukai film. Catat hasil diskusi yang penting.<br />4) Riset. Kita harus tahu bagaimana caranya membuat si subyek benar-benar ‘hidup’ dalam film. Pikirkan itu pada saat membuat treatment? hingga ke tampilannya. Pastikan kita sudah mendapatkan kesediaan dari para nara sumber juga izin lokasi di mana kita akan merekam gambar.<br />5) Jika hal-hal yang dibutuhkan sudah terkumpul, mulailah menulis treatment. Ikuti format yang sudah ditetapkan dalam menulis treatment?. Cari buku panduan jika membutuhkan bantuan. Ingatlah bahwa karya kita bermula dari treatment.<br />6) Hitung dan kumpulkan anggaran. Perkirakan berapa wawancara yang akan dilakukan dalam pembuatan film ini, berapa hari yang diperlukan, berapa tim yang akan ikut dalam produksi ini (penata suara, penata kamera, sutradara, editor), perlu tidaknya menyewa alat. Belakangan ini, kebanyakan film dokumenter berformat DVD or DigiBeta. Jangan lupa, izin atau biaya hak cipta dari musik yang akan kita pakai dapat menambah biaya yang cukup lumayan.<br />7) Tambahkan 30% di rencana anggaran kita, sebagai anggaran tidak terduga.<br />8.) Cari investor atau pen-donor. Para pemula biasanya mengajak teman atau keluarganya untuk ambil bagian dalam filmnya. Kita bisa mengajukan proposal ke bermacam-macam yayasan yang memberikan bantuan dana bagi pembuatan film dokumenter. Pada umumnya kita harus menunggu 3-6 bulan dari awal pengajuan proposal untuk mendapatkan jawabannya. Jangan memaksakan diri meminjam uang atau menggunakan kartu kredit untuk membuat film.<br />9) Atau kita bisa juga mempresentasikan treatment kita ke stasiun-stasiun TV yang mempunyai program dokumenter.<br />10) Produksi film.<br />11) Putar film kita di kalangan yang mengapresiasi film dokumenter atau kelompok-kelompok yang merupakan target penonton film kita. Evaluasi film kita melalui angket yang disebarkan saat itu, yaitu meminta penonton untuk menuliskan pendapat mereka tentang film kita. Apakah mereka mengerti, bagaimana suasananya dan pertanyan-pertanyaan lain yang kita anggap penting.<br />12) Tilik kembali evaluasi-evaluasi yang kita dapatkan dan kemudian pikirkan kembali apakah ada yang perlu diubah atau ditambahkan.<br />13) Ajukan film kita ke festival-festival film yang ada. Bisa dimulai dari festival-festival lokal (daerah) dan nasional.<br />sumber : http://www.in-docs.org/<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />Buat Script atau Skenario!<br />KESALAHAN yang selalu terjadi ketika pembuatan video tahunan adalah hal fatal yang sebetulnya merusak kesinambungan kerja. Kenapa? Karena tidak ada arsitektur yang terbentuk sebelum produksi. Sehingga produksi layaknya buta, tidak mendasar. HARUSNYA, tanpa skenario, kalian tidak dapat menentukan budget produksi kepada atasan. Kenapa? Ya rancangan juga belom ada, lalu apa yang mau diajukan?<br />Dalam bukunya “Dongeng Produksi Film Dari Sudut Pandang Manajer Produksi” Karya Tino Saroenggaloe ditulis, “Adalah omong kosong sebuah budget produksi diajukan sementara skenario belum jadi. Itu omong kosong belaka!”. Tapi berhubung tuntutan dari pihak atasan juga saat ini (baca : ketua Buku Tahunan atau pihak Senat/OSIS atau sekolah) kalian harus menentukan budget yang diperlukan, ya sudah apa boleh buat. Tapi berarti disini, kreatifitas kalian akan terpentok masalah dana. Itu yang selalu terjadi, maka mari kita lanjutkan.<br />Lalu, apa guna skenario dalam sebuah film dokumenter? Ya tentu sebagai arahan dari apa yang sudah kita ambil di lapangan. Inilah keuntungan dari sebuah film dokumenter. Kita bisa maju produksi dulu dengan segala keterbatasan kita, lalu naskah disesuaikan dengan apa yang kita miliki/dapat dilapangan.<br />Pada produksi-produksi video tahunan ebelumnya, skenario yang ada hanyalah konsep + narasi. Jadi di dalam tabel konsep (di poin sebelumnya), kita lalu menuliskan narasi yang harus dibacakan oleh pembaca narasi. Maka disini gua gak bisa menyajikan contoh-contoh skenario dari tahun-tahun sebelunya. Apa yang mau disajikan? Lha wong gak ada apa-apa. Jika kita mau bicara benarnya, sebetulnya tidak susah, koq. Tapi kebanyakan dari kalian hanya malas. ELO MALAS JUGA?<br />Lalu bagaimana format skenario video dokumenter? Hehe.. Gini, gini… Bikin tabel 5 kolom. Kolom pertama Nomor Adegan, kolom kedua adalah Visual, kolom ketiga adalah Audio (musik & narasi) sementara kolom ke 5 adalah Durasi. Skenario bisa saja tabel-tabelnya dibuat di komputer, lalu tulisannya ditulis tangan. Tapi apa sulitnya sih diketik dengan komputer?<br /><br /><br />Ini adalah contoh dari format tabel standart video dokumenter (Film Dokumenter, Corporate profile, dsb) :<br /> Potongan naskah dari video tahunan Gonzaga angkatan 16 (2005). <br />Tampak sederhana bukan?! Ya. Tapi inilah yang merancang semua video yang nanti ada. Mungkin memang disini tampak berbentuk garis besar. Tapi inilah yang nantinya akan dikembangkan oleh para panitia pengembang naskah (sutradara, penulis naskah & editor) untuk bisa mengadaptasikan tulisan dan lembaran ini menjadi sebuah karya audio visual.<br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-23212533941716512472011-01-30T21:52:00.000-08:002011-01-30T21:54:55.457-08:00Suguhan Infotainmen yang Menjijikkanartikel ini diambil dari detikNews (Senin, 31/01/2011 08:34 WIB)<br />oleh : Chaidir Anwar Tanjung – <br /><br />Jakarta - Tayangan televisi memang sangat dibutuhkan untuk bisa melihat perkembangan yang terjadi di seluruh dunia ini tentunya lewat siaran beritanya. Namun kita akan muntah melihat tayangan infotainmen yang menjijikkan itu.<br />Tayangan hiburan di tanah ini memang sangat merebak. Kabarnya tayangan hiburan seperti sinetron atau tayangan perselingkuhan para artis dapat mendongkrak rating televisi dibanding siaran berita. Pemilik stasiun televisi tidak pedulikan dampak buruk dari tayangan yang selalu mengumbar kebohongan dan mengajari anak bangsa ini untuk berkhayal atas karya Rab Pun Jabi dan sehabitatnya.<br /><span class="fullpost"><br />Tayangan hiburan seakan sudah melabrak sejumlah aturan sosial yang berlaku bagi kita masyarakat Timur. Tidak sedikit, kisah sinetron kadang menampil cerita asmara yang tidak mendidik. Kisah seorang wanita hamil sebelum nikah, seakan dianggap hal yang biasa. Padahal satu sisi, sampai sekarang ini, anak lahir di luar nikah masih dianggap aib bagi kalangan masyarakat Indonesia.<br /><br />Atau kita juga masih disuguhi dagelan lawakan picisan yang dimainkan para artis. Masih saja, lawakan itu dianggap lucu kalau berbicaranya mengarah ke selangkangan. Padahal melawak bukan harus berbicara seksual atau ungkapan yang menyerempet dalam bahasa yang tak senonoh. Tidak sedikit kita disuguni dagelan porno yang dianggap<br />menggelikan.<br /><br />Dagelan kalimat 'kotor' kadang membuat kita gelisah untuk melihatnya. Apa lagi di sekeliling kita ada keluarga yang ikut bersama menonton. Kadang kita terpaksa pura-pura mengalihkan perhatian karena di sebelah ada orangtua, atau mertua kita, atau anak-anak kita.<br /><br />Sebenarnya sudah banyak masyarakat melakukan aksi protes atas tayangan yang dianggap tidak lagi mematuhi tata krama di republik ini. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun tidak berdaya melihat tayangan hiburan yang tidak mendidik itu.<br /><br />Satu sisi ketika KPI memberikan teguran terhadap siaran infotainmen tadi, dengan mudahnya pemilik siaran mengganti nama program tersebut. Padahal maksud dari teguran itu agar tayangan dapat mengubah tampilan yang lebih elegan dan pantas untuk ditonton semua kalangan. Tapi konyolnya, si pemilik siaran dengan mudah merubah nama programnya. Misalkan, Empat Mata digani nama Bukan Empat Mata. Ini contoh kecil betapa ngeyelnya pemilik siaran itu.<br /><br />Ada juga jenis hiburan yang disebut-sebut mengarah ke religi. Tayangan itu juga menampilkan sosok seorang ustadz yang bertugas untuk menobatkan seseorang dari jalan yang sesat. Tapi tetap saja tayangan ini justru menyesatkan masyarakat. Tayangan itu hanya bohong-bohongan yang penuh skenariokan sedemikian rupa. Yang kita kesalkan, mengapa sosok seorang ustadz harus terlibat dalam kebohongan publik itu?<br /><br />Di sinilah kita meminta tanggung jawab moral pemilik televisi di Tanah Air kita. Jangan hanya mengejar rupiah lantas semuanya harus dihalalkan walau melabrak tatanan sosial kehidupan kita.<br /><br />*) Chaidir Anwar Tanjung, wartawan detikcom.<br /><br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-85099707275718362082010-11-17T06:52:00.000-08:002010-11-17T06:57:10.032-08:00Memahami Karakteristik Media TelevisiPada bagian ini anda akan diajak untuk lebih memahami lebih jauh tentang media televisi, baik itu melalui karakteristik televisi sebagai media massa maupun karakteristik teknis dari televisi sebagai media visual gerak.Pemahaman tentang karakteristik ini dianggap penting, karena dalam karakteristik ini akan dibahas hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pengembang program televisi, baik itu sebagai penulis naskah maupun pelaksana produksi.Bagi penulis naskah program televisi, ia akan dapat memilih materi yang cocok untuk ditelevisikan dan memaksimalkan potensi televisi sebagai media. Sedangakan bagi pelaksana produksi ia dapat mengantisipasi hal-hal yang menjadi keterbatasan televisi sebagai media, khususnya keterbatasan dari segi teknis. Oleh karena itu sekali lagi, dengan mengenal secara baik karakteristik media televisi akan membantu dalam mewujudkan suatu program televisi yang bermutu.<br /><span class="fullpost"><br />Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dijelaskan satu persatu.<br /><br />Karakteristik televisi sebagai media massa<br /><br />Berbeda dengan penonton film, penonton televisi mempunyai karakteristik yang agak unik, karena masing-masing mempunyai kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Selain itu penonton televisi (broadcast ) tersebar di mana-mana. Penonton televisi boleh dikatakan bebas, artinya sesorang menonton televisi bukan karena paksaan tetapi karena tertarik dengan suatu program tayangan. Mungkin program yang ditayangkan sesuai dengan kebutuhannya, mungkin juga karena tidak ada hiburan lain. Namun sebagai seorang (calon) pengembang program televisi, anda harus menyadari sepenuhnya keaneka ragaman jenis dan sifat penonton ini, karena tidak mungkin kita dapat membuat program yang memenuhi kebutuhan semua khalayak. Untuk mengatasai keaneka ragaman tersebut maka sebaiknya tentukanlah satu kelompok sasaran yang memiliki sifat, karakter dan latar belakang yang sama.<br />Bila anda sudah menentukan sasaran yang jelas, usahakanlah meraih perhatian mereka semaksimal mungkin melalui setiap gamabar yang terlihat dan suara yang terdengar. Atau dengan kata lain, setiap gambar , setiap kata dan bunyi yang kita bangun harus ada maksudnya dan mampu menarik perhatian penonton.<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-12151308753740618202010-11-03T20:06:00.000-07:002010-11-03T20:10:36.135-07:00Bagaimana Menulis Program TV/VideoProduksi sebuah program video dan televisi selalu dimulai dari ide atau gagasan yang kemudian dituangkan kedalam sebuah naskah atau script. Naskah merupakan sebuah landasan yang diperlukan untuk membuat sebuah program video dan televisi apapun bentuknya. Penulisan sebuah naskah program video dan televisi yang didasarkan pada sebuah ide biasanya mempunyai tujuan yang spesifik yaitu :<br />• Memberi informasi (to inform)<br />• Memberi inspirasi (to inspire)<br />• Menghibur (to entertain)<br />• Propaganda<br />Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana menulis sebuah naskah program televisi yang mencakup langkah-langkah yang perlu ditempuh, bentuk naskah, format program dan cara-cara penulisan naskah. Sebelum mempelajari lebih jauh tentang penulisan naskah program video, Anda terlebih dahulu perlu mengetahui fungsi naskah.<br /><span class="fullpost"><br />FUNGSI NASKAH<br />Sebuah naskah mempunyai peran sentral dalam produksi sebuah program video dan televisi. Fungsi naskah dalam produksi program video dan televisi adalah sebagai berikut:<br />• Konsep dasar (basic concept)<br />• Arah (direction)<br />• Acuan (reference)<br />Sebuah naskah adalah ide dasar yang diperlukan dalam sebuah produksi program video. Kualitas sebuah naskah sangat menentukan hasil akhir dari sebuah program. Sebuah naskah pada umumnya berisi gambaran atau deskripsi tentang pesan atau informasi yang disampaikan seperti alur cerita, karakter tokoh utama, dramatisasi, peran/figuran, setting, dan property atau segala hal yang berkaitan dengan pembuatan sebuah program video dan televisi.<br />Sebuah naskah pada umumnya diganakan sebagai dokumen yang dapat mengarahkan sutradara dan kerabat kerja (crew) dalam bekerja menyelesaikan produksi program video. Naskah sebuah program video berisi beberapa informasi tentang adegan yang melibatkan aktor, setting dan property. Sutradara dan kerabat kerja perlu mematuhi isi dan alur cerita yang terdapat dalam sebuah naskah<br />Sebuah naskah dapat digunakan sebagai referensi oleh sutradara dan kerabat kerja untuk mewujudkan sebuah ide atau gagasan menjadi sebuah progam video yang komunikatif. Semua upaya kreatif dalam produksi dari sutradara dan kerabat kerja harus mengacu kepada sebuah naskah. <br />LANGKAH-LANGKAH PENULISAN NASKAH<br />Langkah penulisan sebuah program video biasanya terdiri dari serangkaian kegiatan yaitu :<br />• Merumuskan ide<br />• Riset<br />• Penulisan outline <br />• Penulisan sinopsis<br />• Penulisan treatment<br />• Penulisan naskah<br />• Reviu naskah<br />• Finalisasi naskah<br />Ide sebuah cerita yang akan dibuat menjadi program video dan televisi dapat diambil dari cerita yang sesungguhnya (true story) atau non fiksi dan rekaan atau fiksi. Banyak sekali sumber ide yang dapat dijadikan inspirasi untuk menulis sebuah script video dan televisi. Misalnya, novel, cerita nyata, dan lain-lain. Film JFK merupakan contoh film yang digali dari peristiwa terbunuhnya salah seorang presiden termuda di Amerika Serikat. Oliver Stone, penulis sekaligus sutradara menggunakan banyak sumber informasi untuk membuat film tersebut sehingga dapat bertutur secara objektif.<br />Riset sangat diperlukan setelah Anda telah menemukan sebuah ide yang akan dibuat menjadi sebuah program. Riset dalam konteks ini adalah suatu upaya mempelajari dan mengumpulkan informasi yang terkait dengan naskah yang akan ditulis. Sumber informasi dapat berupa buku, koran atau bahan publikasi lain dan orang atau narasumber yang dapat memberi informasi yang akurat tentang isi atau substansi yang akan ditulis.<br />Setelah memahami hasil riset atau informasi yang terkumpul, anda dapat membuat kerangka atau outline dari informasi yang akan Anda tuangkan menjadi sebuah script. Outline pada umumnya berisi garis besar informasi yang akan Anda akan tulis menjadi sebuah script. <br />Langkah selanjutnya adalah membuat sinopsis atau deskripsi singkat mengenai program yang akan Anda tulis. Sinopsis dan outline akan membantu memfokuskan perhatian Anda pada pengembangan ide yang telah Anda pilih sebelumnya. Penulisan sinopsis harus jelas sehingga dapat memberi gambaran tentang isi program video atau televis yang akan kita buat.<br />Menulis naskah harus didasarkan pada rencana yang telah dibuat yang meliputi outline, synopsis dan treatment. Seorang penulis harus memiliki kreatifitas dalam mengembangkan treatment menjadi sebuah naskah. Treatment yang ditulis dengan baik merupakan fondasi yang kokoh yang diperlukan untuk menulis sebuah naskah. Sebuah treatment harus berisi deskripsi yang jelas tentang lokasi,waktu, pemain, adegan dan property yang akan direkam ke dalam program video. Treatment juga menggambarkan tentang sistematika atau sequence program video atau televisi yang akan diproduksi.<br />Penulisan sebuah naskah harus didasarkan pada treatment yang dibuat. Walaupun dalam menulis naskah penulis dapat melakukan perubahan, tapi sebaiknya perubahan yang dilakukan tidak merupakan perubahan yang bersifat substantif. Perubahan sebaiknya bersifat kreatif dan tidak mengubah substansi program. Oleh karena itu treatment harus kokoh dan jelas. Dalam menulis Penulis harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan naskah yang benar.<br />Draf naskah yang telah selesai ditulis perlu ditelaah untuk melihat kebenaran substansinya dan juga cara penyampaian pesannya. Draf naskah harus ditelaah oleh orang yang mengerti substansi isi program (content expert) dan ahli media (media specialist).<br />Finalisasi naskah merupakan langkah akhir sebelum naskah diserahkan kepada produser dan sutradara untuk diproduksi. Naskah final merupakan hasil revisi terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh content expert dan ahli media.<br />BENTUK PROGRAM<br />Bentuk program dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau isi program kepada pemirsa (audience). Bentuk program yang digunakan untuk menayangkan program video dan televisi sangat beragam yaitu:<br />• Drama<br />• Dokumenter<br />• Talk show<br />• Demo<br />• Musikal <br />• Quiz<br />• Features<br />Drama<br />Inti dari sebuah program video dan televisi bebentuk drama adalah adanya konflik dari orang – orang yang terlibat (pelaku) di dalamnya. Program berbentuk drama biasanya dimulai dengan mengenalkan karakter dari orang – orang yang terlibat di dalamnya yang kemudian diikuti dengan konflik yang dibangun secara dramatik yang melibatkan para pelaku tersebut. Konflik ini biasanya diselesaikan pada akhir cerita. Penyelesaian konflik pada akhir cerita dapat berupa happy ending atau sebaliknya.<br />Dokumenter<br />Dokumenter adalah program yang bercerita tentang suatu peristiwa yang telah berlangsung sebelumnya. Contoh film dokudrama yang kita kenal adalah Pengkhianatan G-30S PKI yang digarap oleh sutradara Arifin C. Noer, Pearl Harbour karya Jerry Bruckheimer dan JFK yang ditulis dan disutradarai oleh Oliver Stone. Film tersebut merupakan contoh – contoh film yang dikemas dengan menggunakan bentuk dokumenter.<br />Talk Show<br />Program talk show adalah program yang menampilkan pembicara, biasanya lebih dari satu orang, untuk membahas suatu thema atau topik tertentu. Program dengan format talk show biasanya dipandu oleh seorang moderator. Agar program talk show dapat menarik perhatian audience maka pembicara yang terlibat di dalam program harus memiliki latar belakang yang berlainan, pro dan kontra, terhadap topik yang dibahas.<br />Demo<br />Contoh program berbentuk demo adalah program masak memasak atau membuat kue dan tip otomotif. Program demo biasanya membahas resep atau cara yang dipraktekan secara procedural - tahap demi tahap. Melalui program berbentuk demo, pemirsa dapat mempelajari dan menerapkan suatu keterampilan (skill).<br />Musikal<br />Program musikal merupakan program yang menampilkan acara musik dan tarian sebagai hiburan. Tentunya Anda sering melihat program musikal yang ditayangkan di stasiun televisi. Banyak kemasan program yang digunakan oleh produser televisi untuk menayangkan program musikal. MTV program misalnya selalu menayangkan klip-klip video musik dari penyanyi terkenal untuk pemirsa kaum muda.<br />Quiz<br />Bentuk program lain yaitu quiz. Saat ini kita dapat melihat banyak sekali program TV yang berbentuk quiz. Program berbentuk quiz biasanya berisi tantangan yang melibatkan pesertanya atau bahkan pemirsa untuk menjawab tantangan tersebut. Peserta yang berhasil menjawab tantangan akan memperoleh reward (hadiah) sebagai imbalan. Contoh program berbentuk quiz yang sangat dikenal yaitu Berpacu dalam melodi yang mengharuskan kontestan atau peserta menebak judul atau pencipta sebuah lagu berdasarkan penggalan nada yang dimainkan. Sekarang ini banyak quiz interaktif yang memeneri kesempatan audience terlibat langsung dengan program yang ditayangkan.<br />Features<br />Features merupakan program yang berisi segmen-segmen yang dikemas dalam bentuk penyajian yang bervariasi. Sebuah program berbentuk features biasanya membahas suatu topik yang menarik dengan menggunakan beberapa bentuk penyajian atau pendekatan program.<br />BENTUK NASKAH<br />Bentuk naskah dapat diklasifikasikan berdasarkan kelengkapan informasi yang terdapat didalamnya yaitu:<br />• Kerangka naskah (Rundown script)<br />• Semi naskah (Semi script)<br />• Naskah penuh (Full script)<br />Rundown script adalah naskah yang berisi hanya garis besar (outline) dari informasi yang akan disampaikan kepada pemirsa. Sebuah rundown script pada umumnya memerlukan improvisasi dari presenter atau ahli (expert) yang akan muncul didalam program. Semi script adalah naskah yang sudah lebih rinci dari pada rundown script. Sedangkan full script adalah adalah naskah yang berisi informasi lengkap dan rinci tentang program yamg akan diproduksi. Dalam sebuah full script terdapat informasi yang rinci tentang pelaku, adegan. Setting dan property.<br /> <br />Daftar Pustaka<br />Swain, D.V. dan Swain, J.R. (1988). Film Scriptwriting : A Practical Manual. Boston : Focal Press.<br />Brady, J. (1981) The Craft of the Screenwriter. New York : Simon & Schuster.<br />Blum, R.A. (1984). Television Writing from Concept to Contract. London : Focal Press<br /><br /><br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-45316019958723442742010-02-13T17:51:00.000-08:002010-11-03T08:09:22.229-07:00Mengenal Sistem Televisi Kabel<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg036OQJhXzVbE2u55VAsLV-oX2XvX_WtVBF8spVq-VipdHJyNXkKGDpbK2JIdD42ml1FD-VSBIjk5QP4LMij3tlmiBTny7WEyicVM8Xw9kiYNgn-1rhCDjcrOPok_lN0KLp6GMX3XxYxw/s1600/images.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 200px; height: 176px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg036OQJhXzVbE2u55VAsLV-oX2XvX_WtVBF8spVq-VipdHJyNXkKGDpbK2JIdD42ml1FD-VSBIjk5QP4LMij3tlmiBTny7WEyicVM8Xw9kiYNgn-1rhCDjcrOPok_lN0KLp6GMX3XxYxw/s200/images.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5535334984591329426" border="0" /></a><br />Sering banget kita mendengar orang menyebut soal TV kabel. Apa sih bedanya dengan TV nonkabel?<br />Siaran televisi (TV) kabel memang sudah menjadi bagian hidup sebagian besar masyarakat Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, hal itu masih jadi konsumsi yang cukup mahal. Dengan kondisi: jumlah operator sedikit, hanya terdapat di beberapa kota besar (seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya), serta jumlah pelanggan terbatas di masyarakat kelas atas. Sebenarnya, seperti apa sih TV kabel itu?<br />Sesuai dengan namanya, kabel merupakan media penghubung antara operator siaran TV dan pelanggan. Sistem TV kabel yang pertama (dibuat pada tahun 1948) menggunakan kabel jenis twin lead. Kabel ini berbentuk pita seperti yang dipasang pada TV hitam putih. Sistem berikutnya (dibuat tahun 1950) telah menggunakan kabel coaxial. Kabel coaxial tersusun dari konduktor dalam yang diselimuti isolator dan konduktor luar, seperti yang dipasang antara antena dan pesawat TV zaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, dimanfaatkan juga jaringan microwave, satelit, dan kabel serat optik.<br /><span class="fullpost"><br />Perjalanan TV kabel<br /><br />Sebenarnya TV kabel pertama dibangun untuk mengatasi kesulitan menerima siaran televisi yang dialami oleh daerah dengan penerimaan sinyal buruk. Biasanya sebuah antena dipasang di menara yang terletak di puncak gunung atau tempat-tempat tinggi lain di daerah itu. Kemudian, kabel digunakan untuk menghubungkan antena dengan pesawat TV di beberapa rumah sekitarnya. Tahun 1948, Ed Parson yang tinggal di Astoria, Oregon, membuat sistem community antenna television (CATV) dengan media kabel twin-lead dan dipasang dari satu atap rumah ke atap rumah lain. Sementara itu, pada tahun 1950, Bob Tarlton membangun sistemnya di Lansford, Pennsylvania, dengan menggunakan kabel coaxial yang dipasang pada tiang. Ia mendapat hak monopoli di kotanya dan menyiarkan tiga saluran bagi pelanggannya.<br />Ternyata kesulitan penerimaan siaran televisi tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil, tetapi juga di kota-kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi. Karena itu, TV kabel juga berkembang di daerah perkotaan. Selain itu, semakin lama tidak hanya sekadar menjadi sambungan ekstensi dari siaran TV lokal saja, tapi sudah mampu memberikan layanan yang dapat menyaingi siaran TV lain.<br />Melihat perkembangan itu, Federal Communication Commision (FCC) membuat batasan bagi TV kabel untuk menerima siaran televisi jarak jauh. Pada awal tahun 1970, FCC memperkuat kebijakan tadi dengan membuat undang-undang yang membatasi kemampuan operator TV kabel dalam menyiarkan: film, sekilas peristiwa, dan lain-lain. Akan tetapi, pada tahun 1972 dikeluarkan kebijakan deregulasi bertahap untuk TV kabel. Akibatnya, aturan-aturan semakin diperlonggar. Hal itu membangkitkan industri pembuat kelengkapan televisi kabel di tingkat lokal dan federal. Dengan demikian, terjadilah pertumbuhan layanan siaran dan penambahan pelanggan. Penggunaan teknologi microwave, komunikasi satelit, dan kabel serat optik sebagai media tambahan juga meningkatkan pertumbuhan layanan. Selain itu, diperoleh pula peningkatan saluran dengan cara kompresi data video digital.<br />Di Indonesia sendiri TV kabel muncul pada awal tahun 1990-an. Saat ini sedikitnya ada tiga operator yang masih terpaku untuk melayani kalangan tertentu di beberapa kota besar. Biaya penyambungan dan langganan yang tinggi membuat belum banyak orang berminat menjadi pelanggan. Belum lagi jumlah stasiun televisi yang tampaknya masih dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat kita. Apalagi dengan munculnya TV-TV lokal yang menambah semarak ragam siaran.<br /><br />Diagram sistem<br /><br />Diagram sistem TV kabel dari head-end ke pelanggan ditunjukkan dalam gambar. Headend adalah sumber dari sinyal yang dipancarkan ke sistem kabel. Headend tidak hanya menerima sinyal siaran lokal untuk dipancarkan saja, tetapi juga dapat menerima sinyal-sinyal: siaran dari kota yang jauh, siaran dari satelit, dan dari gelombang microwave. Karena itu, headend dilengkapi dengan perangkat penunjang, seperti menara dan berbagai jenis antena, termasuk antena parabola, untuk menerima siaran dari satelit.<br />Selain itu, headend bisa mempunyai program siaran sendiri sehingga membutuhkan studio yang memadai untuk menghasilkan program siarannya. Untuk aplikasi ini, headend dapat mengatur sendiri waktu dan saluran yang diperlukan. Adapun waktu dan saluran untuk community access biasanya dipercayakan kepada franchise lokal. Pada umumnya sistem TV kabel tidak dapat melakukan editing kontrol terhadap kualitas atau isi program-program community access.<br />Sistem kabel terdiri atas dua bagian, yaitu sistem trunk dan sistem distribusi. Sistem trunk berfungsi untuk mengirim sinyal ke kelompok-kelompok pelanggan. Perangkat-perangkat dalam sistem trunk adalah kabel trunk dan trunk amplifier. Trunk amplifier berfungsi untuk menguatkan sinyal yang melemah akibat panjangnya kabel. Ia dipasang pada tiap jarak tertentu. Jumlah amplifier yang dipasang pada kabel dibatasi oleh nilai noise dan distorsi pada amplifier bersangkutan. Kabel yang bermutu baik akan mengurangi jumlah amplifier untuk panjang kabel yang sama.<br />Sistem distribusi berfungsi untuk mendistribusikan sinyal ke tiap-tiap rumah dalam satu kelompok pelanggan. Antara sistem trunk dan sistem distribusi dipasang interface yang disebut bridger amplifier. Perangkat pendukung sistem distribusi adalah kabel distribusi, line extender amplifier, dan tap. Fungsi line extender amplifier pada sistem distribusi serupa dengan fungsi trunk amplifier pada sistem trunk. Tap berfungsi sebagai titik pengambilan sinyal atau percabangan untuk kabel drop yang dihubungkan dengan perangkat pada pelanggan. Berbeda dengan kabel distribusi yang berstruktur kaku, kabel drop mempunyai struktur yang fleksibel/lentur.<br />Di rumah pelanggan, keluaran kabel drop dihubungkan dengan TV atau VCR (video cassete recorder). Tetapi, jika TV atau VCR pelanggan tidak dapat menemukan seluruh kanal yang ada (karena VCR tidak kompatibel dengan sistem kabel), diperlukan converter yang berfungsi sebagai interface/penerjemah antara TV dan sistem kabel. Biasanya, converter telah disediakan oleh operator TV kabel. Jika sinyal siaran yang dikirim oleh headend melalui proses pengacakan (scrambling), pada converter harus dipasang descrambler.<br />Pita frekuensi dan kanal<br />Pita frekuensi sinyal operasi TV kabel relatif lebar, berkisar 50 MHz sampai dengan 450 MHz, bahkan hingga 1 GHz. Pita frekuensi selebar itu dibagi menjadi banyak kanal. Lebar tiap kanal disesuaikan dengan lebar pita video standar yang sebesar 4,2 MHz. Semakin banyak kanal yang digunakan, semakin lebar pula pita frekuensi yang diperlukan. Kanal-kanal ini dikirim secara serentak lewat kabel. Masalahnya, walaupun sistem TV kabel mempunyai pita frekuensi yang lebar, pesawat TV yang digunakan tidak seperti itu. Karenanya, sistem ini menyediakan beberapa kanal (umumnya kanal 2,3,4,5) sebagai kanal rujukan bagi pesawat TV atau VCR. Di kanal itu pesawat TV berfungsi sebagai monitor dan pemilihan siaran dilakukan dengan mengatur tuner/penala pada converter.<br />Perkembangan sistem<br />Munculnya teknologi-teknologi terbaru dan meningkatnya kebutuhan penganekaragaman manfaat sistem TV kabel menyebabkan sistem ini berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangannya terjadi pada perangkat keras maupun lunak. Di antaranya adalah penggunaan gelombang microwave, jika menara penerima siaran jarak jauh terletak jauh dari headend. Jika pemasangan kabel trunk atau distribusi sulit dilakukan atau mahal, maka gelombang microwave dapat digunakan sebagai pengganti.<br />Munculnya kabel serat optik, yang dapat dipakai pada sistem trunk maupun distribusi, menghasilkan sinyal siaran yang lebih baik karena tahan terhadap gangguan cuaca atau interferensi dari gelombang radio lain. Penggunaan kabel serat optik juga mengurangi jumlah amplifier yang digunakan karena kabel serat optik mempunyai nilai rugi kabel yang rendah. Diterapkannya sistem digital pada perangkat-perangkat siaran maupun pesawat TV juga menimbulkan banyak perubahan. Teknik kompresi video digital membuat kapasitas sistem menjadi lebih tinggi sehingga memperbanyak jumlah kanal. Teknik-teknik Forward Error Correction (FEC) yang dapat memperbaiki kesalahan data akibat noise juga dimanfaatkan untuk mendapatkan laju transmisi yang lebih tinggi.<br />Yang cukup baru adalah pemanfaatan sistem kabel untuk Internet. Aplikasi ini bisa terjadi jika headend menambah fungsinya sebagai gateway Internet. Headend juga menjadi server untuk layanan web, e-mail, dan e-news. Untuk itu, sistem kabel harus menyediakan kanal dua arah bagi pengiriman dan penerimaan data dengan sistem LAN (Local Area Network). Pengembangan-pengembangan lain sudah tentu harus terus dilakukan, mengingat banyak pesaing yang selalu berusaha menjadi "one stop server/operator" yang dapat memenuhi segala kebutuhan komunikasi sekaligus hiburan bagi pelanggannya. Persaingan bisa muncul dari sistem ponsel dengan TV selulernya yang lebih mobile atau saluran telepon tetap yang dapat dikembangkan menjadi pembawa sinyal siaran video. Dengan kelebihan-kelebihannya, sistem-sistem ini pastilah menjadi pesaing kuat bagi TV kabel.<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-28799928025337267002010-02-13T17:48:00.000-08:002010-02-13T17:49:52.546-08:00Istilah-istilah dalam Dunia Per-TelevisianACTION yang kita lihat di layar<br />“ACTION!” aba-aba sutradara untuk memulai shooting<br />ACTUALITY suara terekam di lokasi – “suara asli”<br />ANGLE garis spanjang mana kamera “melihat” subyek – sudut pandang kamera terhadap subyek<br />ARCHIVE library untuk semua pita video dan naskah<br />AUDIO suara – bagian dari program <br />BACKHEADS ringkasan cerita utama sesaat sebelum program berakhir. Juga dikenal sebagai backheadlines<br />BACK LIGHTING memberi lighting pada subyek dari belakang, baik secara alami (subyek membelakangi matahari) atau dengan lighting buatan<br />BACK ANNOUNCE Announcement yang dibuat setelah video rekaman atau interview, biasanya seperti : “itu tadi Bapak/ Ibu…”<br />BARCODE Garis untuk menandai awal dan akhir time code pada cerita<br /><span class="fullpost"><br />BETACAM video tape penyiaran profesional dalam oksida dan metalik<br />BOOM MIC Mikrofon diposisikan untuk menangkap dialog, suara, dll dari berbagai angle<br />BRIDGE OR LINK Kata-kata, musik atau cara tertentu untuk menyambungkan segmen-segmen dalam cerita<br />CALL SHEET lembaran kertas operator kamera, memuat informasi tentang lokasi, konsep cerita, waktu - kapan kru harus bertemu serta beberapa shot khusus yang diperlukan<br />CAMERA SHOTS Aerials : diambil dari udara<br />Angle shoot : shooting melalui angle yang tidak biasa<br />Big close up : Shot kepala. Cukup ketat.<br />Close- up : biasanya shot kepala dan bahu<br />Crab : memindahkan kamera dengan menyamping. Disebut juga dengan tracking<br />Dolly : pergerakan halus kamera menuju atau menjauhi subyek. Biasanya merupakan alat bergerak<br />Extreme Close up : shot wajah, misalnya Cuma dari mulut ke mata.<br />Focus Pull : metode dimana objek/ adegan dijadikan fokus oleh kamera atau perubahan fokus dari foreground menjadi background<br />High shoot : seringkali disebut top shot, shot dari atas subyek.<br />Long Shot : shot seluruh obyek (misalnya dari kepala ke kaki)<br />Medium Close up : shot dimana kepala, bahu dan dada bagian atas memenuhi frame. Dikenal juga sebagai MCU.<br /><br />Medium Long Shot : shot kira-kira sepertiga kebawah dari frame paling atas dan terpotong kira-kira sampai lutut.<br />Medium shot : shot dari kepala sampai pangkal paha<br />Noddies : shot reaksi dari pewawancara (tidak selalu berupa anggukan). Diperlukan pada saat editing.<br />Pan : pergerakan kamera ke kiri atau kanan dari posisi diam. <br />P.O.V : point of view – dimana kamera diibaratkan pada posisi si tokoh cerita<br />Reverses : Shot pewawancara ketika mengajukan pertanyaan. Dilakukan setelah interview. .dikenal juga sebagai cutaway.<br />Reverse two shot : Sama dengan diatas, tapi diambil dari over shoulder-nya talent, dengan pewawancara sedang mendengarkan/ mengajukan pertanyaan.<br />Tilt : pergerakan kamera naik/ turun dari posisi diam<br />Tracking shots : Shot dari kamera bergerak untuk menjaga subyek yang (juga) bergerak, agar tetap pada posisinya di layar<br />Two shot : shot pewawancara dengan yang diwawancarai<br /><br />CANS headphones<br />CHROMAKEY Suatu metode menyisipkan gambar secara elektronik dari kamera atau sumber gambar ke gambar yang dibuat oleh kamera lainnya, misalnya grafik dibelakang presenter news.<br />CONTINUITY <br />CONTROL ROOM Ruangan tempat sutradara mengendalikan studio<br />COPY Setiap cerita tertulis (lihat : script)<br />COUNTDOWN Sejumlah nomer dengan urutan mundur pada awal program<br />CREDIT <br />CU Close up<br />CUE Tanda untuk memulai sesuatu<br />CUT Pergantian shot secara cepat, dari shot satu ke yang lainnya.<br />“CUT” Perintah sutradara untuk menghentikan shooting<br />CUTAWAY Shot “reaksi”, sebuah shot yang dapat menarik perhatian sementara dari adegan utama. Dapat digunakan untuk menutupi lompatan waktu atau memperpendeh sequence (lihat :Reverse Shot)<br />CUTTINGS LIBRARY Perpustakaan referensi untuk menyimpan kliping suratkabar. <br />DEEP FOCUS Forground, middle ground dan background diperlihatkan dengan jelas.<br />DIRECTOR (NEWS) Orang yang bertanggungjawab untuk transmisi dari ruang kontrol. Mungkin juga terlibat dalam pra pengemasan cerita.<br /><br />DISSOLVE Transisi dari satu gambar ke gambar yang lain. Disebut juga mix.<br />DOWNLINK Alur gambar dan suara dari satelit ke stasiun penerima<br />DOUBLE EXPOSURE Dua gambar terpisah yang nampak secara simultan di layar. <br />DUB Menduplikasi suara atau video atau untuk menyisipkan suara tambahan dalam sebuah audio track<br />DUBBING Penyesuaian antara suara terekam dengan gerakan bibir si aktor atau dengan adegan film(sepertihalnya dengan musik)<br />EARLY OUT Suatu pilihan mengakhiri lebih awal suatu cerita.<br />EDITING Memadukan shot2 terpisah di video tape menjadi cerita yang komplit.<br />ESTABLISHING SHOT Shot yang “membangun” atau yang mengeset adegan.<br />EYELINE Garis pandang orang ketika melihat sesuatu<br />FADE IN Dari gelap, shot/ gambar muncul perlahan-lahan <br />FADE OUT Gambar perlahan menghilang – gelap.<br />FEEDBACK Suara “bocor” dari sistem lain ke dalam program<br />FLOOR MANAGER Orang yang mengendalikan studio dan menyediakan hubungan antara yang diwawancarai dengan ruang kontrol.<br />FOOTAGE Visual di video tape.<br />FRAME Satu gambar TV. Ada 25 frame per detik dalam sistem PAL<br />FREELANCER Kamerawan/ reporter yang bekerja lepasan. Disebut jg stringer<br />FREEZE FRAME Efek yang didapat dengan menghentikan gambar<br />FX Singkatan for efek – sound efek seperti suara tembakan, sorakan, burung, dll. Bisa didapat di library (sound)<br />GRAPHICS Penggunaan seni grafis di televisi. Grafik dibelakang presenter, peta, gambar dll. dalam sebuah cerita. <br />HAND HELD Shooting tanpa tripod dengan kamera ditangan atau dibahu<br />HEADLINES Gambar yang dgunakan diawal program news untuk mengilustrasikan cerita utama. Biasanya merupakan bagian dari sekuens judul pembuka.<br />HIGH KEY Teknik pencahayaan yang membuat setting menjadi sangat terang<br />INSERT EDIT Teknik yang memungkinkan tambahan video dan/ atau suara terpisah, terkumpul di program yang ada<br />INTRODUCTION Pembuka untuk memberi gambaran cerita utama. Dikenal juga dengan intro. <br />JUMP CUT Perubahan shot secara tiba-tiba, misalnya menyebabkan perubahan posisi subyek di layar, atau jump dalam hal waktu.<br />KEY LIGHT Sumber utama pencahayaan dalam sebuah set, yang menggunakan pencahayaan buatan.<br />LIP SYNC Sinkronisasi suara berbicara dan gambar<br />LIVE CROSS Peralihan dari presenter di studio dengan reporter di lapangan untuk berita terbaru atau live interview. <br />LOCATION Semua tempat selain studio atau panggung yang digunakan untuk shooting.<br />LOW KEY LIGHTING Set dibuat temaram untuk menciptakan ketegangan<br />MCR Mater Control Room. Lokasi keseluruhan kendali atas input dan output stasiun.Diskenal juga dengan network control.<br />ROUGH CUT Tahap awal editing, dimana editor menyusun program dari gambar-gambar pilihan. Disebut juga rough edit.<br />RUSHES Kumpulan2 gambar/ footage yang masih “mentah”<br />SAFETY Jumlah video yang tersisa antara kata terakhir dan akhir video sebenarnya. Tidak kurang dari 1 detik.<br />SAT. FEED Satellite feed/ satellite playout.<br />SCRIPT Cerita tertulis dari program<br />SECAM Sistem televisi warna, dikembangkan oleh Perancis dan digunakan di beberapa negara<br />SEGUE Dari cerita satu langsung menuju cerita lainnya, atau dari satu lokasi ke lokasi lainnya tanpa kembali ke presenter.<br />SEQUENCE Beberapa shot yang diedit bersamaan untuk memberi kesan tindakan yang berlanjut atau memusatkan perhatian pada satu aspek cerita/ adegan <br />SET Konstruksi buatan, biasanya dikerjakan di studio, yang menciptakan setting seperti kamar atau kota buatan.<br />SHOTLIST Daftar shot dalam cerita tertentu, untuk membantu pada saat editing dan membuat naskah.<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-3749758346428295642009-10-10T21:02:00.000-07:002009-10-10T21:03:29.018-07:00Sekilas Media Televisi di IndonesiaMenekan tombol televisi tidak menunjukkan bahwa saya ingin menonton,<br />tapi melainkan apa saja……<br />( Bansinger , Via Morley 1988 : 29)<br /><br />Televisi bagai anak pertama dalam keluarga serba menjadi pusat perhatian<br />( Garin Nugroho , Sutradara film)<br /><br />Televisi insight<br />- Program Acara<br />- Gaya Menonton<br />- Tingkat Perhatian / Atensi<br />- Lingkungan / ruang<br /><br />Introduction<br />- Televisi baru dikenal di Indonesia tahun 1962, dalam rangka Sea Games IV di Jakarta ------fungsi hanya sebagai perluasan radio saja.<br />- Mulai 1 Maret 1963 siaran dimajukan dari pukul 19.30-21.30 menjadi 19.00 – 21.30 muncul model Titi Qadarsih iklan skuter Lumbretta-------iklan tv masih dibatasi 15 %.<br />- 1 April 1981 iklan televisi ditutup total SK MenpenRI/30/1981.<br />- Televisi sistem kabel muncul Desember 1988 RCTI mengudara radius 80 km persegi.<br />- 26 Agustus 1990 televisi mengudara secara umum tanpa sewa dekoder dan abonemen, diiringi SCTV lahir di Surabaya.<br /><span class="fullpost"><br />Bagaimana orang menonton televisi ?<br />(Peter Colllett, psikolog Inggris)<br /><br />Selama menonton televisi orang melakukan apa saja mulai membaca, berbincang-bincang, bercanda, menjahit, merajut, membersihkan sesuatu, mengeringkan rambut, menekan remote mencari channel lain.<br />Bisa terjadi hal diatas karena :<br />- Sifat Iklan cermin sifat produknya.<br />- Sifat khalayak tidak mau disuguhi iklan.<br />- Posisioning iklan disaat penyiaran dan program acara yg disela.<br />- Perhatian pemirsa kadang ditentukan orang lain , semakin banyak orang yang menonton perhatian semakin kecil.<br />- Adegan menarik iklan masuk----kemungkinan iklan dilihat.<br /><br />Tipologi menonton televisi<br />- Menonton Televisi adalah tindakan menjalin,<br />dan atau memutuskan ikatan inter personal.<br />- Menonton televisi adalah mendapatkan beraneka ragaman<br />pengalaman, bersantai, belajar, bermain, mengasuh dsb.<br />- Kehadiran suara sbg suara latar ( background noise) menjadikan<br />- Televisi sbg teman setia.<br />- Tindakan mengelola kekuasaan<br /><br />Kekuatan Media Televisi<br />- Efisiensi Biaya<br />Televisi media yang paling efektif<br />(jangkauan dibanding media lain seperti Radio, Media Cetak).<br />- Dampak yang Kuat<br />Keunggulan kemampuan dilihat dan didengar (audio/visual)<br />- Pengaruh yang Kuat<br />Televisi sbg media yang paling kuat di rumah selesai dari kesibukan dan kepenatan meluangkan waktu.<br /><br />Kelemahan Media Televisi<br />- Biaya yang Besar<br />Biaya besar mulai pre-produksi sampai produksi .<br />- Khalayak Tidak Selektif<br />Segmentasinya tidak setajam radio atau media cetak.<br />- Kesulitan Teknis<br />Iklan –iklan tidak bisa luwes dipindah jam tayang karena kepadatan program acara televisi.<br /><br />Bentuk –bentuk iklan televisi<br />1. BLOCK TIME<br />Sebuah produk membeli acara pada jam tertentu dimana otomatis iklan-iklan dominasi produk tsb ( Gebyar BCA, Telkom Mania)<br />2. SPONSORSHIP<br />Sebuah produk mensponsori acara tertentu yang karakter produk sama---- Djarum Liga Italia, Inggris.<br />3. PARTISIPASI / PROMOSI<br />Iklan masuk pada program acara durasi 5, 15,30,45,60 detik<br />4. PSA (Public Service Announcement)<br />Iklan Layanan Masyarakat /Non Komersial.<br />5. SPOT<br />Iklan saat acara berlangsung , sebelum dan seudahnya.<br />6. SUPERIMPOSE<br />Iklan 10 “ seperti running teks,animasi produk.<br />7. BREAK BUMPER<br />Iklan sebelum acara dimulai dan sesudah acara.<br /><br />Teknik Visual dalam Iklan Televisi<br />1. Spokesperson<br />Seseorang didepan kamera langsung membawa iklan .<br />2. Testimonial<br />Seseorang yang dikenal/public figure memberi kesaksian/jaminan suatu produk.<br />3. Demonstration<br />Manfaat produk dijelaskan detail ( sabun cuci)<br />4. Close Up<br />Close up Indomie yang telah dimasak dan masih terlihat kepulan asap untuk segera disantap.<br />5. Story Line<br />Mirip teknik membuat film pendek/ komik strip . Kronologis sebuah produk dgn gaya tutur iklan mirip sepenggal film.<br />6. Direct Product Comparison<br />Perbandingan dua produk langsung.<br />7. Humor<br />Gaya ini disukai copywriter tapi beresiko kalau penggarapan humor kelewatan ----- citra/image produk.<br />8. Slice of Life<br />Penggalan dari adegan sehari-hari bisa di kantor,rumah,mal .<br />9. Customer Interview<br />Gaya reporter (Datang di lokasi wawancara ttg produk)<br />10.Vignettes atau Situations<br />Iklan dengan sejumlah orang sedang menikmati produk(makanan,minuman,permen) dengan tambahan suasana yang mendukung mis. Adegan minum , musik , dan gerakan slow motion pd waktu minum.<br />11.Animation <br />Animasi kartun .<br />12.Stop Motion<br />Iklan muncul tiba-tiba stop motion terus gerak lagi.<br />13.Rotoscope<br />Gabungan Animasi dgn gambaran nyata.<br />14.Combination<br />Gabungan dua atau tiga teknik diatas<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-29972479016587311962009-07-13T21:24:00.000-07:002009-07-13T21:26:57.679-07:00Industri Televisi KitaSaat kampanye lalu, para calon presiden dan calon wakil presiden hampir tidak ada yang membicarakan perkembangan media, terutama televisi.Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas. Perkembangan ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan<br />perundang-undangan lainnya.<br />Sistem politik yang demokratis seharusnya mengubah sistem media yang otoriter represif dan sentralistis ke arah demokratis dan desentralistis. Namun, yang terjadi adalah perpindahan ke dalam dominasi segelintir pemodal dan pemilik stasiun televisi. Perpindahan ke sistem otoriter dan dominasi baru kelompok swasta sama bahayanya dengan dominasi negara. Inilah yang kita sebut jalan neoliberal.<br /><span class="fullpost"><br />Dalam kondisi ini, pemilik stasiun televisi yang menggunakan ranah publik dapat menggunakan stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi. Demikian juga keseragaman isi yang banyak dikritik masyarakat adalah akibat sentralisme siaran televisi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kepemilikan</span><br /><br />Arah pemusatan kepemilikan stasiun televisi dapat dilihat secara terbuka. Pada Juni 2007, diketahui melalui pasar modal, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC) menguasai 99 persen stasiun RCTI, 99 persen Global TV, dan 75 persen TPI. Melalui media juga dapat dibaca rencana penggabungan antara Indosiar dan Surya Citra Media Tbk (SCTV) sehingga sebuah badan hukum menguasai dua stasiun televisi di satu daerah.<br /><br />Seperti yang dinyatakan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dalam somasinya terhadap pemerintah pada 29 Oktober 2007, hal itu adalah peristiwa yang melanggar undang-undang yang membatasi satu orang atau badan hukum menguasai beberapa lembaga penyiaran, paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran televisi yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda.<br /><br />Di Amerika Serikat saja, kepemilikan televisi dibatasi berdasar jangkauannya. Seseorang boleh memiliki banyak stasiun televisi selama jumlah nation’s TV homes yang dijangkau (jangkauan terhadap penduduk yang mempunyai akses) tidak lebih dari 39 persen.<br /><br />Untuk Indonesia, berdasar data Media Scene 2006-2007, jangkauan setiap televisi swasta dengan puluhan stasiun relai membuat 60-90 persen penduduk dapat mengaksesnya. Jumlah ini jauh lebih besar daripada yang diizinkan di Amerika Serikat. Apalagi bila menguasai lebih dari satu<br />lembaga penyiaran yang memiliki puluhan bahkan ratusan stasiun relai.<br /><br />Melalui pemberitaan, kita juga mengetahui adanya jual beli lembaga penyiaran. Seharusnya pengalihan penguasaan frekuensi yang merupakan public domain diatur oleh negara dan didistribusikan secara tepat, adil,dan merata berdasar prinsip keanekaragaman. Industri televisi berbeda dengan industri sepatu, tidak dapat dilepas begitu saja ke pasar yang<br />dikuasai pemodal besar tertentu saja.<br /><br />DPR melalui Komisi I, dalam rapat kerja 15 September 2008, pernah tegas meminta agar pemerintah membatalkan izin yang diberikan kepada sebuah perusahaan yang dinilai melanggar undang-undang. Selain itu, dalam rapat kerja Komisi I dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (17/3/2008),<br />pemerintah didesak menyelesaikan pengaturan penggunaan frekuensi dan penyelenggaraan penyiaran swasta, termasuk masalah monopoli, kepemilikan TV, dan radio, agar sesuai dengan undang- undang penyiaran, yang mengacu pada prinsip diversity of ownership dan diversity of content.<br /><br />Selanjutnya, anggota MPPI sendiri, sejak Juli hingga Oktober 2008,mendaftarkan ke pengadilan tiga gugatan terhadap pemerintah yang dianggap membiarkan pelanggaran hukum. Salah satu gugatan menyangkut kepemilikan sebuah perusahaan terhadap tiga lembaga penyiaran sekaligus.<br /><br />Untuk gugatan ini, perdamaian melalui pengadilan telah dicapai, yaitu setiap pihak secara bergandeng tangan akan menegakkan peraturan perundang- undangan. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan berarti.Tampaknya pemerintah tidak keberatan terhadap merger yang berdasarkan<br />pendapat banyak pihak melanggar peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Ada arti sosial</span><br /><br />Bila dulu negara mengooptasi pelaku usaha untuk kepentingan rezim, kini dikhawatirkan kooptasi dilakukan pelaku usaha terhadap birokrat hanya untuk kepentingan bisnis dan melupakan kepentingan masyarakat. Kita menerima ekonomi pasar, tetapi yang selalu diperbaiki dan dikontrol oleh<br />negara terutama hal-hal yang terkait ranah publik, pencerdasan bangsa,dan usaha kecil. Ekonomi pasar harus mempunyai arti sosial, inilah yang disebut ekonomi pasar.<br /><br />Diharapkan, pemerintahan mendatang menghindari jalan neoliberal,melakukan langkah tegas dalam membangun sistem penyiaran yang demokratis. Sebuah sistem yang melahirkan keragaman isi dan kepemilikan.<br /><br />Oleh : Amir Effendi Siregar Ketua Dewan Pimpinan Serikat Penerbit Suratkabar<br />(SPS) Pusat; Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta<br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-49592700022679801032009-02-10T22:08:00.000-08:002009-02-10T22:10:07.674-08:00Renungan Hari Pers NasionalOleh Sirikit Syah<br /><br />Amplop Media di Tahun Pemilu<br /><br />Baru saja KPU memasukkan anggaran Rp 1,09 miliar untuk pos honorarium peliputan media. Ini pun hanya sebagian dari anggaran Rp 4,7 miliar untuk anggaran peliputan dan dokumentasi Pemilu 2009 yang dibuat oleh KPU.<br />Pertanyaannya, mengapa KPU menganggarkan biaya peliputan? Bukankah peliputan media bukan wilayah kerja KPU, melainkan tugas rutin pers?<br />Mungkin terjadi kesalahan pembahasaan. Mungkin maksudnya biaya penyebarluasan informasi, sosialisasi, sarana media centre, dan sejenisnya. Kalau ini, masuk akal dan mudah diterima. Tetapi, memberi honor kepada wartawan untuk peliputan media? Benar-benar membingungkan.<br />Tak hanya membingungkan, ini polusi bagi integritas wartawan. Wartawan yang terus-menerus diingatkan untuk menegakkan kode etik, di antaranya dilarang menerima amplop, oleh KPU malah diiming-imingi honor meliput! Jangan-jangan pers cuma dipakai namanya, tetapi anggarannya akan dibelokkan atau dibocorkan ke mana-mana. Korps berpotensi wartawan dikorup.<br /><span class="fullpost"><br />Memang istilah "amplop" ini agak sumir. Wartawan nakal sering berkata: "Kami tidak terima amplop. Amplopnya kami kembalikan, isinya saja kami bawa." Ada juga wartawan canggih yang tak pernah bersinggungan dengan ''amplop'', namun nomor rekening banknya sudah di tangan sekretaris narasumber di pos peliputan. Wartawan baik-baik juga sering kebingungan ketika menerima suvenir bolpoin, payung, atau ditraktir makan di restoran mewah. "Ini amplop atau bukan ya?" demikian hati nurani mereka bertanya.<br /><br />Kesalahannya terletak pada pembahasaan tentang ''amplop'' di berbagai Kode Etik Jurnalistik. KEJ versi Dewan Pers 2006 pasal 6 menyebutkan: "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap." Narasumber dapat dengan mudah meyakinkan bahwa ''amplop'' pemberiannya bukan suap, karena dia tak memaksakan pemuatan. Wartawan juga yakin dia tidak menyalahgunakan profesinya, karena laporannya tidak terpengaruh oleh ''amplop'' pemberian narasumber.<br /><br />Kode Etik Jurnalistik versi AJI juga mengandung kesalahan serupa. Pasal 14 menyebutkan: "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan". Ada penjelasan dari kata "sogokan", yaitu "semua bentuk pemberian berupa uang, barang, dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik" .<br /><br />Kalimat ini juga kurang tegas karena ada unsur ''memengaruhi' '. Artinya, bila wartawan tidak terpengaruh, pemberian bukan sogokan. Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indoensia (IJTI) berbunyi, "Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apa pun berkaitan dengan profesinya".<br /><br />Menurut pantauan penulis atas berbagai versi kode etik jurnalistik, KEJ PWI boleh dikata yang paling jelas maksudnya. Wartawan Indonesia, menurut Kode Etik PWI, tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu pihak.<br /><br />Kalimat ini sering saya jadikan landasan pemahaman tentang makna ''amplop'' di dunia pers. Hanya ada dua jenis ''amplop'' yang secara tegas dapat dilarang, yaitu ''amplop'' perintah pemuatan dan ''amplop'' pelarangan pemuatan. Yang pertama biasanya digunakan untuk promosi diri, propaganda, atau black campaign kepada pihak lawan. Yang kedua digunakan untuk mencegah tersebarnya skandal, untuk menyembunyikan kebusukan.<br /><br />Berkaitan dengan proses pemilu, ''amplop'' tak hanya menggoda wartawan ujung tombak yang bertatap muka dengan narasumber dan subjek pemberitaan. ''Amplop'' lebih besar tentu saja masuk ke wilayah iklan, yang dilegalkan UU Pemilu dan tidak melanggar kode etik apa pun.<br /><br />Di sinilah akan terjadi tarik ulur antara divisi iklan dan divisi redaksi. Ada kemungkinan isi iklan berbeda dengan fakta lapangan, yang berarti tidak sinkron dengan isi berita.<br /><br />Bila dikatakan pemilu tahun ini akan terjadi banyak pemborosan, sebagian besar anggaran itu terserap di media massa, khususnya di ranah iklan. Oleh sebab itu, jelas kurang beralasan bila KPU menambah anggaran dengan honor liputan. Ini pemborosan uang rakyat yang luar biasa. Pelaku media massa mestinya mewaspadai dan bersikap kritis atas anggaran-anggaran yang diatasnamakan mereka.<br /><br />Baru saja kita dihadapkan pada fakta adanya daftar anggaran bagi wartawan di lingkungan Dinas Perhubungan yang diduga korupsi. Disebutkan terdapat sekitar 14 wartawan yang menerima amplop Rp 10 juta setiap bulan, dengan kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 750 ribu per wartawan.<br /><br />Tentu kita tak boleh begitu saja menuduh para wartawan terlibat korupsi. Pertama, daftar itu belum tentu asli. Bisa saja aspal, yaitu namanya asli tapi tanda tangannya dipalsukan. Praktik semacam ini banyak dilakukan di lingkungan kantor pemerintahan, dan pernah penulis alami sendiri semasa menjadi wartawan pada 80-an. Waktu itu terbukti tanda tangan wartawan dipalsukan oleh seorang kepala humas.<br /><br />Bagaimanapun, dengan pengalaman mengenyam kebebasan pers selama sepuluh tahun, penulis percaya dan optimistis bahwa wartawan Indonesia semakin meningkat kualitasnya.<br /><br />Kalau dulu wartawan seangkatan penulis tidak pernah belajar berbuat salah -karena sebelum salah sudah disemprit oleh Bakortanasda, yakni banyaknya pencegahan pemuatan alias sensor- wartawan masa kini banyak melakukan kesalahan, dan itu amat baik bagi penempaan kualitas mereka. Mereka babak belur dikecam korban kesalahan pemberitaan, bahkan digugat di pengadilan, atau diancam dengan kekerasan.<br /><br />Benturan-benturan semacam ini mendewasakan wartawan Indonesia. Mudah-mudahan persoalan klasik tentang ''amplop'' ini segera punah dari ranah pers Indonesia. Ujiannya sekarang: Tahun Pemilu Indonesia 2009.<br /><br />* Sirikit Syah, pengajar jurnalistik dan analis media di Surabaya.<br /> <br />http://jawapos. com/<br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-67410221583617370642009-02-10T22:04:00.000-08:002009-02-10T22:07:39.500-08:00Catatan Hari Pers NasionalWartawan Perjuangan yang Murni dalam Lima Tahun<br /><br />Oleh : Dahlan Iskan<br /><br />PEMBACA koran naik drastis di Amerika Serikat, tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ''pemirsa laptop'' naik drastis dan pemirsa tv turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.<br /><br />Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ''lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran". Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.<br /><span class="fullpost"><br />Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional -khususnya untuk tv berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada perusahaan koran, melainkan ke provider internet.<br /><br />Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran -terutama dari koran yang reputasinya baik- lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ''berita koran itu lebih bisa dipercaya" memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ''berita koran lebih dipercaya" itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo.<br /><br />Belum ditemukannya bagaimana cara ''membayar" itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS.<br /><br />Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar.<br /><br />Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: "mabuk" pasar modal.<br /><br />Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga -meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ''baik": kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.<br /><br />Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ''sirkulasi" koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.<br /><br />Itulah gairah yang ''memabukkan" . Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti New York Time terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond.<br /><br />Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan -karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan -melalui induk perusahaannya- Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi -dan karena itu tidak bisa anjlok.<br /><br />Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.<br /><br />Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang "mabuk" pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ''mabuk", tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos. Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya.<br /><br />Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. "Jalan tol" di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.<br /><br />Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat -tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut "wartawan perjuangan" yang murni.<br /><br />*) Selain sebagai Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar). Catatan ini menyambut Hari Pers Nasional 2009 yang diperingati hari ini.<br /> <br />http://jawapos. com/halaman/ index.php?act= detail&nid=51308<br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-30710649807004353732008-11-10T23:36:00.000-08:002008-11-10T23:39:10.035-08:00Pemakaian Istilah Asing dan Kata Serapan di Media Massa di Indonesia/1/<br />Beberapa waktu belakangan ini ada sebuah kata yang dapat dikatakan populer atau dikenal luas dalam komunikasi resmi maupun sehari-hari. Kata yang dimaksud di ini adalah kata event, yang kemungkinan besar marak sebagai akibat dari merebak atau munculnya sejumlah event organizer di Indonesia pada tahun 1990-an, hingga kini. Kenyataan ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja sekiranya kata event yang mempunyai makna (1) ‘peristiwa, kejadian’, dan (2) ‘pertandingan, perlombaan’ (3) itu diposisikan dan dipakai oleh banyak orang sebagaimana mereka memanfaatkan kata-kata asing semacam computer, cyber, internet, dan go public.<br /><span class="fullpost"><br />Dilihat dari aspek pemakaiannya, kata event tersebut adakalanya memang dipergunakan oleh berbagai kalangan dengan tepat tetapi kerapkali pula dipakai secara semena-mena—istimewanya dalam pengucapan yang berimbas pada penulisan. Tidak terhitung lagi jumlahnya, orang kebanyakan—bahkan juga petinggi negara maupun pejabat pemerintah lainnya—mengucapkan event (dalam bahasa Inggris) laiknya even (dalam bahasa Inggris juga) yang mempunyai makna berbeda. Yang sangat memprihatinkan, kecerobohan pemakaian ini juga dapat dijumpai dalam penulisan di media-media massa, meskipun kata event itu telah dicoba diindonesiakan atau malahan telah dianggap sebagai khazanah bahasa Indonesia dengan mengubah penulisannya. Sekadar contoh, dua kutipan berikut diharapkan dapat memberi gambaran.<br />Mereka rutin punya even, untuk menyalurkan bakat anak muda, baik bidang nyanyi, fashion show, seni tari tradisional dan banyak lagi even lainnya yang berbau remaja. (”Rindu Event Remaja,” Banjarmasin Post. 2 0ktober 2004, h. 13; cetak tebal oleh penulis, IW)<br /><br />Kegiatan ini diawali dengan pemukulan shuttle cock sebagai tanda dimulainya iven bergengsi tersebut. Iven ini juga dihadiri oleh mantan pemain bulutangkis nasional antara lain Alan Budikusuma dan Budi Santoso. (”Sroyer Buka Kejuaraan Bulutangkis Pulmon Cup III 2004,” Cahaya Papua, 26 Juli 2004; cetak tebal oleh penulis, IW)<br /><br /> Pemakaian kata “even” pada kutipan pertama tampaknya merupakan suatu upaya mengadopsi kata event—seperti terlihat dari judulnya—ke dalam khazanah bahasa Indonesia dengan penyesuaian dalam hal penulisan. Cara menuliskan “even” yang merupakan pengindonesiaan dari kata event itu sesungguhnya merupakan suatu penulisan yang benar sebagaimana diatur dalam “Garis Haluan Penggantian Kata dan Ungkapan Asing” butir 9.2 yang berbunyi “Penyerapan melalui penyesuaian ejaan dengan mengutamakan bentuk tulisannya. Hasil penyerapan ilu dilafalkan secara Indonesia”‘. (5) Yang menjadi masalah, bukan dalam segi penulisannya itu melainkan dalam pengucapannya, sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan termaktub. Penulisan kata “even” (pada kutipan pertama), sesuai dengan pelafalan Indonesia, seharusnya memang diucapkan sebagai [even] atau [even] dan bukan [iev- n] sebagaimana pengucapan untuk kata “iven”.<br /> Namun, yang lebih perlu dipersoalkan di sini adalah landasan pemilihan kata “even” atau “iven” itu sendiri. Mengapa harus kata itu yang dipilih dan bukan, misalnya, “perlombaan” atau “pertandingan”? Mungkinkah penyebabnya adalah semacam rasa rendah diri atau rasa kurang modern yang dilandasi atas kesalahan dalam memahami pembaca-sasaran?<br /><br />/2/<br /> Pertanyaan yang baru saja dilontarkan ini sangat bisa dimengerti jikalau dalam sebuah tulisan terdapat kata atau sejumlah kata asing yang dipakai secara paksa dan kurang tepat. Dengan pengertian lain, pemakaian kata atau kata-kata asing itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang boleh jadi mubazir lantaran apa yang diwakili oleh kata atau kata-kata asing itu pada galibnya sudah ada dalam khazanah bahasa Indonesia. Hanya saja, barangkali dirasakan adanya nada “norak”, “kampungan”, atau sekadar “biasa-biasa saja”, dalam kata yang disembunyikan itu sehingga dicarilah kata atau istilah asing yang dikira akan memberikan suatu nuansa atau citra yang lebih mutakhir, masa kini, atau modern. Judul-judul yang berbunyi “Peralatan-Anggar The Best,” (Manado Post, 28 Agustus 2004), “Akbar Mengaku Welcome” (Fajar, 7 Agustus 2004), “Special Price dari Executive” (Tribun Timur, 7 Agustus 2004), “Pameran dan Indonesia City Expo 2004: Surabaya Sebagai Meeting Point” (Surya, 7 Agustus 2004), misalnya, dengan penulisan yang tidak memedulikan kaidah penulisan yang lazim, bukankah dapat merepresentasi rasa-rasa rendah diri atau kurang modern itu? Mengapa untuk “Peralatan Anggar The Best” tidak ditulis saja dengan misalnya “Peralatan-Anggar Terbaik” atau “Special Price dari Executive”<br /><br />tidak dinyatakan dengan “Harga Khusus dari Executive”, misalnya? Demikian pula dengan contoh-contoh lainnya, niscaya dapat dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dengan nuansa yang tidak kalah modern.<br /><br />Beberapa contoh yang baru saja dinyatakan ini dapat dikatakan sebagai hanya terjebak kepada suatu pengungkapan yang cenderung “gagah-gagahan”, yang sangat mungkin juga didasari faktor latah. Artinya, karena media yang lain tampak berlomba menggunakan kata-kata asing, media yang tidak mampu mengontrol diri dalam hal memanfaatkan pilihan kata Indonesia akan dengan mudah terjerembab juga dalam pemakaian kata-kata asing seperti telah dinyatakan dalam contoh-contoh di atas. Masih lumayan bahwa cara menuliskan kata-kata asing itu terbebas dari kesalahan penulisan, sebab tidak sedikit media massa cetak yang sepertinya tidak peduli dengan penulisan kata-kata asing itu.<br /><br />Contoh-contoh berikut merupakan semacam bukti bahwa keteledoran atau kecerobohan dalam penulisan kata-kata asing sangat biasa dan sering terjadi, yang bisa saja disebabkan oleh kemasabodohan atau tidak berfungsinya bagian penyuntingan pada media bersangkutan. Judul yang berbunyi “Jadikan Pelanggan Sebagai Bozz” pada rubrik “Bisnis Harian” dari koran Rakyat Merdeka (29September 2004) jelas-jelas menunjukkan kecerobohan alih-alih kekreatifan. Hal yang sama dapat dijumpai pada judul dari koran dan tanggal yang sama, misalnya, yang berbunyi “Authorize Ban Lansiran Bridgestone”.<br /><br />Kecerobohan lain yang biasa terjadi sebenarnya bukan sebatas pada judul-judul saja; pada tubuh karangan sangat sering kita jumpai penulisan yang salah. Mungkin kita lebih baik berharap saja, bahwa kesalahan yang terjadi lantaran kekurangcermatan saja dan bukan karena ketidaktahuan. Sebab, jika ketidaktahuan yang ternyata ada, kenyataan semacam itu tentu sangat memprihatinkan. Dengan begitu, keterangan yang menyatakan bahwa salah seorang anak Amien Rais “mendapatkan beasiswa di National University Singapore jurusan Mess Media Communication”—huruf tebal dan penulis, IW—seperti terungkap dalam koran Rakyat Merdeka, 27 September 2004, semestinya berbunyi “mendapatkan beasiswa dari National University of Singapore jurusan Mass Media Communication. Contoh yang lain, pernyataan Adjie Massaid dalam tabloid Star edisi 12-18 September 2004 yang berbunyi ” …, Zahwa menjawab. ‘Miss you to, Papa.’…” mudah-mudahan yang dimaksudkan adalah “…Zahwa menjawab, ‘Miss you too, Papa.’ …”.<br /><br />/3/<br /><br />Memang tidak selamanya setiap bahasa mempunyai kata atau istilah yang serba lengkap. Karena kenyataan yang sedemikian itulah maka kegiatan pinjam-meminjam kata di antara bahasa-bahasa di dunia ini biasa terjadi. Namun, kendati dimungkinkan adanya pinjam-meminjam kata itu, tentu ada seperangkat aturan yang harus ditaati. Selain itu, kekonsitenan di dalam penerapan atau penulisan juga merupakan suatu pertanda apakah ketaatasasan sudah dilaksanakan, atau apakah keintelektualan telah dipakai sebagai titik tolak untuk melakukan suatu penyerapan kata. Sayang sekali, sejumlah media massa di Indonesia masih banyak yang asal-asalan dalam menerapkan kata atau istilah yang berasal dari kosakata asing itu, tanpa perlu meralat sesudahnya, bahwa tindakan semacam itu merupakan cela dalam berbahasa.<br /><br />Judul-judul yang berbunyi “Persib Konfiden, PSIS Pressure Ketat” (Indo Pos, 14 September 2003), “kover yang eye-catching” (Bintang Millenia, No. 184, Minggu V, April 2003), dan “Tak Ketinggalan Aksesori & Spare Part” (Rakyat Merdeka, 27 September 2004) merupakan contoh betapa kekonsitenan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak dipedulikan. Dan lebih dari sekadar ketidakkonsistenan yang ada, persoalan pada judul-judul yang dipakai sebagai contoh kasus ini, memperlihatkan suatu tindak berbahasa yang sangat amburadul dan—seperti sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini—kerendahdirian dalam berbahasa. Mengapa harus memakai<br /><br />kata “konfiden” kalau kita mempunyai kata “percaya diri” yang mungkin lebih dipahami pembaca? Mengapa harus memakai kata Inggris “pressure” dan apa yang dimaksud dengan “PSIS Pressure Ketat”?<br /><br />Demikian pula, mengapa harus memakai kata “kover” untuk “sampul depan”. Sementara “eye-catching” tetap dibiarkan sebagaimana penulisan dalam bahasa Inggris? Dan juga untuk contoh ketiga, mengapa “spare part” tetap dipertahankan dan tidak diganti dengan ‘’suku cadang” misalnya, padahal kata “aksesori” sudah dipakai untuk menggantikan kata asing “accessory”?<br /><br />Namun, pemakaian kata atau istilah asing seringkali pula masih dipertahankan karena istilah itu—khususnya—bertautan dengan sejumlah kode (kultural, sosial, dan semacamnya) dan tidak serta-merta dapat dialihbahasakan. Banyak contoh dapat dipakai untuk menjelaskan gejala ini, tetapi berikut ini hanya akan dikemukakan beberapa saja. Contoh pertama, istilah “baby boom“‘ dalam “Sebagai bagian dari generasi baby boom yang mengalami masa remaja pada era 1960-1970-an, dia sadar akan dua hal: politik juga manisnya dunia komersial” yang dimuat dalani Tempo, 26 September 2004, agaknya sengaja dipakai karena ungkapan baby boom tidak mudah untuk dialihbahasakan secara tepat.<br /><br />Contoh kedua, judul yang berbunyi “Kecantikan dengan Aroma Therapy” (Fajar, 7 Agustus 2004), sangat mungkin lebih dipahami oleh pembaca daripada jika istilah “aroma therapy” itu diganti atau diindonesiakan dengan misalnya “penyembuhan melalui wewangian” atau ungkapan yang lainnya.<br /> /4/<br /> Merupakan suatu kenyataan bahwa kita—sebagai penutur bahasa Indonesia— tidak dapat melepaskan diri dari pergaulan dengan bahasa-bahasa lain. Kata atau istilah asing sangat boleh jadi “terpaksa” harus kita pakai karena kita memang tidak mempunyai tradisi atau kegiatan, dan yang lainnya, sebagaimana dipunyai atau dilakukan oleh bangsa lain. Olahraga bungy jumping contohnya, adalah suatu jenis olahraga yang datang dari luar. Dalam kaitan ini, hal yang patut kita lakukan adalah mencoba membuat istilah baru yang sepadan dengan karakteristik olahraga itu. Maka ketika ada yang mengusulkan—saya lupa, entah siapa—istilah “lompataja” untuk olahraga itu, maka sudah lahirlah istilah baru dan kekayaan kosakata bahasa Indonesia pun bertambah. Kreativitas semacam inilah yang kita perlukan.<br /><br /> Namun, tidak ada gunanya juga sekiranya kita sudah mencoba mencari kata atau istilah baru tetapi hanya kita simpan di dalam hati. Sosialisasi merupakan kemestian, dan media massa merupakan wahana yang tepat untuk ini.<br /><br />1) Makalah ini dibentangkan dalam acara diskusi bahasa yang diselenggarakan oleh majalah Tempo bekerja sama dengan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di Hotel Gran Melia, Rabu, 6 Oktober 2004.<br /><br />2) Pengajar sastra, penulisan populer, dan penyuntingan pada Fakultas llmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia.<br /><br />3) John M. Echols dan Hassan ShadiSy, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1992. h. 220.<br /><br />4) Kata even dalam bahasa Inggris mempunyai banyak arti, di antaranya adalah (1) ‘rata. datar’, (2) ‘lelap, mantap’, (3) ’seri’, (4) -genap’, (5) ‘lengkap’, dan (6) ‘tenang, yang jelas sekali tidak rnemperlihatkan pertalian alau asosiasi rnakna dengan kata event. Ibid’ 5) Dendy Sugono, penyunting utama, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing, Jakarta; Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan “Nasional, 2003, h. 10<br /><br />Penulis:<br /><br />lbnu Wahyudi <br />Universitas Indonesia<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-16661491268201137472008-11-10T23:31:00.000-08:002008-11-10T23:35:14.926-08:00Ekonomi Bahasa, Ciri Bahasa Media Massa“Tiket nomor 65 silakan ke teller 6.” Demikian suara dan mesin bicara yang terdengar di sebuah bank. Lalu, seseorang bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja teller 6. Transaksi pun terjadi. Usai transaksi, nasabah itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan teller yang juga tersenyum manis. Beres dengan nasabah tadi, sang teller memencet tombol di mejanya. Terdengarlah kembali suara dari mesin bicara, “Tiket nomor …..silakan ke teller 6? Demikian seterusnya.<br />Sepintas tidak ada masalah dengan kalimat yang keluar dari mesin bicara itu. Namun, kadang-kadang saya sering ingin tertawa sendiri bila mengingat kalimat tersebut. Bayangkan, tiket atau karcis yang kita kenal sebagai benda mati kok disuruh menemui teller. Seharusnya, bila ingin memanggil orang—bukannya tiket—kalimat tersebut berbunvi, “Pemegang tiket nomor 65 silakan ke teller 6.”<br /><span class="fullpost"><br />Seharusnva memang demikian. Namun, perlukah kita meminta pihak bank untuk mengubah kalimat pada mesin bicara itu? Toh, selama ini, para nasabah tidak berkeberatan dipanggil sebagai benda mati. Mereka—termasuk saya—akan langsung bangkit saat nomor tiket yang dipegang disebutkan oleh mesin bicara. Artinya, kita bisa mengerti maksud kalimat yang keluar dan mesin bicara itu. Artinya pula, kalimat tersebut sudah efektif walaupun secara logika bahasa bisa dikatakan salah.<br /><br />Kalimat tersebut dipandang efektif karena dapat dimengerti oleh para nasabah. Bahkan, hingga saat ini, tidak ada satu pun yang merasa tersinggung walaupun dianggap sebagai benda mati. Pokoknya, maksud kalimat tersebut telah sampai kepada para nasabah. Bukankah prinsip dasar komunikasi adalah ide/pesan dari komunikator bisa sampai dengan baik kepada audiens (pendengar/pembaca) dan direspons sesuai dengan isi ide/pesan vang disampaikan?’<br /><br />Contoh tersebut menunjukkan bahwa kalimat yang tidak lengkap pun bisa saja efektif sebagai media komunikasi. Kondisi-kondisi seperti itu mungkin yang menjadi cikal bakal munculnya istilah ekonomi bahasa—atau bahasa yang ekonomis—dalam ragam bahasa jurnalistik. Asal pesan atau ide bisa sampai kepada audiens, bahasa yang digunakan sebagai media bisa dikatakan efektif. Akibatnya, banyak kaidah bahasa vang terabaikan.<br />Ragam bahasa jurnalistik, katanya, memang bercirikan kalimat-kalimat yang singkat namun harus jelas. Hal itu disebabkan terbatasnya ruangan pada media-media massa. Benarkah demikian? Khusus untuk media cetak seperti surat kabar pada zaman baheula hal itu bisa dimaklumi. Saat itu, teknologi media cetak masih tertinggal sehingga lebih banyak straight news yang disajikan surat kabar. Jadi, kalimat-kalimat yang digunakan dalam berita itu memang harus singkat/pendek namun tetap jelas. Jadi, jangan heran apabila para jurnalis (Indonesia) dulu mengesampingkan masalah kebahasaan. Bagi mereka, yang penting pesan/ide bisa sampai kepada pembaca secara jelas dan dapat direspons sesuai dengan keinginan mereka.<br />Lalu, bagaimana halnya pada masa sekarang? Apakah masalah-masalah kebahasaaan masih bisa dikesampingkan? Ketika teknologi berkembang demikian pesat dan berbagai kemudahan telah didapatkan, apakah para jurnalis akan terus bermasa bodoh terhadap masalah kebahasaan? Sudah saatnya, kalangan media massa memerhatikan masalah kebahasaan yang menjadi modal utamanya. Media massa sebaiknya kini tidak hanya memandang kepentingannya sendiri, tetapi juga memerhatikan kepentingan lain seperti kepentingan perkembangan bahasa dan pendidikan kebahasaan. Artinya, media massa sudah selayaknva tidak hanya mementingkan ide/pesan yang ingin disampaikan, tetapi medianya (baca: bahasa) pun mendapat perhatian yang besar.<br /><br />Syukurlah, perhatian media-media massa terhadap masalah kebahasaan sudah mulai terwujud. Pada umumnya, media massa kini sudah memiliki lembaga kebahasaan walaupun kewenangannya masih sangat terbatas. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya kesalahan kebahasaan pada penerbitan-penerbitan pers. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi bukan karena ketidakmampuan orang-orang yang berada di lembaga kebahasaan tersebut, melainkan karena kewenangan mereka yang terkalahkan oleh kebijakan-kebijakan redaksional. <br /><br />Baiklah, di sini, saya tidak ingin “bercerita” tentang kewenangan lembaga bahasa yang kurang kuat di lingkungan penerbitan pers. Saat ini, sesuai dengan tema pertemuan kali ini tentang ekonomi bahasa, saya ingin menyorot kesalahan-kesalahan kebahasaan yang terjadi dan berkaitan dengan masalah ekonomi bahasa. Namun, tunggu dulu, apakah yang dimaksud dengan ekonomi bahasa itu. Masih tepatkah istilah ekonomi bahasa itu? Apakah kata ekonomi di sini bisa disejajarkan dengan kata penghematan atau pengiritan, sesuai dengan kaidah ragam bahasa jurnalistik yang harus singkat dan jelas?<br /><br />Pada praktiknya ternyata para jurnalis lebih senang menggunakan bahasa yang berbunga-bunga. Akibat penggunaan bahasa berbunga-bunga para jurnalis itu, sering tejadi kesalahan dalam penyusunan kalimat yang sangat berlawanan dengan prinsip ragam bahasa jurnalistik itu. Cukup banyak kata yang mubazir dalam kalimat-kalimat mereka. Berikut, contoh-contoh penggunaan kata mubazir yang sering terjadi.<br /><br />1. Penggunaan kata hanya dan saja yang sering dipakai bersama dalam satu kalimat. Hanya …..saja…; Hanya korban tewas saja yang cercatat.<br /><br />2. Penggunaan kata yang berlebihan (pleonastis); Posisi Persib tetap tak beranjak di tempat terbawah; Sebelumnya, dia naik ke atas menara.<br /><br />3. Pengunaan taksonomi yang tidak tepat; musibah banjir, musibah longsor, minuman bir, minuman sirup; mobli pikap, mobil sedan. Lebih parah lagi sering tertulis juga Ibu Kota Jakartu, Ibu Kota Bagdad.<br /><br />4. Penggunaan kata walaupun dan namun dalam satu kalimat; Walaupun Persib menang, namun posisinya terap tak beranjak di tempat terbawah.<br /><br />5. Kata depan yang dianggap mubazir (versi H. Rosihan Anwar); bahwa, adalah, telah, akan, untuk, dan, daripada, dll. (Perlu dicatat, penghilangan kata-kata depan tersebut pada konteks-konteks kalimat tertentu).<br /><br />Selain itu, kesalahan-kesalahan yang terjadi berkaitan dengan ekonomi bahasa adalah pada penghilangan unsur-unsur bahasa sehingga menyalahi kaidah kebahasaan dan membuat kalimat menjadi rancu. Misalnya, pada kalimat yang keluar dan mesin bicara di bank seperti yang telah disebutkan terdahulu. Penghilangan ansur-unsur tersebut bukan hanya pada kata, melainkan terjadi juga pada tanda baca seperti tanda titik pada singkatan nama dan gelar. Pada tataran kata, yang sering terjadi adalah penghilangan kata yang sebenarnya merupakan idiom. Misal: sesuai dengan menjadi sesuai, sehubungan dengan menjadi sehubungan, bergantung pada/kepada menjadi bergantung/tergantung.<br /><br />Memang, terasa lucu, saat para jurnalis mengatakan bahwa ragam bahasa jurnalis itu singkat dan jelas namun pada kenyataannya justru berbunga-bunga dan sering melantur. Sering juga, dengan alasan penghematan atau ekonomi bahasa, kaidah-kaidah kebahasaan dilabrak begitu saja. Nah, sebagai “orang-orang bahasa” yang terlibat di dunia pers, bagaimana tanggung jawab kita?<br /><br />Penulis:<br /><br />Tendy K. Somantri<br />Pikiran Rakyat<br /><br />Makalah ini disajikan pada Diskusi FBMM 2Mei 2002 di Pikiran Rakyat Bandung<br /> <br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-56065877940265161952008-11-10T23:27:00.000-08:002008-11-10T23:30:12.560-08:00Bahasa Jurnalistik1. Bahasa Indonesia Jurnalistik<br />Naskah jurnalistik TV dan radio disebut hear copy, atau naskah untuk didengar. Sementara untuk media cetak disebut see copy. Perbedaan ini membawa konsekuensi pada perbedaan cara menulis berita. Walau bahasa televisi disebut bahasa lisan atau bahasa tutur, namun kaidah berbahasa tetap mengacu pada bahasa Indonesia yang baik dan benar.<br />Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu harus memenuhi tiga unsur penting yakni:<br />• Lazim: Kata-kata yang dipilih ialah kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari namun tetap menjaga kepatutan berbahasa dan sopan santun.<br />• Berkaidah: Kalimat yang disusun haruslah berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam bahasa. Kita misalnya mengenal EYD dan Kamus Umum Bahasa, dalam menjadi acuan berbahasa.<br /><span class="fullpost"><br />• Komunikatif: Kalimat yang disampaikan oleh presenter atau reporter tidak berbeda maknanya dengan apa yang diserap oleh pendengar dan pembaca.<br /><strong><br />II. Panjang Kalimat</strong><br /><br />Berapa sebenarnya panjang kalimat yang bisa diserap oleh pemirsa. George Fox Mort dalam New Survey of Journalism meneliti bahwa penonton televisi dapat menyerap dengan baik 160 kata dalam satu menit. “Bila penonton kehilangan titik vital dia tidak dapat meminta penyiar untuk mengulanginya. Karena itu ulangi rincian yang penting supaya penonton memahami secara yakin. Jangan terlalu banyak menggunakan kata sifat. Karena kata sifat cenderung menyembunyikan fakta,” kata Mort.<br /><br />Merujuk survei tersebut, Melvin Mencher dalam News Reporting and Writing menganjurkan agar satu kalimat tidak boleh lebih dari 17 kata. Lebih dari 17 kata biasanya kalimat sulit dipahami dan tidak komunikatif lagi. Kalimat berikut saya ambil dari naskah Insan Kamil (Pagi 06/10/00) tentang bangunan SD yang rusak di Bekasi.<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ SEKITAR 132 MURID SDN SUKARAHAYU 02 DI KECAMATAN TAMBELANG BEKASI/ TERPAKSA MELAKUKAN AKTIVITAS BELAJAR MENGAJAR/DI SEKOLAH YANG KONDISI BANGUNANNYA SANGAT BURUK// ATAP GEDUNG YANG BERLUBANG DENGAN TIANG PENYANGGA YANG KEROPOS/MEMBUAT PARA SISWA DAN GURU YANG BERTUGAS/SELALU KHAWATIR AKAN AMBRUKNYA BANGUNAN SEKOLAH/Mr roti…<br /><br />Satu kalimat di lead berita ini mencapai 22 kata. Sebenarnya lead ini dapat kita sederhanakan menjadi” <br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ MURID-MURID SD SUKARAHAYU 02/ TAMBELANG/ BEKASI TERPAKSA BELAJAR DI BANGUNAN SEKOLAH YANG KONDISINYA SANGAT BURUK// ATAP GEDUNG YANG BERLUBANG DAN TIANG PENYANGGA YANG KEROPOS MEMBUAT MEREKA SELALU KHAWATIR/ JIKA BANGUNAN TERSEBUT AMBRUK// <br /><br />Saya ingin kembali mengingatkan 10 pedoman penulisan naskah televisi dari Melvin Mencher:<br /><br />1. Jangan menulis sebelum Anda benar-benar memahami peristiwa yang Anda tulis.<br /><br />2. Jangan menulis sebelum Anda mengetahui benar-benar apa yang ingin Anda tulis.<br /><br />3. Perlihatkan, jangan ceritakan!. (Show, don’t tell!)<br /><br />4. Tempatkan kutipan yang baik di tengah berita Anda.<br /><br />5. Gunakan kata benda berwujud (concrete noun) dan kata kerja aktif secara bervariasi.<br /><br />6. Tempatkan anekdot dan ilustrasi di tengah cerita.<br /><br />7. Hindarkan penggunaan kata sifat yang berlebihan dan letakkan kata bantu (adverb) dekat kata kerja.<br /><br />8. Biarkan fakta berbicara.<br /><br />9. Jangan tampilkan pertanyaan-pertanyaan yang Anda sendiri tidak dapat menjawabnya.<br /><br />10.Tulislah dengan gaya bahasa yag sederhana. Rangkum dalam beberapa kata, sopan dan tepat.<br /><br /><strong>III. Beberapa Kesalahan</strong><br /><br />1. Sampai jumpa dan salam SCTV.<br /><br />“Demikian saudara tayangan … minggu ini. Kita bertemu lagi dalam tayangan yang sama dalam topik yag berbeda, pekan depan. Sampai Jumpa dan salam SCTV”<br /><br />Kata-kata seperti jumpa pada sampai jumpa dan salam SCTV seharusnya ditambah ber-sehingga menjadi berjumpa. Kata jumpa merupakan bentuk prakategorial, sama halnya dengan temu dan sua yang tidak pernah berdiri sendiri. Pernahkan Anda mendengar sampai sua lagi, atau sampai temu lagi? Jika tidak, begitu juga dengan kata sampai jumpa.<br /><br />2. Melakukan Unjuk Rasa<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ 150 ORANG KARYAWAN RESTORAN SIZZLER/ MELAKUKAN AKSI UNJUK RASA DI KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN TENAGA KERJA/JAKARTA PUSAT HINGGA PUKUL SATU/DINI HARI TADI// MEREKA MENUNTUT PERUSAHAAN UNTUK MENAIKAN UANG SERVIS/ DARI 40 RIBU RUPIAH MENJADI 250 RIBU RUPIAH PER KARYAWAN/Vtr roll…<br /><br />Lead berita ini saya ambilkan dari berita Lita Hariyani (Lip 6 Pagi 06/10/00). Tipe melakukan unjuk rasa adalah kesalahan yang kerap kali terjadi pada penulisan naskah berita kita. Sebenarnya melakukan + (pe - an) dapat kita singkat menjadi kata kerja tunggal dengan tambahan awalan me atau ber. Melakukan unjuk rasa bisa menjadi berunjuk rasa atau melakukan penangkapan menjadi menangkap, melakukan penyitaan menjadi menyita dst.<br /><br />Awalan me dan ber sudah bermakna melakukan sesuatu. Sehingga jika kita menggunakan kedua awalan ini maka tidak perlu lagi kita menggunakan kata melakukan. Fungsi konfik pe– an dalam kata penangkapan, penyitaan dsb. adalah untuk membuat kata benda.<br /><br />Penggunaan kata kerja melakukan ditambah kata benda, tidak dapat membuat kalimat itu menjadi aktif, sebagaimana dianjurkan dalam menulis hard news.<br /><br />3. Pemboman<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ KAPOLDA METRO JAYA/ INSPEKTUR JENDERAL NURFAIZI/ BERSYUKUR PELAKU PEMBOMAN YANG AKAN MELEDAKKAN GEDUNG SARINAH DAN KEDUBES AMERIKA SERIKAT/ BERHASIL DIBEKUK SEBELUM MELAKSANAKAN NIATNYA TERSEBUT// SEDANGKAN TERHADAP MOTIF DAN PELAKU SERTA AKTOR INTELEKTUAL BERBAGAI KASUS PEMBOMAN Dl WILAYAH HUKUM METRO JAYA/ DIAKUI POLDA MASIH DALAM PENYELIDIKAN// <br /><br />Lead berita ini saya ambil dari berita Nina Waskito (Liputan 6 Petang 24/09/00). Hampir dua pekan sejak bom di gedung BEJ meledak, berita kita diramaikan oleh berita “Pemboman”. Benarkah kata pemboman menurut kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.<br /><br />Rujukannya adalah sebagai berikut:<br /><br />Kata-kata dasar yang bersuku satu seperti bom, cat, las, pel, sah, tes, dan cap apabila mendapat awalan meng- (untuk membuat kata kerja) berubah menjadi menge-. Demikian juga dengan imbuhan peng- akan menjadi penge-, sehingga kata-kata pemboman akan menjadi pengeboman dan membom menjadi mengebom. Kecuali kata bombardir dia akan menjadi membombardir, sebab bombardir merupakan kata kerja yang memiliki tiga suku.<br /><br />4. Menyomasi dan Pengkaplingan<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />50 PENGACARA Dl PALEMBANG/ MENSOMASI 76 PIHAK/ YANG DIDUGA TERLIBAT DALAM PEMBAGIAN. DANA BANTUAN SOSIAL SEBESAR 2,2 MILIAR RUPIAH KEPADA 74 ANGGOTA DEWAN SUMATERA SELATAN// ATAU MESKI PERSOALAN KEAMANAN SEPENUHNYA MERUPAKAN TANGGUNG JAWAB POLRI/ NAMUN PIHAK TNI TETAP MEMBANTU PELAKSANAAN PENGAMANAN// UNTUK MEMPERJELAS POSISI TNI TERSEBUT DIPERLUKAN ATURAN HUKUM//MENURUT USODO HAL TERSEBUT DITUJUKAN AGAR TIDAK TERJADI PENGKAPLINGAN ANTARA TNI DAN POLRI Dl LAPANGAN// …<br /><br />Dua di atas adalah berita Ajmal Rokyan dari Palembang dan Dyah Kusuma dari Polkam. Saya ambilkan sesuai dengan naskah asli (Pagi 04/10). Kata-kata dengan fonem awal k/p/t/s apabila mendapat awalan peng- atau meng- akan luluh, sehingga kata-kata seperti somasi menjadi menyomasi bukan mensomasi. Begitu juga dengan kata kapling akan menjadi pengaplingan bukan pengkaplingan. Perkosa akan menjadi memerkosa apabila mendapat awalan me-, bukan memperkosa. Kata target akan menjadi menargetkan bukan mentargetkan, dst.<br /><br />[Kata-kata dengan fonen k/p/t/s tidak luluh apabila kata dasar merupakan unsur serapan dari bahasa asing dan belum ada padanannya atau belum dimdonesiakan. Misalnya: mentransfer, mensurvei dll.]<br /><br />5. Namun, tetapi, meski, dan walau<br /><br />Kesalahan lain pada contoh pada paragraf Dyah Kusuma di atas adalah penggunaan kata meski dan namun dalam satu kalimat. “Namun” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sudah bermakna “walaupun demikian” atau “meskipun demikian“, sehingga jika kita menggunakan kata namun, kita tidak lagi menggunakan tetapi, meski atau walaupun.<br /><br />Namun, meski dan tetapi berfungsi sebagai kata penghubung. Dengan demikian ruas kiri sebagai anak kalimat, ruas kanan pun sebagai anak kalimat sehingga induk kalimatnya tidak ada. Karena itulah kalimat-kalimat itu tidak tergolong kalimat yang baku.<br /><br /> 6. Nya<br /><br />Dalam bahasa Indonesia baku tidak dikenal akhiran -nya. Penggunaan akhiran –nya dipengaruhi oleh ragam bahasa lisan Jawa dan Sunda. Dua contoh di bawah ini diambil dari berita Abbas Yahya (Pagi 04/10) dan Olivia Rosalia (Siang 05/10).<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ LEMAHNYA KONTROL PERTAMINA DALAM PENDISTRIBUSIAN MINYAK TANAH HINGGA PADA TINGKAT AGEN/ MEMBUAT HARGA MINYAK TANAH PADA TINGKAT PENGECER JAUH DI ATAS HARGA ECERAN TERTINGGI YANG DITETAPKAN PEMERINTAH///<br /><br />ATAU<br /><br />EPKG](***PKG***)<br /><br />BAGI PARA ANGGOTA TNI DAN POLRI/ BERJUANG MEMBELA NEGARA/ HINGGA TETES DARAH TERAKHIR/ ADALAH KEBANGGAAN TIADA TARA// KARENANYA TERPAKSA BERHENTI BERTUGAS KARENA MENGALAMI CACAT FISIK/ SEWAKTU MENJALANKAN KEWAJIBAN/ ADALAH HAL YANG MENYEDIHKAN// BAHKAN/ BISA MEMUTUSKAN SEMANGAT HIDUP MEREKA//<br /><br />Dua contoh di atas menunjukkan penggunaan akhiran -nya. Lemahnya kontrol Pertamina, bisa dibuat dengan kalimat baku menjadi Kontrol Pertamina yang lemah. Kata karenanya, juga bisa diganti oleh karena itu atau karena itu, sehingga kalimat di atas bisa diubah menjadi kata, “Karena itu mereka terpaksa berhenti bertugas karena mengalami cacat fisik <br /><br />MENURUTNYA/ PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM/ KARENA DALAM TIGA KALI PERSIDANGAN TIDAK MAMPU MENGHADIRKAN TERDAKWA//<br /><br />Nya juga tidak bisa menjadi kata ganti orang. Menurutnya, katanya adalah contoh kata-kata tidak baku yang sering kita gunakan. Menurutnya bisa diganti menjadi menurut dia atau menurut + nama orang. Pada contoh yang dibuat Donny Kurniawan (Pagi 05/10) itu menurutnya bisa diganti Menurut Marzuki Darusman.<br /><br />7. Ke, kepada, pada<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ PEMERINTAH AKAN MENGAJUKAN PARA DEBITUR YANG TERLIBAT DALAM KESEPAKATAN MASTER SETTLEMENT AND AQUISITION AGREEMENT/MSAA/ KE PIHAK KEPOLISIAN/ JIKA HANYA MENYERAHKAN ASET YANG NILAINYA SUDAH TURUN DARI NILAI SEBELUMNYA/ YANG MEMBUAT NEGARA BERPOTENSI DIRUGIKAN RATUSAN TRILIUN RUPIAH///<br /><br />Kutipan di atas saya ambil dari berita Indy Rahmawati (Pagi 03/10). Pemakaian ke untuk menyingkat pengertian kepada, sekali lagi adalah pengaruh bahasa daerah dalam bahasa Indonesia. Sehingga kalimatnya menjadi tidak baku. Fungsi pada dan kepada adalah sbb:<br /><br />• Pada digunakan untuk menyatakan tempat dan menyatakan waktu. Misalnya pada waktu itu, pada bulan puasa. Kata pada digunakan di depan kata ganti orang, pada saya. Di depan kata bilangan, pada suatu hari. Digunakan di depan kata yang menyatakan waktu, pada bulan puasa. Digunakan di depan kata benda abstrak, pada lamunanku, pada pikiranku dsb.<br /><br />• Kepada digunakan untuk menyatakan arah dan digunakan di depan kata ganti orang. Contoh: Pemerintah melaporkan debitur yang terlibat dalam kesepakatan MSAA kepada polisi.<br /><br />8. Di kata tempat dan di kata depan<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />PEMDA DKI JAKARTA MENGANCAM AKAN MENGHENTIKAN PASOK MINYAK TANAH DAN MENCABUT IJIN USAHA AGEN SERTA PANGKALAN MINYAK TANAH YANG MENJUAL LEBIH MAHAL DARI HARGA ECERAN TERTINGGI/HET// ANCAMAN (Nl DIKELUARKAN MENANGGAPI ADANYA AGEN MINYAK TANAH YANG SAMPAI HARI INI MASIH IVIENETAPKAN HARGA DIATAS HET//<br /><br />Kutipan lead ini saya ambil dari berita Mira Permatasari (Pagi 03/10). Di memiliki dua fungsi yakni untuk menunjukkan tempat dan di sebagai awalan. Diatas sebagai awalan harusnya dipisah menjadi di atas. Sementara di sebagai kata depan harus disambung seperti diketahui, dilakukan dll. Dalam bahasa lisan barangkali kita tidak bisa membedakan keduanya. Hanya saja harus berhati-hati jika menulis judul pada chargen.<br /><br />Masih sering kita jumpai judul yang tidak bisa membedakan di kata tempat dan di sebagai awalan.<br /><br />9. Sesuai undang-undang atau sesuai prosedur.<br /><br />PROSES EKSEKUSI BISA DILAKUKAN SETELAH DITERBITKAN KEPPRES TENTANG PENOLAKAN GRASI/ KARENA/ SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR TIGA TAHUN 50 TENTANG PERMOHONAN GRASI/ BERKAS PERMOHONAN GRASI ITU MESTI MELALUI PROSES DI BERBAGAI INSTANSI//<br /><br />atau<br /><br />SESUAI LETTER OF INTENT DENGAN DANA MONETER INTERNASIONAL/IMF/KEDUA BANK TERSEBUT HARUS SUDAH DIJUAL PEMERINTAH DESEMBER MENDATANG// PENJUALAN KEDUA BANK TERSEBUT KEMUNGKINAN BESAR BARU DAPAT DILAKUKAN PADA TAHUN MENDATANG//<br /><br />Kalimat sesuai undang-undang atau sesuai prosedur sekilas tidak ada yang salah. Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa pasangan idiomatik yakni pasangan yang harus selalu hadir bersama-sama karena sudah tetap, padu, dan senyawa. Andaikata salah satu unsurnya ditinggalkan, ungkapan idiomatik itu menjadi salah. Kalimatnya pun menjadi salah.<br /><br />Kalimat sesuai undang-undang atau sesuai letter of intent harusnya ditulis lengkap dengan pasangannya sehingga menjadi sesuai dengan undang-undang atau sesuai dengan prosedur dll. Ada anggapan membuang kata dengan tidak akan bermasalah dan akan menghemat kata. “Kalimat efektif atau ekonomi kata tidak berarti menyalahi aturan berbahasa,” kata J.S Badudu dalam Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar jilid III.<br /><br />10. Permukiman dan pemukiman<br /><br />Sering kita melihat kedua kata permukiman dan pemukiman ditukarkan maknanya begitu saja. Berikut contoh berita yang dibuat oleh Esther Mulyanie (Pagi, 05/10):<br /><br />MENTERI PEMUKIMAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH ERNA WITOELAR MENYATAKAN PEMERINTAH INDONESIA MEMBERIKAN DUKUNGAN SEPENUHNYA BAGI PENGUNGSI TIMTIM YANG MEMILIH MENETAP Dl INDONESIA// UNTUK ITU/ DISIAPKAN BEBERAPA WILAYAH Dl TIMOR BARAT UNTUK PENEMPATAN//<br /><br />Imbuhan pe- an atau peng- an bermakna “proses melakukan sesuatu”. Jadi kata pemukiman berarti proses memukimkan. Erna Witoelar bukan Menteri pemukiman tapi menteri permukiman. Walaupun urusan memukimkan kembali menjadi sebagian tugas Departemen Permukiman. Demikian juga dengan kata penempatan dalam contoh di atas. Penempatan tidak berarti lokasi dalam konteks kalimat itu. Penempatan berarti proses menempatkan atau memukimkan. Permukiman sama maknanya dengan perumahan.<br /><br />11. Seperti tidak sama dengan antara lain, adalah atau yaitu.<br /><br />RAPAT KOORDINASI MENTERI-MENTERI BIDANG POLSOSKAM/ DIMULAI PUKUL 10 PAGI TADI// RAPAT INI DIPIMPIN OLEH MENKO POLSOSKAM/ SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DAN DIHADIRI BEBERAPA MENTERI/ SEPERTI MENTERI AGAMA THOLHAH HASAN/ MENTERI KOPERASI ZARKASIH NUR/MENDIKNAS YAHYA MUHAIMIN/<br /><br />Kata seperti tidak sama dengan antara lain. Menurut KUBI, seperti artinya mirip. Kalau kita rujuk paragraf di atas berarti yang hadir di rapat polkam itu mirip menteri agama, mirip menteri koperasi dll. Penggunaan kata seperti pada contoh di atas menunjukkan kita masih menggunakan bahasa pasar dalam membuat kalimat-kalimat. Seharusnya menggunakan kata baku.<br /><br />12. Antara… dengan<br /><br />(ANCHOR)<br /><br />SAUDARA/ MENTERI KEUANGAN PRIJADI PRAPTOSUHARDJO MENGAKU[/PERBEDAAN PANDANGAN ANTARA PEMERINTAH DENGAN BANK INDONESIA MENGENAI JUMLAH' SERTA KRITERIA UNTUK MENILAI BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA; BLBI/<br /><br />Contoh di atas saya ambil dari berita Merdi Sofansyah (Petang 10/10). Bahasa Indonesia baku mengenai pasangan kata. Antara ... berpasangan dengan dan bukan dengan dengan. Antara aku dan dia bukan antara aku dengan dia.<br /><br />13. Penutup<br /><br />Masih banyak beberapa contoh kata, kalimat dan dalam naskah kita yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar. Dalam beberapa edisi berikutnya akan kita bahas serial "kesalahan-kesalahan berbahasa" ini.<br /><br /><strong>Kesalahan berbahasa</strong><br /><br />Evaluasi Tanggal 11 Oktober<br /><br />1. Menulis Kembali<br /><br />Pelajaran yang baik untuk membuat naskah berita TV adalah menulis kembali (rewriting). Harap dipisahkan pengertian menulis kembali dengan menyalin (to copy). Pelajaran menulis kembali sebetulnya datang dari desk daerah atau luar negeri yang menggunakan video wire. Namun dalam perkembangannya, menulis kembali kemudian menjadi standar bagi script editor.<br /><br />Di banyak stasiun sebenarnya fungsi redaktur (desk editor) seperti yang kita jalankan selama ini, dibagi dalam dua tugas yang dipisahkan secara tegas yakni fungsi asignment editor dan fungsi script editor. Namun kita—karena keterbatasan SDM—mengabungkan kedua fungsi ini dalam satu tugas redaktur. Kelemahannya adalah, banyak redaktur yang memiliki kemampuan lapangan yang bagus namun tidak memiliki kemampuan menulis naskah berita yang baik. Atau sebaliknya, bisa menulis bagus tapi jaringan di lapangan lemah. Suatu saat kita harus memikirkan pembagian tugas redaktur sebagaimana layaknya di sebuah news station.<br /><br />Mengapa menulis kembali menjadi penting daiam membuat naskah berita TV? "Tulisan yang baik ialah tulisan yang (hampir selalu) ditulis kembali, " kata Maury Green.<br /><br />Penulis naskah biasanya akan menemukan bahwa ia dapat mengembangkan tulisan semula dengan jalan menulis ulang. Menulis kembali umumnya dapat meringkaskan cerita (news story) atau membuat naskah itu bercerita (story telling). Bagi para script editor, Ted White dalam Broadcast News Writing, Reporting and Production, menyarankan:<br /><br />• Bacalah sekali atau dua kali seluruh naskah itu sampai Anda benar-benar memahami semua fakta yang terdapat dalam naskah itu.<br /><br />• Pahamilah hal-hal pokok yang terdapat dalam naskah tersebut.<br /><br />• Ucapkanlah fakta-fakta dan hal-hal pokok itu seolah-olah Anda menceritakannya kepada kawan Anda.<br /><br />• Tulislah.<br /><br />• Poleslah dan kemudian sunting gambarnya.<br /><br />2. Lafal Yang Benar<br /><br />Berbeda dengan media cetak, jurnalistik televisi mengharuskan kita mengucapkan kata dengan lafal yang benar, karena kita membacakan untuk didengar pemirsa. Pusat Bahasa merumuskan, lafal yang benar dalam bahasa Indonesia sedikitnya memenuhi unsur di bawah ini:<br /><br />• Tekanan kata dalam kalimat<br /><br />• Pemenggalan kalimat<br /><br />• Enunsiasi atau kejelasan<br /><br />• Intonasi atau lagu kalimat<br /><br />Keempat syarat ini hanya menyangkut ragam lisan, bukan kualitas yang harus dimiliki dalam penulisan naskah berita.<br /><br />Contoh:<br /><br />...JAKSA AGUNG MARZUKI DARUSMAN MEMBENARKAN ADANYA PERISTIWA KEKERASAN YANG TERJADI BELAKANGAN INI//KARENA PEMILIKAN SENJATA API OLEH IVIASYARAKAT//<br /><br />Penggalan kalimat di atas saya ambil dari berita Liputan 6 Pagi 19 September. Berita dari tim hukrim ini dibaca oleh Erfan (Editor). Sekilas tak ada yang salah, namun karena pemenggalan dan intonasi voice over yang keliru, akhirnya kalimat tersebut ditangkap pemirsa : Jaksa Agung membenarkan kekerasan. Padahal yang benar adalah:<br /><br />JAKSA AGUNG MEMBENARKAN BAHWA BERBAGAI PERISTIWA KEKERASAN YANG TERJADI BELAKANGAN INI/BERKAITAN DENGAN PEMILIKAN SENJATA API OLEH MASYARAKAT//<br /><br />Daftar di bawah ini adalah kata-kata yang sering salah kita lafalkan:<br /><br />a. Pasca bukan dibaca Paska<br /><br />b. CNN (ce-en-en) bukan dibaca ci- en- en<br /><br />c. BBC (be-be-ce) bukan dibaca bi-bi-si<br /><br />d. CGI (ce-ge-i) bukan dibaca ci-ji-ai<br /><br />e. MTQ (em-te-ki) bukan dibaca enn-te-kyu<br /><br />f. Objek bukan dibaca obyek<br /><br />g. Energi bukan dibaca enerji<br /><br />h. Persen bukan dibaca presen atau prosen<br /><br />Contoh:<br /><br /> (ANCHOR)<br /><br />UNTUK MENCAPAI TARGET PENERIMAAN PAJAK SEBESAR 173 KOMA 4 TRILIUN RUPIAH PADA RAPBN 2001/PEMERINTAH AKAN MEMPERLUAS OBJEK PAJAK/SERTA MENINGKATKAN NILAI OBJEK PAJAK/KHUSUSNYA DARI KALANGAN PENGUSAHA//roll vtr...<br /><br />(Sentot Nurahman/Pagi 13/10)<br /><br />Untuk akronim asing panduannya adalah dibaca sesuai dengan lafal aslinya.<br /><br />a. Unesco dibaca yunesko<br /><br />b. Unicef dibaca yunisef<br /><br />c. SEA Games dibaca si - geyms<br /><br />kecuali singkatan asing yang membentuk satu kata harus dibaca sesuai dengan lafal penutur Indonesia.<br /><br />a. NATO dibaca nato bukan neto<br /><br />b. ASEAN dibaca asean<br /><br />c. UNTAET dibaca untaet<br /><br />dalam perkembangan berbahasa, ada beberapa akronim dan singkatan yang kemudian berkembang menjadi kata. Misalnya:<br /><br />• Laser : light amplification by simulated emission of radiation<br /><br />• Radar : radio detecting and ranging<br /><br />• Sonar : sound navigation ranging<br /><br />• Tilang : bukti pelanggaran<br /><br />Laser, radar dan sonar dibaca sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Laser misalnya tidak dibaca leser.<br /><br />Di TVRI untuk akronim dalam bahasa Indonesia yang boleh masuk dalam naskah dan lead berita adalah akronim yang memiliki dua sampai tiga suku kata. Selebihnya harus dibaca utuh. (Soewardi ldris dalam "Berita Televisi")<br /><br />Contoh:<br /><br />a. Golkar, pemilik, jukiak, kepres, puskesmas, pusdikiat, Polri dll.<br /><br />b. Danpusenif harus dibaca Komandan Pusat Persenjataan Infanteri.<br /><br />c. Sishankamrata harus dibaca sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta <br /><br />Sebaik-baiknya naskah berita adalah naskah yang menghindari singkatan dan akronim.<br /><br />Rumusan lain adalah, televisi tidak diperkenankan memopulerkan istilah, singkatan, dan akronim yang tidak lazim. Biarkan media cetak terlebih dulu memopulerkannya. Bila sudah lazim baru televisi menggunakannya. Contoh ABG, dulu istilah ini hanya digunakan oleh "anak gaul" lalu dipopulerkan oleh media cetak. Kini ABG untuk menyebut remaja tanggung sudah mulai masuk dalam naskah berita.<br /><br />Dalam membaca singkatan, Pusat Bahasa merumuskan "dibaca dulu bentuk lengkapnya baru singkatan atau akronimnya."<br /><br />Misalnya:<br /><br />SAUDARA/MENTERI DALAM NEGERI MENYERAHKAN DAFTAR ISIAN PROYEK ATAU DIP TAHUN ANGGARAN 2000 KEPADA GUBERNUR OKI JAKARTA//BUKAN:<br /><br /> <br /><br />SAUDARA/DIP ATAU DAFTAR ISIAN PROYEK UNTUK DKI JAKARTA/HARI INI DISERAHKAN OLEH MENDAGRI//<br /><br />Lafal yang benar juga termasuk membaca fonem /e/. Indonesia mengenal dua fonem /e/ yakni /e/ keras atau /e taling/ dan /e/ lembut atau /e pepet/.<br /><br />Daftar berikut adalah kata-kata yang menggunakan /e/ keras atau /e/ taling:<br /><br />• senjang<br /><br />• peka<br /><br />• rebak<br /><br />• memang<br /><br />• pelak<br /><br />• berang<br /><br />• tera<br /><br />Daftar berikut adalah kata-kata yang menggunakan /e/ lembut atau /e/ pepet <br /><br />• senja<br /><br />• pemda<br /><br />• tegas<br /><br />• rebus<br /><br />• menang<br /><br />• pelan<br /><br />• berang-berang<br /><br />2. Nampak dan Tampak<br /><br />[REPORTER=RIS WIJAYANTO]<br /><br />[DATE=11/10/00]<br /><br />[SHOW= PAGI]<br /><br />SAUDARA//PERJUANGAN TERHADAP MASALAH BURUH ANAK-ANAK/HINGGA SAAT INI NAMPAKNYA MASIH TERUS DIPERJUANGKAN OLEH KAUM IBU //SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH KAUM IBU YANG TERGABUNG DALAM PENGAJIAN BABUSSALAM//<br /><br />Penyengauan bunyi awal suatu kata biasa terdapat dalam bahasa Jawa/Sunda. Lalu kebiasaan itu terbawa kepada penutur berbahasa Indonesia. Interferensi struktur daerah ke dalam struktur Indonesia tidak perlu terjadi. Jadi bentuk yang benar adalah tampak bukan nampak. Jika mendapatkan imbuhan me- kan maka tampak akan berubah menjadi menampakkan.<br /><br />4. Antar dan Anti<br /><br />[CG-JUDUL=PERANG ANTAR DESA. PULUHAN RUMAH HANGUS/ LAMPUNG]<br /><br />[CG=JUDUL=RESOLUSI ANTI ISRAEL Dl SIDANG IPU/JAKARTA]<br /><br />Kedua judul di atas saya ambil dari Liputan 6 Petang tanggal 15 Oktober 2000.<br /><br />Penggunaan partikel antar dan anti pada naskah, judul dan ikon kita belum baku menurut EYD.<br /><br />• Prefiks anti berfungsi untuk melawan apa yang disebut dalam kata dasar. Persamaan anti adalah kontra. Sebagaimana prefiks lainnya maka penulisan anti harus disambung dengan kata dasarnya, sehingga Anti Israel harus ditulis Anti-Israel. Demikian juga dengan kontra, misalnya, kontraproduktif dll.<br /><br />• Prefiks antar berfungsi untuk menyatakan lokasi yang menghubungkan dua hal dalam kata dasar, sehingga kata antar desa harus ditulis bersambung menjadi antardesa.<br /><br />Persamaan antar adalah inter, misalnya, interlokal, interkultural dll.<br /><br />Prefiks-prefiks yang ditulis bersambung lainnya adalah:<br /><br /> <br /><br />a. prefiks a : amoral, apatis, asosial dll.<br /><br />b. prefiks pra : prasejarah, prasangka, prasaran dll.<br /><br />c. prefiks auto dan swa : autobiografi, autodidak, swalayan, swadaya<br /><br />d. prefiks re dan ulang: : reorientasi, restrukturisasi,ulangcetak, ulangdaur<br /><br />e. prefiks bi dan dwi : dwiwarna, bilingual, biseks, bipolar<br /><br />f. prefiks pasca : pascapanen, pascasarjana<br /><br />g. prefiks serba : serbaguna, serbaneka, serbakurang<br /><br />h. prefiks maha : mahaguru, mahasiswa, mahamulia kecuali Maha Esa<br /><br />i. prefiks super dan supra : supersonik, superbesar, supranatural<br /><br />j. prefiks trans dan ultra : transgenik, ultramodern<br /><br />k. prefiks uni : unieropa, unilateral<br /><br />l. prefiks semi : semipermanen, semifinal<br /><br />rn. prefiks ekstra : ekstrakurikulum, ekstralembut<br /><br />n. prefiks hiper : hipermarket, hipertensi<br /><br />o. prefiks eks : eks-presiden<br /><br />p. prefiks mega : megakolusi, megabintang<br /><br />q. preflks pro : projakarta, prosoeharto<br /><br />r. preflks pol : poligami, poliklinik<br /><br />s. prefiks pan : pan-Asia, pan-Amerika<br /><br />Penulisan sambung juga berlaku untuk ukuran satuan panjang, luas, dan berat.<br /><br />Misalnya:<br /><br />1. kilometer bukan kilo meter<br /><br />2. sentimeter bukan centi meter<br /><br />3. kilogram bukan kilo gram<br /><br />4. gigawatt bukan giga watt<br /><br />5. megaton bukan mega ton<br /><br />6. kiloliter bukan kilo liter<br /><br />1. Lead dan Vision Story<br /><br />Banyak orang menyebut yang dibacakan oleh anchor pada awal berita adalah lead. Istilah lead sebenarnya jarang digunakan dalam jurnalistik televisi. Jurnalistik televisi mengenal istilah vision story (VS) sebagai lead. Pada media cetak, lead kadang terdiri dari satu atau dua paragraf dengan memuat lengkap 5 W 1 H, tetapi pada televisi, VS tidak harus memuat lengkap 5 W 1 H. Paling tidak tiga unsur dari 5 W 1 H sudah terlihat di VS. VS yang baik adalah kalimat yang memberi visi dengan satu gagasan cerita.<br /><br />Ivon York, dalam The Technique of Television News mengatakan VS adalah satu atau dua kalimat yang mengantarkan pemirsa untuk menyaksikan aktualitas. Actual event tidak berada pada VS. Berikut rangkuman VS menurut Ivon York:<br /><br />1. Panjang tidak lebih dari dua atau tiga kalimat.<br /><br />2. Yang sudah disampaikan dalam VS tidak boleh ada lagi dalam narasi berita.<br /><br />3. Ringkas, namun tetap memiliki satu gagasan cerita.<br /><br />4. Penyiar berita yang membacakan VS idealnya tampil 15 sampai 20 detik (untuk ukuran 60 kata)<br /><br />Sekarang marilah kita lihat beberapa lead yang pernah kita buat.<br /><br />Contoh 1<br /><br />[REPORTER=ARFAN YAP BANO]<br /><br />[CAM=HARYO DEWANTO]<br /><br />[DATE=20/20/00]<br /><br />[SHOW= PAGI]<br /><br />[VO] (***VO***)<br /><br /> <br /><br />(ANCHOR)<br /><br />INDONESIAN CORRUPTION WATCH / ICW / KHAWATIR TERULANGNYA KEBOCORAN DALAM PENGGUNAAN CGI SEBESAR 4 KOMA 8 MILIAR DOLAR AMERIKA//<br /><br />Contoh 2<br /><br />/REPORTER=INDY]<br /><br />[CAM=ANTO]<br /><br />[DATE=20/10/00]<br /><br />[SHOW= PAGI]<br /><br /> <br /><br />[ANCHOR}<br /><br />PENERBITAN OBLIGASI BARU UNTUK MENGGANTIKAN OBLIGASI REKAPITALISASI PERBANKAN/DINILAI DAPAT MENGURANGI BEBAN KEUANGAN PEMERINTAH// roll...<br /><br />Dua contoh di atas adalah VS yang hanya mengandung satu kalimat. Jika dibaca, Anchor hanya membutuhkan waktu 10 detik. Dua VS ini sangat minim gagasan cerita, karena keduanya tidak lebih dari pernyataan. Kalau khawatir lalu apa? Kalau beban pemerintah berkurang lalu mengapa? Dari segi psikologi penonton juga bisa dirujuk mengapa VS dengan satu kalimat pendek harus dihindari.<br /><br />Ingatlah, saat membaca berita anchor berada pada posisi the talking head (kepala yang berbicara) atau subjek statis. Subjek statis hanya bisa ditampilkan 15 sampal 20 detik. Dua contoh di atas hanya dibaca oleh anchor 10 detik bahkan 7 detik. Penampilan gambar yang terlalu seketika menurut Gerald Millerson dalam The Technique of Television Production tidak akan memuaskan penonton karena mereka tidak mampu memahanni apa yang hendak disampaikan oleh gambar itu.<br /><br />Contoh berikut adalah contoh VS yang hanya terdiri dari satu kalimat tapi sudah memiliki satu gagasan cerita. Contoh ini telah memenuhi syarat minimal dalam membuat VS. Gagasan cerita pada VS ini adalah, karena kinerja yang buruk maka Komisi IX DPR minta Ombudsman BPPN dibubarkan.<br /><br />Contoh 3<br /><br />[REPORTER=ABBAS YAHYA]<br /><br />[CAM=SUJADMOKO]<br /><br />[DATE=19/10/00]<br /><br />[SHOW= PETANG]<br /><br />{ANCHOR<br /><br />SAUDARA/KALANGAN ANGGOTA KOMISI SEMBILAN DPR Rl MEMINTA AGAR KOMITE OMBUDSMAN BPPN DIBUBARKAN/KARENA KINERJANYA RENDAH//<br /><br />Contoh 4<br /><br />[REP=ula]<br /><br />[DATE=20/10/00]<br /><br />[SHOW=PAGI]<br /><br />{ANCHOR\<br /><br />TENGGAT WAKTU 48 JAM BAGI DIMULAINYA GENCATAN SENJATA / GAGAL TERLAKSANA Dl TEPI BARAT// BERBAGAI BENTROKAN TERUS BERLANJUT/ DAN KORBAN TERUS BERJATUHAN//<br /><br />Contoh di atas adalah VS yang benar. Terdiri dari dua kalimat dan gagasan cerita sudah mudah ditangkap dalam waktu 15 detik.<br /><br />Lead yang lebih dari tiga kalimat juga tidak benar. Selain terlalu lama, VS lebih dari tiga kalimat sudah mengalahkan actual event yang sesungguhnya sudah bisa diperlihatkan melalui gambar dan narasi. Karena itu menurut Millerson, the talking head yang lebih dari 30 detik akan membuat perhatian pemirsa mengembara dan tidak terkonsentrasi. Untuk pembaca berita, jika panjang VS lebih dari tiga kalimat atau setara lebih dari 30 detik maka subjek statis harus dipindahkan ke pembaca berikutnya. (Jika menggunakan dua anchorseperti di berita Pagi). Jika satu anchor maka harus diperhatikan betul bahwa penampilan anchor harus antara 15 sampai 20 detik. Kecuali untuk membaca reader.)<br /><br />Contoh 5<br /><br />[REPORTER=INSAN KAMIL]<br /><br />[CAM=ADI ISKARPANDI]<br /><br />[DATE=26/10/00]<br /><br />ISHow= PAGI]<br /><br />{ANCHOR<br /><br />SAUDARA / GEMPA TEKTONIK BERKEKUATAN 6,5 SKALA RICHTER YANG TERJADI RABU SORE KEMARIN MENGGUNCANG DAERAH PANDEGELANG JAWA BARAT// GETARAN GEMPA TEKTONIK YANG DIRASAKAN SAMPAI KE JAKARTA INI/ MENGAKIBATKAN SEBUAH SEKOLAH SD DAN SEKITAR 50 RUMAH PENDUDUK DESA MEKARSARI KECAMATAN PANIMBANG KABUPATEN PANDEGELANG JAWA BARAT ROBOH DAN RUSAK BERAT//<br /><br />Sebenarnya VS ini bisa lebih ketat menjadi:<br /><br />SAUDARA/ GEMPA TEKTONIK BERKEKUATAN 6,5 SKALA RICHTERYANG TERJADI RABU SORB MENGGUNCANG DAERAH PANDEGELANG JAWA BARAT//SEBUAH SEKOLAH DAN 50 RUMAH PENDUDUK RUSAK BERAT//<br /><br />2. Membantah Siapa?<br /><br />[DATE=19/10/00]<br /><br />[SHOW= PETANG]<br /><br />{**ON CAM**)<br /><br />SAUDARA/PIHAK AIR WAGON INTERNASIONAL/AWAIR MEMBANTAH ADANYA PEMBERITAAN/TENTANG TERBAKARNYA SEBUAH PESAWAT PERUSAHAAN PENERBANGAN TERSEBUT Dl BANDARA SEPINGGAN BALIKPAPAN/KALIMANTAN TiMUR// MENURUT PIHAK AWAIR/ PESAWAT JURUSAN JAKARTA-BALIKPAPAN DENGAN NOMOR REGISTRASI PK-AWA JENIS AIRBUS A310-300 TERSEBUT SAAT INI BERADA DALAM KONDISI UTUH Dl BANDARA SEPINGGAN// <br /><br />Berita yang dimuat di Liputan 6 Petang ini mengejutkan. Tidak ada asap tidak ada api, tiba-tiba kita membantah bahwa sebuah pesawat dikabarkan mesinnya terbakar. Sebelumnya kita tidak pernah memberitakan hal ini. Kesannya seolah-olah kita menjadi juru bicara AWAIR. Memang RCTI sempat memberitakan hal ini pada sekilas info pukul 16.00. Harusnya berita yang kita buat di atas untuk posisi RCTI bukan SCTV. Jika SCTV ingin membuat juga bantahan itu, mestinya kita memulai dengan faktanya terlebih dulu.<br /><br /> ***<br /><br />Ini adalah bagian akhir dari empat episode tulisan saya tentang kesalahan berbahasa yang sengaja atau tidak sengaja telah kita lakukan. Sebelum menutup evaluasi berbahasa ini saya ingin mengingatkan kembali bahwa catatan saya terdahulu tak lebih dari catatan. Usai rapat evaluasi ia menjadi kertas usang. Berbagai kesalahan berbahasa yang telah kita bahas bersama selalu terulang. Misalnya penggunaan pasangan idiomatik sesuai dengan, penggunaan meski dan tapi dalam satu kalimat, merubah, dirubah, pemboman dan banyak kesalahan lainnya. Cerdas berbahasa dan cermat berkalimat adalah ciri khas pekerjaan jurnalistik yang kita geluti.<br /><br />Berikut catatan akhir saya tentang kesalahan berbahasa.<br /><br />1. Ditemui usai, dan menurut ...<br /><br />Contoh 1<br /><br />DITEMUI SESUAI MEMIMPIN RAPAT UNI ANTAR PARLEMEN/KAMIS SIANG/KETUA DPR/AKBAR TANDJUNG MENYATAKAN RENCANA PEMBENTUKAN BADAN INTELIJEN BARU/YANG DIUSULKAN DEPARTEMEN PERTAHANAN/HARUS DITINJAU ULANG// KARENA/ SAAT INI LEMAHNYA PERANAN INTELIJEN LEBIH DISEBABKAN PERSOALAN PENDANAAN/DAN TIDAK ADANYA KOORDINASI ANTAR ORGANISASI INTELIJEN// KARENA ITU /AKBAR MEMINTA DEPARTEMEN PERTAHANAN UNTUK LEBIH MENGAKTIFKAN PERAN BADAN INTELIJEN KEJAKSAAN AGUNG DAN KEPOLISIAN// (IVIahmud/ Pagi 20 Oktober)<br /><br />Contoh 2<br /><br />MENURUT JHONSON PANJAITAN SELAKU KUASA HUKUM TERSANGKA PENGEBOMAN GEDUNG BURSA EFEK JAKARTA/ TENGKU ISMUHADI DAN KAWAN-KAWAN/KETIDAK HADIRAN 15 ORANG SAKSI INI DIDUGA ADA TEKANAN DARI PIHAK TERTENTU///MENGINGAT MALAM SEBELUMNYA PARA SAKSI DAN SATU ORANG AHLI HUKUM MENYATAKAN KESEDIAANYA UNTUK HADIR DIPERSIDANGAN GUGATAN PRAPERADILAN TERHADAP POLDA METRO JAVA DIPENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN///NAMUN SAAT PAGI HARINYA/PARA SAKSI TERSEBUT TIDAK ADA DI TEMPAT TANPA ADA KETERANGAN///<br /><br />(Roy/Slang/30 Oktober)<br /><br />Saya mengambil dua contoh kalimat awal dari paket berita kita. Kesalahan umum yang terjadi adalah memulai paket dengan “Ditemui usai …” atau “Menurut …”. Kalau Anda perhatikan contoh satu, hilangkan kata “Ditemui usai” atau hilangkan “Menurut Akbar Tanjung” maka kalimat Anda akan langsung masuk pada substansi dan gambar tidak akan terfokus pada Akbar Tanjung atau acara yang dihadiri Akbar Tanjung. Dengan masuk pada substansi maka gambar anda bisa berupa establish shoot Gedung Bakin, Gedung Dephan atau Markas BAIS.<br /><br />Contoh dua lebih fatal, reporter sebenarnya sudah berhadapan dengan actual event, tapi redaktur yang bertugas mengubahnya menjadi talking news dengan memulai kata “Menurut Johnson Panjaitan” pada awal kalimat. Kalau kita hilangkan kata “Menurut” sebenarnya jalan cerita sudah menyentuh substansi bahwa ketidakhadiran para saksi karena ada tekanan. Mengapa harus dikutip pernyataan Johnson?<br /><br />2. Berlebihan<br /><br />Contoh 3<br /><br />{ANCHOR}<br /><br />SAUDARA/ MENKO POLSOSKAM SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENYATAKAN/ SAAT INI DIPERLUKAN PENATAAN KEMBALI FUNGSI DAN HUBUNGAN LEMBAGA INTELIJEN YANG SUDAH ADA/ SEPERTI BAKIN DAN BAIS// HAL INI DILAKUKAN AGAR PEMERINTAH DAPAT MENGAMBIL KEPUTUSAN DAN KEBIJAKAN SECARA AKURA17/<br /><br />Kata-kata seperti “Lembaga intelijen yang sudah ada”, “Rumah sakit terdekat”, Undang-undang yang berlaku”, “Alternatif lain” dapat dikategorikan rangakaian kata “berlebihan”. Kita tidak bisa mengefektifkan kalimat yang memang seharusnya kita efektifkan. Bahkan kita menambahkan kata-kata yang tidak perlu kita tambahkan. Jika kita hilangkan kata-kata tambahan itu, maknanya kan tidak berubah. Memangnya pemerintah mau menata lembaga inteiijen yang tidak ada atau sudah tutup? Atau undang-undang yang tidak berlaku apakah masih digunakan. Kalau ada kecelakaan, mungkinkah kita membawa ke rumah sakit terjauh? Untuk kata alternatif, bukanlah alternatif sudah memberikan pengertian “lain”<br /><br />Contoh 4<br /><br />{ANCHOR}<br /><br />SAUDARA/SEKITAR 48 RIBU PEGAWAI BADAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI NASIONAUBKIN/YANG MENGGANTIKAN KEBERADAAN DEPARTEMEN PENERANGAN/ HINGGA KINI MASIH BELUM MENGETAHUI/ BIDANG TUGAS YANG HARUS DIKERJAKAN// AKIBATNYA/ BANYAK PEGAWAI YANG TIDAK MASUK KANTOR/DAN LEBIH SUKA MENCARI KERJA SAMBILAN// vtr roll… (Cjadijah/Petang 19 Oktober 2000)<br /><br />Coba hilangkan kata “keberadaan”, samakah pengertiannya? Ini juga contoh kasus membuat kalimat “berlebihan”.<br /><br />3. Kepada SCTV dan menjawab pertanyaan SCTV<br /><br />Contoh 5:<br /><br />SECARA TERPISAH/ EDWARD SITORUS KEPADA SCTV MENGATAKAN/ AKIBAT AKSI MOGOK DAN UNJUK RASA KARYAWAN ITU/ PTPN II RUGI MILIARAN RUPIAH//PIHAKNYA MENSINYALIR/ ADA OKNUM TERTENTU YANG MEREKAYASA UNJUK RASA DAN MEMBIAYAI KARYAWAN UNTUK MELAKUKAN AKSI MENGINAP Dl GEDUNG DEWAN// (Chairul Dharma Pagi 20 Oktober)<br /><br />Contoh 6<br /><br />MENJAWAB PERTANYAAN SCTV SEBELUM MENYAMPAIKAN SAMBUTANNYA PADA ACARA FORUM SILATURAHMI PARA DA’1 SE-IBUKOTA/ Dl BALAI AGUNG/BALAIKOTA/ JAKARTA/ KAMIS SIANG/ GUBERNUR DKI JAKARTA SUTIYOSO MENGATAKAN PIHAKNYA TELAH MENERIMA SEJUMLAH DUKUNGAN DARI MASYARAKAT MENYANGKUT KEBERADAAN HANSIP YANG SELAMA INI DIFUNGSIKAN MENGGANTIKAN PERAN PENGATUR JALAN YANG DIKENAL DENGAN SEBUTAN PAK OGAH// (Jannus/Petang 19 Oktober)<br /><br />Memakai “kata kepada SCTV” atau “menjawab pertanyan SCTV” sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesan eksklusif. Betulkah berita di atas eksklusif? Eksklusivitas sebenarnya menyangkut dua hal, pertama, tentang seseorang, yang kedua tentang substansi. Menemui Panglima GAM adalah eksklusif karena tidak semua orang bisa bertemu sang tokoh. Mewawancarai Edward Sitorus atau Gubenur Sutiyoso adalah hal biasa. Topik hansip dan soal demo buruh toh kejadian biasa. Mewawancarai Wiranto, tanpa memberi pertanyaan yang menjawab keingintahuan pemirsa menjadi tidak eksklusif karena itu selektiflah menggunakan kata-kata seperti kepada SCTV ini hanya untuk eksklusivitas.<br /><br />4. Mempersilahkan dan Menghimbau<br /><br />Contoh 7<br /><br />[ANCHOR]<br /><br />SAUDARA/ PLN MEMPERSILAHKAN ASOSIASI PERUSAHAAN MENGADUKAN MASALAH KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK KEPADA DPR/AGAR LEMBAGA/ TINGGI NEGARA ITU DAPAT MENGELUARKAN KEPUTUSAN POLITIK//{Jufri/Pagi 21 Okt)<br /><br />Menurut KUBI silahkan dengan huruf “h” adalah yang tidak baku. Jadi pada contoh di atas harusnya ditulis mempersilakan bukan mempersilahkan. Demikian juga dengan kata himbau dan handal yang baku adalah imbau dan andal sehingga kita menggunakannya menjadi mengimbau bukan menghimbau, atau atlet andal bukan atlet handal.<br /><br />5. Terlantar, terlanjur dan terlentang<br /><br />Contoh 8<br /><br />IANCHOR\<br /><br />RATUSAN PENUMPANG DAN CALON PENUMPANG KERETA API JURUSAN BANDUNG DAN JAKARTA; TERLANTAR DI DUA STASIUN DI YOGYAKARTA/ AKIBAT DIBATALKANNYA SEMUA KEBERANGKATAN KERETA KE JURUSAN TERSEBUT/ HARI INI// PEMBATALAN ITU DILAKUKAN / MENYUSUL ANJLOKNYA KERETA ARGO DWIPANGGA Dl STASIUN PATUGURAN DAN BANJIR Dl JALUR CIPARI-MLUWUNG// (Wiwik Susilo/ Petang 30 Okt)<br /><br />Contoh kata bentukan yang digunakan secara tidak benar adalah tiga kata di atas yakni terlantar, terlanjur, dan terlantang. Ketiga kata ini menurut KUBI sebenarnya memiliki kata dasar antar, anjur, dan lentang. Untuk ketiga kata ini terjadi proses desimilasi atau pengawalarasan . Ter + anjur = tel + anjur = telanjur. Ter + antar = tel + antar = telantar.<br /><br />Ter + lentang = telentang. Lama kelamaan orang menganggap lanjur dan lantar sebagai kata dasar. Dalam KUBI dan Kamus Besar Bahasa Indonesia kita akan menemukan bahwa entri kata-kata di atas adalah telanjur, telantar dan telentang. Jika kita ingin nnemberi arti wajah menghadap ke atas untuk kata telentang, penulisan yang benar adalah tertelentang, bukan telentang. Demikian juga untuk menyebutkan wajah menghadap ke lantai, kata yang benar adalah tertelungkup, bukan telungkup. Artinya, apa yang kita gunakan selama ini untuk tiga kata di atas adalah keliru.<br /><br />6. Menulis Singkatan dan Akronim<br /><br />[GITETI<br /><br />[CG=JUDUL=MENKEU: Nasib Proyek Gitet Belum Ditentukan/ JKTI Judul di atas saya ambil pada chargent berita Petang 30 Oktober 2000. Dua pekan lalu saya sudah membuat ulasan mengenai pelafalan akronim dan singkatan, baik asing maupun lokal. Kali ini kita coba urai mengenai penulisan singkatan. Menurut EYD singkatan ditulis dengan huruf besar tanpa titik di antara huruf atau akhir huruf. Jika singkatan Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi yang benar adalah GITET bukan Gitet.<br /><br />Lain halnya dengan akronim, EYD menentukan penulisan akronim hanya huruf pertama dari akronim itu ditulis dengan huruf kapital atau besar. Contoh Bappenas bukan BAPPENAS<br /><br />Penulis:<br /><br />Apni Jepe<br /><br />Praktisi Penyiaran Televisi<br /><br />Apni Jaya Perwira menulis catatan ini untuk SCTV pada tahun 2000 dan diuraikan lagi pada diskusi FBMM di SCTV pada tanggal 28 Agustus 2002<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-76928511567938325822008-10-29T22:25:00.000-07:002008-10-29T22:26:35.091-07:00Upah Layak Minimum Jurnalis Denpasar Rp. 3,6 jutaMenurut survei AJI Denpasar, upah jurnalis di Denpasar masih jauh dari standar kelayakan. AJI Denpasar mendapatkan data, upah jurnalis di Denpasar paling tinggi Rp 1.800.000 (take home pay) dan paling rendah Rp 550.000 (take home pay) per bulan. <br /><br />Ada pula perusahaan media yang tidak memberikan uang transportasi. Berdasar survei AJI Indonesia di beberapa daerah, upah jurnalis di Indonesia, jika dibandingkan dengan jurnalis di negara berkembang lainnya seperti Malaysia dan Thailand, masih terpaut sekitar tiga kali lebih rendah.<br /><br />Agar profesinalisme jurnalis bisa ditingkatkan, AJI Denpasar menetapkan standar upah layak minimum sebesar Rp. 3.624.821. Standar upah ini berlaku bagi seorang jurnalis lajang di Denpasar yang baru diangkat menjadi karyawan tetap. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Survei ini dilakukan dalam rentang waktu Agustus sampai September 2008. Survei dilakukan kepada sejumlah perusahaan media. Di antaranya Radar Bali, Nusa Bali, Bali Post, Denpasar Post, Warta Bali, Patroli Post, Fajar Bali, Metro Bali, Bisnis Bali, Bali TV, Dewata TV. <br /><br />“Upah minimum jauh dari standar kelayakan, AJI mengkhawatirkan tidak mampu ditegakannya independensi media dan jurnalis. Sulit bicara independensi jurnalis kalau perut keroncongan,” kata Ketua AJI Denpasar Bambang Wiyono saat pemaparan hasil survei di depan pemimpin dan perwakilan media massa di Bali, Rabu kemarin di renon Denpasar.<br /><br />Ketua KPID Bali Komang Suarsana sependapat dengan hasil survei ini bahwa tingkat kesejahteraan jurnalis di Bali masih sangat rendah. “Ini adalah perjuangan memperoleh reward yang memadai dari kerja mereka sebagai pekerja di dunia pers. Jurnalis harus lebih bekerja keras meningkatkan kapasitasnya dari pekerja pers menjadi seorang profesional dengan menjaga etika dan independensinya,” paparnya. <br /><br />Suarsana mengkritik bahwa wartawan saat ini masih banyak yang mengabaikan intelektualitas dan kode etik jurnalistik sehingga sulit bargaining dengan pemilik media untuk meningkatkan kesejahteraan.<br /><br />Sejumlah lembaga hukum seperti Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali juga menyatakan dukungannya agar standar upah ini dapat diimplementasikan.<br /><br />“Yang penting adalah action plan. Bagaimana kita bisa meminta pemilik media memperhatikan hal ini dan menerapkan,” kata Direktur PBHI Bali Ni Nyoman Sri Widiyanthi.<br /><br />Humas Pemkot Denpasar Erwin Suryadarma menyambut baik dari upaya untuk memperjuangkan hak-hak media biar dihargai profesi sebagai wartawan. “Saya melihat media profesional, harus ada tuntutan untuk upah. Saya prihatin jika survei benar, wartawan ada yang diberi gaji di bawah UMR. Saya melihat wartwan sebagai tempat terhormat. Di mata kita mempunyai pemikiran dan kritisi atas aspek-aspek pembangunan. Di Pemkot, kedudukannya sejajar dengan pimpinan,” ujarnya <br /><br />Sejak lahirnya revisi Undang-Undang Pers pada 1999, kran kebebasan pers terbuka lebar. SIUPP tidak lagi diberlakukan, sensor dan bredel pun tak berlaku lagi. Rakyat Indonesia menikmati kebebasan pers terbesar sepanjang sejarahnya. Konsekuensinya, masyarakat membutuhkan informasi dari media yang berkualitas, akuntabel, profesional, dan independen. <br /><br />Menjawab tuntutan publik ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah membuat berbagai program untuk meningkatkan pengetahuan, skill jurnalistik, serta ketaatan terhadap kode etik. Berbagai training jurnalistik dan kampanye anti amplop/suap selalu jadi prioritas dalam setiap periode kepengurusan. <br /><br />Sayangnya, upaya peningkatan profesionalisme sering terhambat oleh kurang diperhatikannya kesejahteraan jurnalis. Banyak pemodal berkantong cekak nekat mendirikan media. Akibatnya, lahirlah perusahaan pers yang bermutu rendah dengan upah jurnalis yang minim. Situasi ini jelas berbahaya karena bisa menggiring para jurnalis permisif terhadap suap atau amplop dari narasumbernya. Alhasil, independensi dan profesionalisme jurnalis hampir mustahil ditegakkan. <br /><br />Fakta masih banyaknya pengusaha media yang tidak mengimbangi kerja jurnalisnya dengan upah/kesejahteran yang layak terungkap dalam survei AJI Indonesia tahun 2005. Menurut survei atas 400 jurnalis dari 77 media di 17 kota itu, masih ada jurnalis yang diupah kurang dari Rp 200 ribu jauh lebih rendah ketimbang upah minimum yang ditetapkan pemerintah. <br /><br />Pasal 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberi mandat kepada segenap perusahaan media untuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Bentuk kesejahteraan itu berupa kepemilikan saham, kenaikan gaji, bonus, serta asuransi yang layak. Pendek kata, menuntut kebebasan pers tanpa menyertakan kesejahteraan jurnalisnya, sama halnya mereduksi UU Pers itu sendiri. <br /><br />Dalam perkembangan selanjutnya jurnalis non-organik alias koresponden juga harus mendapatkan perhatian khusus. Mereka adalah golongan yang paling rentan dalam gurita industri media. Kontrak kerja yang tak jelas, tiadanya jaminan asuransi, kaburnya standar upah serta beban kerja yang tak kalah tinggi menyebabkan koresponden di daerah bekerja dalam kondisi yang tak terjamin oleh perusahaan. <br /><br />Hal itu masih diperunyam dengan jenjang karier yang juga buram. Kendati sudah mengabdikan dan mendedikasikan dirinya selama bertahun-tahun, status mereka masih belum beranjak menjadi karyawan tetap. <br /><br />Standar upah layak minimum ini dirumuskan berdasarkan komponen dan harga kebutuhan hidup layak pada 2008. Metodenya, kami mengukur perubahan biaya hidup (living cost) berdasarkan gerakan indeks harga konsumen/IHK (consumers price index) sesuai pola konsumsi yang paling dekat dengan kebutuhan seorang jurnalis. Dalam survei ini, AJI Denpasar menetapkan lima komponen kebutuhan jurnalis secara individu, atau belum/tidak termasuk keluarga. Lima komponen itu yakni makanan dan minuman, sandang, perumahan, aneka kebutuhan lain serta tabungan.<br /><br />Di luar upah layak minimum, AJI Denpasar menuntut perusahaan media menerapkan sistem kenaikan upah reguler yang memperhitungkan angka inflasi, prestasi kinerja, jabatan, dan masa kerja setiap jurnalis. <br /><br />AJI Denpasar juga meminta perusahaan media memberikan sejumlah jaminan, seperti asuransi keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan sosial bagi keluarganya. AJI Denpasar pun meminta perusahaan media memberikan tunjangan keluarga, setidaknya tunjangan istri (10% x upah) dan tunjangan anak (5% x upah untuk dua anak). <br /><br />Bagi perusahaan yang karena kondisi keuangannya belum bisa memenuhi standar gaji layak minimum ini, kami menuntut beberapa hal:<br /><br /> <br /><br />1. Manajemen harus melakukan transparansi keuangan agar semua jurnalis/karyawan mengetahui alokasi anggaran setiap bagian dari proses produksi, untuk mencegah pemborosan atau melakukan penghematan. <br /><br />2. Manajemen harus mempersempit kesenjangan gaji terendah dan gaji tertinggi (pimpinan) untuk memenuhi rasa keadilan bersama dan melakukan penghematan. <br /><br />3. Manajemen harus mengalihkan hasil penghematan untuk memperbesar persentase anggaran bagi upah/kesejahteraan karyawan.<br /><br />4. Terhadap perusahaan media yang mempekerjakan koresponden, manajemen harus memberikan kesempatan berkarier kepada mereka untuk menjadi karyawan tetap dengan tingkat kesejahteraan yang setara. <br /><br />5. Apabila perusahaan media yang dengan alasan tertentu tidak bersedia menjadikan koresponden sebagai karyawan tetap, maka selain memberikan honor tulisan, manajemen juga harus memberikan jaminan asuransi, klaim transportasi dan honor basis sesuai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di mana seorang koresponden bertugas.<br /><br /> <br />sumber :<br />Luh De Suriyani<br />Freelance Journalist<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-1004955465870907742008-06-21T20:18:00.000-07:002008-06-21T20:23:21.919-07:00Tips Buat Presenter IIIMengatasi Kegugupan(Nervousness)<br /><br />Ketika harus berbicara di depan umum, seringkali kita dihinggapi oleh rasa takut yang berlebihan. Hal ini dicirikan dengan timbulnya rasa grogi, takut berbuat salah, malu-malu, kecemasan yang berlebihan, suara dan gerakan yang tidak wajar. Di bawah ini ada beberapa tips praktis untuk mengatasi rasa gugup yang berlebihan.<br /><br />Tips 1 Percaya diri dan berpikir positif<br />Tidak ada manusia yang sempurna, sehingga jangan pernah harapkan kesempurnaan itu datang. Berpikirlah bahwa kita akan mendapat pengalaman baru dan yakinlah bahwa semua orang juga akan mengalami kepanikan yang sama seperti Anda. Jadi, berpikirlah positif.<br /><span class="fullpost"><br />Tips 2 Persiapan yang cukup<br />Kuasai materi dan latihlah berbicara (bukan membaca). Jika perlu, lakukan di depan cermin sehingga Anda langsung mendapat umpan balik. Jangan lupa siapkan peralatan yang menunjang seperti Infocus, layar, atau apapun, yang bisa membuat presentasi Anda menjadi lebih efektif.<br /><br />Tips 3 Buat diri Anda nyaman<br />Perhatikan benar penampilan Anda. Pastikan bahwa Anda merasa nyaman dengan penampilan Anda.<br /><br />Tips 4 Senyum<br />Senyum akan mencairkan ketegangan dan juga membuat keakraban. Sapalah audiens dengan salam yang hangat dan tulus.<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-16865136584202290232008-06-21T20:08:00.000-07:002008-06-21T20:17:43.962-07:00Tips Buat Presenter IIMenjadi Presenter Handal<br /><br />Untuk menjadi presenter yang handal dan bertahan lama, diperlukan bukan hanya keterampilan berkomunikasi. Lebih dari itu, diperlukan karakter dan kemampuan “marketing” dalam menjual keahliannya tersebut. Di bawah ini, ada beberapa tips penting untuk menjadi presenter yang handal.<br />Tips 1 Know Your Self<br />Mengetahui dengan pasti kelebihan-kelebihan dirinya, yang dapat di pakai sebagai modal untuk ditonjolkan dan dipublikasikan. Jadi harus punya rasa percaya diri.<br />Tips 2 Image Personality<br />Penentuan brand image hendaknya dilakukan pertama kali saat akan memulai karier ini. Sebagai contoh, mau memilih image ‘serius’ atau ‘humoris.’ Selanjutnya harus konsisten dengan image tersebut, guna memilih acara-acara yang sesuai dengan image yang ingin ditonjolkan. Sebaiknya tetap konsisten pada pilihan awal, karena sekali kita terlibat dalam suatu pekerjaan akan menentukan image selanjutnya<br /><span class="fullpost"><br />Tips 3 Great Character<br />Menjaga sikap-sikap tertentu agar mendapat kepercayaan rekan bisnis, seperti: tepat waktu, disiplin, selektif terhadap pemilihan acara, dan sebagainya.<br />Tips 4 Time Management<br />Pengelolaan waktu adalah hal yang harus diperhatikan oleh seorang presenter. Ia harus datang menerima arahan dari klien. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya salah persepsi ketika membawa acara. Ia harus tepat waktu, berkaitan dengan persiapan acara.<br />Tips 5 Networking<br />Bersosialisasilah di mana-mana, sehingga orang tidak akan lupa pada kita dan tetap ingat kita. Caranya, dengan memberikan kartu nama, dan lain-lain. Hubungan dengan wartawan sangat penting dilakukan, karena kita membutuhkan mereka. Namun, jangan sampai terlihat mengejar-ngejar. Cukup lakukan sebuah hubungan yang baik, sehingga sewaktu-waktu mereka dapat mengangkat kita.<br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-52631059516775599622008-06-21T19:32:00.000-07:002008-06-21T20:08:12.925-07:00Tips Buat PresenterBerkomunikasi Dengan Efektif<br /><br />Untuk berkomunikasi dengan efektif pada saat presentasi, membawakan acara, menjadi presenter atau host sebuah acara, diperlukan skill khusus. Di bawah ini diberikan jurus jitu agar membuat komunikasi Anda menjadi jauh lebih efektif.<br />1. Strategy<br />Strategi ini mencakup bagaimana cara mengatasi kegugupan, menerima umpan balik, memperjelas citra diri serta menepis bias ketika menyampaikan informasi. Kata kunci di sini adalah pahami bahwa proses komunikasi adalah proses dua arah, memahami dan menguasai pesan yang akan disampaikan, serta pahami bagaimana berbicara, bukan apa yang akan dibicarakan.<br />2. High Energy<br />Walaupun style setiap orang berbeda dalam presentasi, tetapi presentasi dengan high energy dan high focus adalah syarat yang tidak bisa ditawar.<br />3. Intensity of Eye Contact<br />Lebih dari separuh, atau 58 persen keberhasilan proses komunikasi, ditentukan oleh komunikasi visual. Selalu pandang mata audience Anda dengan intensitas mata yang cukup.<br /><span class="fullpost"><br />4. Transfer Of Feeling<br />Berkomunikasi dengan baik membutuhkan kasih tanpa syarat. Anda tidak mungkin berkomunikasi dengan baik jika Anda tidak jujur. Jika ada hal yang tidak mengenakkan untuk disampaikan, ingat speak always the truth but do it in love…be patient, be humble and be kind.<br />5. Body Language<br />Komunikasikan pesan Anda dengan bahasa tubuh yang sesuai dengan kondisi pesan yang disampaikan, serta tidak berlebihan.<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-60792854529065453132008-06-21T19:18:00.000-07:002008-06-21T19:22:41.661-07:00Essay - Kriteria Obyektif Dan Subyektif Dalam Pemuatan Artikel Di Harian KompasOleh Satrio Arismunandar<br /><br />Wartawan Harian Kompas, Pepih Nugraha, dalam blognya menyatakan, bagi yang berminat mengirim artikel ke Kompas, perlu mengetahui syarat-syarat yang diinginkan Kompas. Penjabaran kriteria ini bisa menjadi salah satu strategi, dalam menyiasati artikel agar bisa dimuat. Pepih memaparkan 17 penyebab sebuah artikel ditolak oleh Desk Opini Kompas. Yaitu:<br />1. Topik atau tema kurang aktual<br />2. Argumen dan pandangan bukan hal baru<br />3. Cara penyajian berkepanjangan<br />4. Cakupan terlalu mikro atau lokal<br />5. Pengungkapan dan redaksional kurang mendukung<br /><span class="fullpost"><br />6. Konteks kurang jelas<br />7. Bahasa terlalu ilmiah/akademis, kurang populer<br />8. Uraian Terlalu sumir<br />9. Gaya tulisan pidato/makalah/kuliah<br />10. Sumber kutipan kurang jelas<br />11. Terlalu banyak kutipan<br />12. Diskusi kurang berimbang<br />13. Alur uraian tidak runut<br />14. Uraian tidak membuka pencerahan baru<br />15. Uraian ditujukan kepada orang<br />16. Uraian terlalu datar<br />17. Alinea pengetikan panjang-panjang.<br /><br />Ditambahkan Pepih, mereka yang berminat menulis opini tinggal menegasikan saja 17 persyaratan di atas. Poin pertama, misalnya, topik atau tema harus aktual. Poin kedua argumen dan pandangan harus hal baru. Poin tiga, penyajian jangan berkepanjangan alias cukup singkat saja, dan seterusnya. Tentu saja ada "trik" lain agar opini bisa lolos dan dimuat, tetapi itu kata Pepih akan ia paparkan di kesempatan lain.<br /><br />Syarat lain yang amat penting, menurut Kepala Desk Opini Kompas Tony D. Widiastono, adalah panjangnya artikel. Panjangnya cukup 5.300 karakter atau 700 kata saja dalam Bahasa Indonesia. Biar lebih cepat sampai,tulisan dikirim lewat imel ke alamat: opini@kompas.co.id. Naskah yang lolos pemeriksaan akan dimuat secepatnya. Jika tidak bisa dimuat, dipastikan dikembalikan paling lama dua minggu dari penerimaan naskah.<br /><br />Menurut pengamatan saya, yang kebetulan juga pernah bekerja sebagai wartawan di Kompas, kriteria yang diutarakan Pepih memang benar. Tetapi itu baru koma, belum titik. Si penulis artikel harus bersiap menerima kenyataan, artikelnya dikembalikan, bukan karena tak layak atau tak memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas, tetapi karena Kompas kekurangan space untuk memuatnya! Artikel saya pernah beberapa kali dikembalikan deengan alasan keterbatasan tempat untuk memuatnya.<br /><br />Selain itu, tidak selalu suatu artikel dimuat karena semata-mata pertimbangan obyektif (hal ini bukan cuma berlaku di Kompas, tetapi juga di media-media cetak lain).<br />Ada hal-hal subyektif, seperti: kedekatan atau “hubungan khusus” antara pemilik media dengan si penulis artikel. Pengelola/pemilik media sering merasa tak enak hati, jika harus menolak tulisan dari tokoh-tokoh senior yang ia kenal dekat.<br /><br />Selain itu, ada pertimbangan “kemanusiaan” (kasihan) kepada penulis artikel. Artikel itu dimuat dengan niat membantu si penulis, yang diketahui sedang mengalami kesulitan keuangan. Tentu saja, dua alasan subyektif di atas baru bisa dilaksanakan, jika kualitas artikel yang dikirimkan “tidak parah banget.” Jika kualitasnya terlalu buruk, ya tentu saja sulit dimuat, karena akan merusak citra Desk Opini suratkabar bersangkutan.<br /><br />Saya tahu hal-hal ini, karena juga pernah ikut dalam rapat redaksi (ketika masih kerja di harian Kompas). Di dalam rapat waktu itu, diputuskan oleh pimpinan untuk memuat artikel dari seorang peneliti LIPI, dengan alasan subyektif yang sudah saya sebut di atas.<br />aumber : Satrio AM<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-60331456783083846782008-06-21T18:38:00.000-07:002008-06-21T18:48:53.024-07:00Menulis Untuk Media WebBagi Praktisi Humas/ Public relations<br /><br />Oleh Satrio Arismunandar<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Web Audience secara umum:</span><br /><br />Secara teoritis, web audience adalah siapa saja yang bisa mengakses Web. Sebagai definisi, ini terlalu luas untuk dimanfaatkan secara praktis. Maka berdasarkan riset (di Amerika), diketahui bahwa publik di web umumnya memiliki ciri sebagai berikut:<br />Mereka memiliki pesawat TV dan dalam banyak kasus juga memiliki perangkat lunak komputer yang canggih sebagai standar presentasi.<br />Mereka merasa nyaman dengan presentasi lewat layar (screen), dan cukup canggih dengan desain dan presentasi.<br />Mereka merasa nyaman dengan tayangan suara, gambar dan gerak (motion) secara serempak.<br />Mereka terbiasa dengan riset nonlinear, pemrosesan informasi, dan presentasi.<br />Mereka tidak membaca secara rinci (detail), tetapi mereka hanya mem-browsing dan men-scan.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Dua tipe audience:</span><br /><br />Ciri terakhir ini khususnya berdampak penting bagi praktisi PR sebagai penulis.<br />Beberapa audience ini akan bersemangat dan termotivasi untuk menetap di situs kita, sampai mereka menemukan informasi yang dibutuhkan. Menulis untuk audience ini relatif mudah.<br />Audience yang lainnya, hanya browser biasa yang tak punya niat awal atau motivasi untuk mengunjungi atau menetap di situs kita. Menulis untuk audience ini memberi tantangan yang lebih besar bagi praktisi PR.<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Siapa Web Audience kita?</span><br /><br />Penulis PR secara konseptual berurusan dengan global audience, yang jumlahnya sangat besar, dan umumnya tidak terlalu berminat mengunjungi situs kita (kecuali dalam situasi krisis). Ada tiga kategori publik web yang perlu diperhatikan para penulis PR, yaitu:<br /><br />1. Komentator kritis (critical commentators)<br />2. Pengunjung yang berkomitmen (committed visitors)<br />3. Browser biasa (casual browsers)<br />4. Komentator kritis (critical commentators)<br /><br />Komentator kritis menjadi anggota dari newsgroups dan grup diskusi, yang biasanya beroperasi terpisah dari organisasi. Apakah mereka aktif berpartisipasi dalam perdebatan atau sekadar jadi pendengar diam, mereka adalah publik yang perlu diperhatikan. Kini, para bloggers yang memiliki sejumlah “fans” atau penggemar, juga merupakan publik lain yang sepatutnya diperhatikan para praktisi PR.<br /><br />Walau komentator kritis mengnjungi situs web kita untuk mencari informasi baru, mereka juga mengekspresikan pendapat dan mengadakan dialog eksternal ke situs web bersangkutan.<br /><br />Dalam kasus-kasus ekstrem, komentator kritis mungkin membuat anti-situs yang tujuannya adalah menyebarkan informasi negatif. Mereka melakukan itu dengan atau tanpa partisipasi Anda, dan sering mereka melakukan itu tanpa terlalu memperdulikan akurasi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pengunjung yang berkomitmen (committed visitors)</span><br /><br />Pengunjung jenis ini secara sengaja mengunjungi situs web perusahaan Anda untuk mencari informasi spesifik. Termasuk di antara pengunjung jenis ini adalah publik tradisional yang saat ini menggunakan web, untuk mengikuti aktivitas suatu organisasi.<br />Apa yang kita ketahui tentang minat dan kesukaan mereka merupakan landasan yang baik bagi praktisi PR, untuk memperkirakan informasi yang mereka cari, tingkat kerincian (detail) yang mereka tuntut, dan seterusnya. Publik web seperti ini harus menjadi perhatian utama praktisi PR.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Browser biasa (casual browsers)</span><br /><br />Pengunjung biasa jenis ini mengunjungi situs kita, ketika sedang mencari informasi umum. Jika situs kita terorganisasi dengan baik dan mencakup informasi yang bersifat umum ataupun spesifik, kita dapat memuaskan pengunjung ini tanpa perlu tambahan upaya. Upaya berlebih biasanya diperlukan untuk melayani pengunjung yang berkomitmen.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kekuatan dan keterbatasan media Web</span><br /><br />Bagi praktisi PR, setiap media memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-masing. Hal serupa juga berlaku untuk Internet. Berikut ini adalah beberapa isu yang akan mempengaruhi penulis PR di web, dalam menyusun isi dan struktur pesan yang mau disampaikan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Keterbatasan layar (screen limitations)</span><br /><br />Dokumen-dokumen panjang yang menuntut scrolling tidak memenuhi kritia kemudahan diakses. Pilihlah jenis font, ukuran font, spasi baris dan warna, untuk mengurangi kelelahan mata, dan memudahkan dibaca.<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Panjang halaman</span><br /><br />Ada beberapa pandangan tentang panjang halaman. Ada yang mengusulkan, format sebaiknya maksimal satu halaman. Jika tulisan lebih panjang, disambung di halaman berikutnya. Namun, ada juga yang kurang suka dengan format beberapa halaman, karena akan meminta waktu download lebih lama.<br /><br />Akan lebih baik jika kita melengkapi dengan hypertext links di awal artikel yang panjang, sehingga pengunjung bisa pergi langsung ke bagian tulisan yang dianggap relevan. Tujuannya adalah untuk memudahkan dan mempercepat dalam menavigasi situs web tersebut. Dalam konteks Indonesia, di mana banyak orang tidak memiliki sistem operasi dan saluran Internet yang cepat, ada baiknya jika kita membuat file-file berukuran pendek (kecil).<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Isyarat navigasi (Navigation cues)</span><br /><br />Dibandingkan media PR lain, navigasi di Web memberi peluang unik bagi penulis. Media lain memiliki cara presentasi tunggal yang tetap (fixed), dan pembaca harus menerima format itu apa adanya.<br />Sebaliknya, pengguna web menentukan sendiri jalur yang dilalui di situs bersangkutan. Sedangkan berbagai struktur informasi dimungkinkan tampil secara serempak. Penulisan web yang baik adalah penulisan yang memudahkan bagi pengunjung untuk menemukan, selain membaca informasi.<br />Hal ini tidak berarti halaman web atau situs web harus dipenuhi dengan hypertext links secara tak beraturan. Sebaliknya, desain web yang efektif menuntut kejelasan bagi pengunjung, di mana mereka bisa menemukan informasi yang mereka butuhkan. Tabel isi, peta situs, dan isyarat navigasi, semua itu membantu pengunjung situs untuk mengetahui di mana posisinya dan ke mana ia harus mencari informasi yang diinginkan.<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Links: Berkah dan Kutukan</span><br /><br />Web pada intinya adalah tentang koneksi. Internal hyperlinks memungkinkan pengunjung untuk pindah ke bagian lain dari teks atau ke halaman lain di situs yang sama. Links lain membawa si pengunjung ke situs-situs web eksternal, untuk mencari tambahan informasi.<br />Gunakan links untuk mengembangkan jumlah informasi yang sanggup Anda sediakan di situs Anda. Links tambahan ini tidak Cuma menyediakan layanan, tetapi secara imollisit juga memberi kredibiltas pada situs Anda.<br />Misalnya:<br />Anda mengelola sebuah situs perusahaan air mineral dalam kemasan. Sementara itu, di masyarakat dan media, ada desas-desus yang berkembang bahwa produk air mineral dalam kemasan, tidak semuanya bersih dari kuman atau campuran logam yang berbahaya.<br />Situs Anda, misalnya, menyediakan layanan links ke situs Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan, atau ke Fakultas Kedokteran UI. Lembaga independen itu telah meneliti dan menegaskan kebersihan dan keamanan produk-produk air mineral dalam kemasan. Hal ini tentunya akan memberi tambahan kredibilitas pada situs perusahaan Anda.<br />Namun, jika situs Anda menyediakan terlalu banyak links dan informasi, ini akan membingungkan pengunjung. Jumlah links yang bisa Anda tambahkan haruslah dibatasi, sejauh links itu menambah kredibilitas dan memiliki relevansi dengan situs yang Anda kelola. Juga, pertimbangan keefektifan desain halaman di situs web Anda, serta pertimbangan ketentuan hukum dalam mengaitkan links-links tertentu.<br />Ingatlah. Walaupun Anda bisa menyeleksi situs web mana yang mau Anda link dengan situs yang Anda kelola, Anda tak bisa mengontrol siapa yang akan me-links situs mereka dengan situs yang Anda kelola.<br />Bukan mustahil, Anda menemukan situs Anda dikaitkan atau diasosiasikan dengan situs lain yang tidak Anda sukai atau Anda anggap tidak pantas. Situs pornografi atau seks bebas, misalnya! Untungnya, banyak search engine telah memberi fasilitas, untuk mengetahui dan menentukan siapa yang telah me-link ke situs Anda.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kemungkinan-kemungkinan Multimedia</span><br /><br />Web memungkinkan integrasi seluruh media –teks, visual, audio, gerak, dan animasi- menjadi satu paket. Hal ini menuntut penulis PR untuk untuk mempertimbangkan relevansi, bukan cuma teks, tetapi juga teks dibandingkan dengan format-format lain.<br />Mengapa Anda harus menuliskan teks pidato CEO perusahaan Anda di situs web, jika Anda bisa memperdengarkan suaranya dalam format audio?<br />Mengapa Anda harus menjelaskan sebuah paket perangkat lunak, jika pengunjung situs dapat mencobanya sendiri secara online atau mendownload sebuah contoh peragaan?<br />Salah satu strateginya adalah menyediakan semua media yang dimungkinkan, sehingga pengunjung dapat mengaksesnya pada saat membutuhkan, dan sejauh kapasitas komputer mereka memungkinkan.<br />Di titik ekstrem lain adalah Anda justru tidak memberi perlengkapan, kemasan, dan asesoris yang macam-macam di situs Anda. Jadi, formatnya adalah sebanyak mungkin teks, dan sesedikit mungkin grafis. Penyederhanaan tampilan ini akan memudahkan semua pengunjung, untuk mengakses informasi di situs Anda, tanpa takut terhambat oleh kelemahan atau kekurangan kapasitas di komputer mereka.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Menulis untuk Web</span><br /><br />Menulis untuk Web menuntut para penulis PR untuk sadar tentang kemampuan grafis dari Web, dan tentang rute-rute yang akan dinavigasi oleh pembaca/pengunjung situs.<br />Hal ini semakin memberi penekanan pada pendekatan tim (team approach) dalam penulisan di web. Para anggota tim akan membawa keterampilan khusus yang berbeda-beda, seperti: pengemb angan isi (content), presentasi, produksi, riset dan pengujian, dan tentu saja penulisan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Menulis untuk Situs Web</span><br /><br />Tuntutan organisasi bagi visibilitas dan kehadiran di Web biasanya berarti bahwa content dari situs Web tersebut akan diprakarsai oleh organisasi. Ini bersifat supply-driven.<br />Pada saat yang sama, ketika pengguna mencari informasi yang mereka butuhkan, penggunaan mereka di Web bersifat demand driven.<br />Adalah tugas penulis PR untuk “mendamaikan” dua posisi itu untuk mengembangkan dan mendukung hubungan yang positif antara organisasi dan publik di Web.<br />Jika situs Anda tidak memberi informasi yang dibutuhkan pengguna, mereka akan mencari dan mungkin akan menemukannya di situs lain, yang informasinya mungkin kredibel dan mungkin juga tidak kredibel, tidak timely (bukan informasi terbaru), dan tidak akurat.<br />Hal ini menuntut penulis Web untuk mendesain content yang menyediakan one-stop shopping untuk memperoleh informasi, dengan link-link yang Anda perkirakan akan dibutuhkan pengguna, dan yang akan mencerminkan kredibilitas dari situs organisasi yang Anda kelola.<br />Bayangkan home page Anda sebagai katalog sales, yang mengumumkan semua hal yang spesial (content) di halaman depan, dan mengarahkan para pembelanja (pengunjung situs) ke departemen (halaman), di mana mereka bisa memperoleh (membaca) barang-barang (informasi) yang mereka butuhkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Web site content</span><br /><br />Kecuali untuk jurnal elektronik yang biasa dijadikan referensi (ilmiah), pasa dasarnya banya ada tiga pembatasan pada pengisian content di Web:<br />1. Rasa etika dan profesionalisme Anda;<br />2. “Pasukan” aktivis web yang secara seketika dan masif siap untuk membantah atau menolak penegasan Anda, jika mereka memilih begitu;<br />3. Ketentuan hukum yang tersedia bagi mereka, yang beranggapan bahwa Anda telah memfitnah atau mencemarkan nama baik mereka, atau melanggar hak karya intelektual mereka.<br />Dalam batasan-batasan tersebut, isi situs Web akan ditentukan oleh tujuan organisasi dalam mengelola situs itu, dan apa yang Anda tahu tentang audience yang diperkirakan akan mengunjungi situs organisasi Anda.<br /><br />Dalam mengembangkan suatu situs web, ada empat isu komunikasi yang penting:<br />1. Kebutuhan untuk membuat informasi itu bisa dikelola (manageable);<br />2. Kebutuhan untk menyediakan petunjuk arah di situs tersebut;<br />3. Keputusan tentang topik-topik yang akan dicakup;<br />4. Keputusan tentang link-link yang akan Anda sediakan untuk informasi tambahan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Membuat informasi bisa dikelola (Manageable):</span><br /><br />Salah satu tujuan teks yang baik adalah membuat pembaca merasa nyaman dengan posisi mereka, di mana mereka sekarang dan ke mana mereka mau pergi. Hal yang sama juga berlaku bagi “teks” di Web. Itu harus membuat para pengunjung Web merasa nyaman dengan informasi yang bisa mereka akses, dan jalur yang harus mereka ambil untuk mengaksesnya.<br />Hal ini berarti Anda harus melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />Buatlah teks itu singkat. Hadirkan informasi dalam ukuran bytes yang kecil, tak lebih dari dua layar panjangnya. Gunakan link-link untuk memberi opsi pada pembaca untuk mengakses informasi lebih jauh, jika ia menginginkannya.<br />Berilah label pada halaman, seksi, dan link secara jelas. Pengguna tidak boleh harus bertanya “di mana saya?”, bahkan jika dia masuk ke situs web di tengah-tengah. Situs web dengan demikian harus diorganisasikan secara sederhana dan logis. Setiap halaman panjangnya hanya satu layar, tetapi ada link-link yang diberi label secara jelas untuk tingkat rincian yang lebih mendalam.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berikan arahan (directions):</span><br /><br />Walau format dan lokasi tombol-tombol navigasi mungkin dipandang sebagai bagian dari desain Web, tampaknya menjadi tanggung jawab penulis untuk memastikan bahwa topik-topik dipilih dengan mempertimbangkan aspirasi pengguna. Topik-topik itu akan memberikan sejumlah opsi yang diinginkan oleh publik.<br />Dalam konteks ini, tugas Anda sebagai penulis Web ada dua:<br />· Anda harus membantu pengguna untuk memperoleh informasi secepat dan seefisien mungkin.<br />· Sebaliknya, Anda harus mengikat perhatian mereka pada pesan-pesan, yang majikan (perusahaan/organisasi) Anda ingin agar publik melihatnya.<br />Hal yang sama berlaku ketika kita bicara tentang newsletter, direct mail, dan brosur.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Topik-topik Situs Web</span><br /><br />Ada beberapa topik tertentu, yang biasa ditampilkan di situs Web. Masing-masing topik ini mungkin dibagi lagi lebih jauh ke beberapa sub-bab atau halaman tambahan.<br /><span style="font-style: italic;">Official material</span>. Materi resmi sebuah organisasi bersifat kritis dan sering kurang diperhatikan. Ini termasuk: nama dan alamat organisasi, pencipta situs, tangal situs itu dibuat, tanggal update terakhir, hak cipta dan pembatasan-pembatasan lain. Penulis PR khususnya harus menghargai informasi-informasi tersebut.<br /><span style="font-style: italic;">Informasi rangkuman atau Teaser</span>. Organisasi yang ingin menarik perhatian, atau mengimbau pada audience dalam jumlah besar di Web, boleh mendesain fitur-fitur untuk memuaskan minat mereka. Bagian yang mudah diakses –News; Top Ten...; Mencegah Serangan; atau Untuk Anak-anak, menyediakan titik referensi yang cepat pada audience yang berkomitmen.<br />Tentang organisasi. Hal ini akan menantang penulis PR, untuk mengenali kebutuhan dan keinginan para pengunjung situs, dan mengimbangi ini dengan apa yang ingin diceritakan organisasi pada mereka (publik).<br /><br />Walaupun boss Anda mungkin sangat bangga pada 12 pabrik dan pusat distribusi di setiap provinsi, lokasi persisnya mungkin tak terlalu berarti bagi para pengunjung situs. Sebuah peta sederhana akan memberi kesan tentang luasnya jangkauan operasi perusahaan Anda, tanpa memberi rincian yang tak perlu pada pengunjung situs.<br /><br />Informasi “tentang organisasi” mungkin termasuk: keanggotaan dalam organisasi industri; sejarah singkat, serta deskripsi divisi-divisi, operasi-operasi dan kantor-kantor. Bagian-bagian dengan fokus PR yang bersifat khusus, mencakup: media center, newsroom, dan halaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Pendidikan publik</span>. Web kini makin banyak digunakan sebagai medium untuk riset. Topik-topik yang bersifat pendidikan (edukasi) cukup bervariasi, mulai dari halaman yang menjelaskan bagaimana cara menanam anggrek sampai cara mengisi formulir pajak, semuanya ada.<br /><br />Coba pertimbangkan, informasi apa yang bisa diberikan organisasi Anda, yang akan membantu publik. Dengan membuat diri dipandang sebagai sumber informasi, adalah strategi PR yang cerdik.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bantuan online (online help). </span>Kemampuan memberi bantuan secara online membuat situs web terkesan user-friendly dan responsif terhadap kebutuhan informasi para pengunjung. Kenali, siapa yang harus dikontak untuk informasi tentang apa, termasuk alternatif cara mengontak, seperti: telepon, nomor fax, dan alamat e-mail.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Online newsletter.</span> Ini bisa dikontrol dengan password, jika Anda ingin membatasinya hanya untuk karyawan atau pelanggan yang membayar. Terlepas dari soal apakah akses ini bersifat terbuka atau terbatas, ini harus di-update setiap hari agar tampak kredibel. Jika Anda mengarsipkan publikasi-publikasi, pengunjung dapat mengakses semua edisi, lama sesudah versi media cetaknya tak beredar lagi.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Berita (News). </span>Biasanya terdiri dari siaran-siaran pers dari sebuah organisasi, bagisan“news” sering dikatalogkan berdasarkan tanggal dan topik, dan dipisahkan ke dalam opsi saat ini (current) dan arsip. Organisasi-organisasi dengan kontak media yang cukup sering mungkin menyediakan akses terbatas bagi para wartawan, terhadap informasi khusus, seperti: link audio atau video.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Informasi krisis</span>. Situs Web memungkinkan untuk menyediakan selayaknya, informasi menit-ke-menit dan arahan-arahan, bagi pelayanan darurat, kedokteran, dan teknis. Juga, instruksi-instruksi kepada konsumen; dan link-link ke informasi terkait yang relevan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Informasi keuangan.</span> Ini khususnya relevan bagi perusahaan-perusahaan publik. Laporan keuangan (financial statements) lengkap yang disajikan, ternyata lebih rinci ketimbang apa yang diharapkan orang dari sebuah situs web. Pemanfaatan kapabilitas Web yang lebih baik bisa saja dengan menyajikan laporan keuangan yang telah dirangkum/disimpulkan, kemungkinan dilengkapi dengan grafik dan tabel. Anda juga bisa membuat laporan keuangan komprehensif atau laporan tahunan, yang siap untuk di-download.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Cerita-cerita Feature</span>. Beberapa organisasi berhasil memanfaatkan daya tarik tulisan feature untuk menarik perhatian pengunjung. Misalnya, pada akhir 1990-an, badan perpajakan Amerika meluncurkan situs web yang dinamai “The Digital Daily”. Desainnya dibuat sedemikan rupa, agar seperti halaman depan sebuah suratkabar. Isinya di-update setiap hari.<br /><br />Lead “suratkabar” itu adalah sebuah feature human interest yang pendek. Sajian feature ini bertujuan memberi wajah yang lebih manusiawi, pada lembaga perpajakan yang sering dianggap tak perduli pada kondisi para wajib pajak.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Laporan-laporan riset.</span> Seperti juga informasi keuangan, adalah bijaksana jika kita memberikan sebuah rangkuman/kesimpulan, selain laporan lengkap, pada situs laporan riset ini. Sehingga para pengguna dapat mengakses informasi sampai ke tingkatan rincian yang mereka kehendaki.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Links.</span> Tak perduli, seberapa banyak pun informasi yang Anda sediakan, tampaknya tak mungkin seluruh informasi tentang suatu hal bisa disediakan di satu situs saja. Link ke situs-situs eksternal memberi peluang pada pengunjung, untuk memperoleh informasi yang lebih rinci.<br /><br />Ketika membuat link ke situs luar, berilah deskripsi atau konteks tentang apa yang bisa diharapkan para pengguna. Yang membuat daftar link Anda bernilai, adalah bahwa Anda sudah membaca, memahami, dan dapat merekomendasikan link-link tersebut. Berilah keuntungan pada pembaca dengan info tentang link-link ini, dan Anda akan memperoleh sejumlah kredibilitas dalam proses tersebut.<br /><span style="font-style: italic;">Contact information</span>. Link informasi kontak ke sebuah layar e-mail, untuk mendorong tanggapan segera.<br /><span style="font-style: italic;">Komentar</span>. Ini dapat ditulis dengan ungkapan lain, seperti: “Tandatangani buku tamu kami,” atau “beritahu kami, apa yang Anda pikirkan.” Mintalah pengunjung untuk memberikan nama dan alamat e-mail mereka, sehingga Anda dapat menyediakan informasi lebih jauh.<br /><span style="font-style: italic;">Tanggal. </span>“Kebaruan” (currency) adalah penting bagi kredibilitas situs web. Situs Anda seharusnya memiliki notasi “halaman terakhir kali di-update” di setiap halaman, atau paling tidak sebuah notasi “terakhir kali situs di-update” di home page. Dan usahakan update itu selalu baru.<br /><span style="font-style: italic;">Kebijakan privasi (privacy policy)</span>. Pernyataan privasi memberikan informasi pada publik tentang kebijakan situs Anda, terkait dengan pengumpulan data dan penggunaannya. Terlepas apakah Anda secara legal dituntut untuk menyediakannya, secara pendekatan PR, pernyataan privasi itu baik untuk dilakukan. ***<br /><br />*** Disadur dan diadaptasi untuk konteks Indonesia oleh Satrio Arismunandar, berdasarkan isi buku karya Donald Treadwell dan Jill B. Treadwell: Public Relations Writing: Principles in Practice (Penerbit Sage Publications, Inc, California, 2005).<br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-69933918628151855862008-06-04T04:18:00.000-07:002008-06-04T04:20:21.958-07:00Kiat Menulis Resensi BukuMenulis resensi buku sebenarnya mirip dengan memilih calon istri atau calon suami. Mengapa demikian? Karena suatu resensi, apapun obyeknya (resensi film, buku, drama, teater, pembacaan puisi, musik, dan sebagainya), pada akhirnya memberikan suatu penilaian, dan kemudian tentunya suatu pertimbangan, saran, rekomendasi kepada pembaca untuk menentukan sendiri sikapnya terhadap obyek yang diresensi tersebut.<br /><br />Sebelum memilih istri, misalnya, si laki-laki akan membuat penilaian atas berbagai aspek. Aspek luar, yang bisa langsung terlihat: kecantikan, bentuk tubuh, cara bicara, cara makan, dan cara berpakaian, dari calon istrinya. Aspek dalam, yang membutuhkan pengamatan lebih intens: kesabaran, kebaikan hati, sikap pengertian, kesetiaan, kecerdasan, dan sebagainya.<br /><span class="fullpost"><br />Dalam meresensi buku dan karya-karya lain, hal serupa juga dilakukan. Apakah pertunjukan musik Dewa itu cukup bermutu? Apakah aksi panggungnya menarik? Bagaimana tata suaranya? Apakah dengan kualitas pertunjukan semacam itu, harga karcis masuk Rp 100.000 per orang tidak terlalu mahal?<br /><br />Apakah buku novel terbaru karya Ayu Utami ini layak dibaca? Apa kelebihan atau kekurangannya dibandingkan karya Ayu sebelumnya, Saman? Adakah unsur-unsur yang baru dalam buku Ayu kali ini, dari segi jalan cerita, karakter tokoh-tokohnya, atau tema yang dipilih? Apakah isinya relevan dengan konteks situasi Indonesia masa kini? Dan seterusnya.<br /><br />Adanya unsur penilaian inilah yang membedakan resensi buku dari sekadar ringkasan atau rangkuman isi buku belaka. Banyak penulis resensi yang lupa akan esensi suatu resensi, sehingga yang ia tulis sebenarnya cuma ringkasan isi buku. Sampai akhir tulisannya, pembaca tetap tidak tahu apakah buku itu memang layak dibaca atau tidak, apakah isinya bermutu tinggi, rendah, atau sedang-sedang saja.<br /><br />Persyaratan dan Kriteria<br /><br />Buku yang mau diresensi:<br />Untuk keperluan resensi buku di media massa, buku yang mau diresensi sebaiknya buku baru, jangan buku lama, meskipun resensi sebetulnya bisa dilakukan terhadap buku mana saja dan terbitan tahun berapa saja. Kalau resensi dilakukan tahun 2005, buku yang diresensi sebaiknya buku terbitan tahun 2005 juga. Hal ini karena media massa mementingkan aspek aktualitas.<br /><br />Buku yang diresensi sebaiknya juga buku yang cukup baik dan layak dibaca. Pembaca tidak mau membuang-buang waktu untuk membaca resensi terhadap buku yang secara pengamatan kasar saja sudah terlihat betul-betul bernilai "sampah". Pengelola media massa juga tidak mau menyisihkan ruang di medianya untuk buku semacam itu, karena toh masih banyak buku lain yang jauh lebih bermutu.<br /><br />Buku yang mau diresensi sebaiknya buku yang isinya memang kita anggap penting diketahui pembaca/masyarakat. Buat apa masyarakat disodori buku yang isinya tidak berkaitan dengan kepentingan mereka?<br /><br />Ada bagusnya juga jika topik/tema buku yang diresensi itu relevan dengan konteks situasi yang berkembang. Sebagai contoh: ketika sedang ramai-ramainya aksi pemboman militer Amerika terhadap Afganistan, dengan dalih mencari tersangka teroris Osama Ben Laden, November 2001, Harian Kompas memuat resensi buku tentang Osama Ben Laden. Aspek kontekstualitas ini penting bagi media massa.<br /><br />Persyaratan bagi Peresensi<br /><br />Peresensi sebaiknya memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk memahami isi buku bersangkutan. Peresensi yang sama sekali tidak tahu sastra, dan tidak pernah membaca buku-buku sastra, tentu akan sulit kalau disuruh meresensi novel baru karya Pramudya Ananta Toer.<br />Contoh lain, orang yang tidak pernah belajar fisika disuruh meresensi buku karya pemenang Nobel Fisika tahun 2005. Ya, kalau dipaksakan tentu saja bisa, tetapi kualitas resensi macam apa yang bisa kita harapkan dari sini?<br /><br />Ada suatu penerbitan di Amerika, yang isinya sepenuhnya adalah resensi-resensi buku. Yang hebat, para pembuat resensi itu bukan orang sembarangan, tetapi para ahli dan pakar (beberapa di antaranya pemenang Hadiah Nobel). Buku yang diresensi pun adalah karya terpilih, juga karangan orang-orang hebat.<br /><br />Akibatnya, resensi-resensi yang umumnya sangat panjang dan mengupas secara mendalam isi buku tersebut bernilai tinggi, bahkan mungkin tidak kalah dengan isi buku yang diresensi itu sendiri. Dengan membaca resensi semacam itu, yang ditulis oleh mereka yang sangat menguasai bidang keahliannya, pembaca mendapat tambahan pengetahuan yang luar biasa.<br /><br />Hal-hal apa yang patut dinilai dalam resensi buku:<br /><br />Seperti contoh dalam kasus memilih calon istri, dalam meresensi (menilai) suatu buku, secara garis besar ada dua aspek yang bisa dinilai: aspek luar (penampilan) dan aspek dalam (isi).<br /><br />Aspek luar, misalnya:<br />Perwajahan kulit muka. Apakah kulit mukanya enak dipandang dan menarik?<br />Berat dan ketebalan. Apakah ukuran buku ini terlalu besar, atau justru terlalu kecil? Apakah terlalu berat, terlalu tebal, atau terlalu ringan dan tipis?<br />Desain halaman dalam. Apakah desainnya menarik sehingga enak dipandang, atau malah membosankan?<br />Jenis kertas yang digunakan. Apakah jenis kertasnya (kertas koran, HVS, art paper, kertas daur ulang, dan sebagainya) berwarna terang atau suram? Apakah terlalu berat atau ringan? Apakah kuat atau rapuh.<br />Jenis huruf/tipografi yang digunakan. Apakah tipografi yang digunakan terlalu kecil, sehingga menyulitkan pembaca? Atau justru terlalu besar, sehingga boros halaman? Apakah tipografinya terkesan terlalu kaku?<br />Foto, gambar, sketsa, grafik, tabel yang digunakan. Apakah foto dan gambar yang dipasang itu jelas dipandang? Apakah grafik dan tabel yang dipasang mudah dipahami dan efektif?<br />Harga buku. Apakah terlalu mahal?<br />Dan lain-lain.<br /><br />Aspek isi, misalnya:<br />Apa pokok pikiran yang diajukan penulis? Data dan argumen apa saja yang ia ajukan untuk mendukung pokok pikiran tersebut?<br />Apakah pokok pikiran, argumen, data dan ide-ide yang tertuang di dalam buku itu cukup orisinil?<br />Pendekatan atau metodologi apa yang ia gunakan dalam membahas masalah dan pokok pikiran dalam buku itu?<br />Adakah unsur, pendekatan, perspektif atau pengetahuan baru, yang bisa diperoleh dengan membaca buku ini? Ataukah isinya sama saja dengan buku-buku lain yang sudah lebih dulu beredar?<br />Apakah isinya relevan dengan konteks situasi yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini?<br />Apa kontribusi buku ini dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tertentu, yang terkait dengan tema buku ini?<br />Apakah buku ini disusun secara cermat, teliti, mendalam, atau terkesan ceroboh dan tergesa-gesa?<br />Apakah sistematika pembahasan dalam buku ini bersifat logis, teratur dan memudahkan pembaca untuk memahami, atau justru sebaliknya rumit, berbelit-belit dan membingungkan?<br />Adakah kesalahan fakta, data, atau analisis, dalam buku ini? Apakah datanya valid? Adakah bias dari si penulis dalam melihat permasalahan?<br />Apa tujuan pengarang menulis buku ini? Apakah tujuan itu tercapai dengan terbitnya buku ini?<br />Apakah si pengarang memiliki kompetensi yang cukup untuk menulis buku ini? Seorang sosiolog tentu akan dipertanyakan kredibilitasnya jika ia menulis buku tentang Ilmu Bedah Kedokteran.<br />Siapa khalayak pembaca buku ini? Apakah isi buku ini bersifat terlalu mendalam, sehingga lebih tepat untuk pembaca tertentu yang memang memiliki kualifikasi khusus (kalangan akademis atau profesional), atau buku ini cocok juga untuk kalangan pembaca yang lebih awam?<br />Dan lain-lain.<br /><br />Macam-macam Pola Penulisan Resensi:<br /><br />Tidak ada pedoman baku dalam penulisan resensi. Namun secara kasar, penulisan resensi untuk media massa mengikuti konvensi umum seperti dalam penulisan artikel lain. Unsur-unsurnya sebagai berikut:<br /><br />Judul resensi yang menarik. Di media massa, judul yang menarik (eye-cathing) ini perlu dan mutlak.<br />Deskripsi judul buku, nama pengarang (atau penyunting), nama penerbit, tahun terbit, kota tempat penerbitan, jumlah halaman, dan harga buku (boleh dicantumkan, boleh juga, tidak). Ini disebut Heading dan biasanya dicantumkan di awal resensi. Misalnya: Makna Cinta dan Perkawinan di Era Globalisasi, Dian Kencana Dewi, Bandung: Unpad Press, 2005, vii + 237 hlm.<br /><br />Alinea pembuka (dalam teknik penulisan berita, disebut sebagai Lead). Alinea pembuka atau Lead ini bersifat sebagai pemancing agar pembaca mau membaca resensi, maka Lead ini harus dibuat semenarik mungkin. Dalam membuat Lead, peresensi, misalnya, bisa mengaitkan isi buku ini dengan konteks situasi yang sedang hangat di masyarakat. Misalnya: buku bertema tentang korupsi diterbitkan ketika sedang ramai-ramainya pengadilan kasus korupsi terhadap seorang pejabat tinggi. Lead bersama judul berfungsi penting sebagai penarik minat pembaca.<br /><br />Deskripsi atau rangkuman tentang isi buku. Di sini peresensi merangkum isi atau esensi buku secara ringkas. Tentu saja, pembaca tidak bisa menilai suatu buku jika bahkan gambaran ringkas isinya pun ia belum tahu. Dalam merangkum isi buku ini, peresensi boleh mengutip satu atau dua kalimat atau alinea yang menarik dari buku tersebut, yang bisa makin memperjelas gambaran isinya.<br /><br />Komentar, evaluasi dan penilaian. Inilah esensi dari suatu resensi, yakni si peresensi mengomentari dan menilai suatu buku dari berbagai aspek: aspek luar dan aspek isi. Karena keterbatasan ruang di media cetak, tentu tidak perlu seluruh aspek ini dibahas secara rinci. Peresensi boleh memilih aspek-aspek mana yang menurutnya paling penting untuk diulas dan disampaikan kepada pembaca.<br /><br />Kalimat penutup dan rekomendasi. Dalam kalimat penutup ini, peresensi kadang-kadang secara tegas merekomendasikan bahwa buku bersangkutan memang layak atau tidak-layak dibaca. Kadang-kadang, rekomendasi tegas semacam itu tidak diungkapkan, karena pembaca dianggap sudah bisa menyimpulkan sendiri berdasarkan ulasan panjang sebelumnya.<br /><br />Identitas si peresensi sering juga dicantumkan di bagian akhir resensi. Manfaatnya adalah untuk menunjukkan kredibilitas si peresensi dalam meresensi buku bertema tertentu. Misalnya, di akhir sebuah resensi tentang buku Kehumasan, identitas peresensi disebutkan: Dian Eka Puspitasari, staf Humas Trans TV. Artinya, si peresensi mau menunjukkan, ia adalah praktisi Humas dan karena itu memiliki cukup kompetensi untuk meresensi buku bertema Kehumasan.<br /><br />sumber ; Satrio Arismunandar<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-125707722773815864.post-23347691875692425102008-06-04T04:10:00.000-07:002008-06-04T04:17:20.180-07:00Kisah Trans TV dan Trans 7Trans TV resmi mengudara pada 15 Desember 2001. Seluruh saham Trans TV dikuasai pengusaha Chairul Tanjung lewat kepemilikan 99,99 persen PT Para Inti Investindo (pada tahun 2006, diganti namanya menjadi PT Trans Corpora, atau Trans Corp), dan sisanya PT Para Investindo. Keduanya dari kelompok bisnis Grup Para milik Tanjung. Lahir di era reformasi, Trans TV tidak memiliki stigma negatif warisan rezim Soeharto. Perusahaan grup Para tidak ada yang masuk BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dan tidak pernah kena kasus kriminal seperti sebagian besar konglomerat era Orde Baru.<br /><br />Lahir di Jakarta tahun 1962, sejak kuliah Tanjung sudah berbisnis. Sepuluh tahun kemudian dia punya kelompok usaha bernama Para Group. Awalnya, kelompok ini mendirikan usaha ekspor sepatu anak-anak. Modal sebesar Rp 150 juta berasal dari Bank Exim. Tanjung mengembangkan bisnisnya lewat Bandung Supermall. Dia juga menguasai Bank Mega yang dibeli pada 1996 dari kelompok Bapindo. Bank Mega waktu itu dalam keadaan sakit-sakitan.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Setelah diambil Tanjung, Bank Mega pelan-pelan mengalami perbaikan. Pada 28 Maret 2001, bank ini berhasil mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Jakarta seharga Rp 1.125 per lembar. Dua tahun kemudian, kepada Warta Ekonomi, Chairul Tanjung mengatakan, Bank Mega menjadi sumber dana terbesar bagi Grup Para. Kontribusinya sekitar 40 persen.<br /><br />Kontribusi Trans TV juga tidak kecil. Sekurang-kurangnya Trans TV sudah mengalami break event point by operation pada tahun kedua, sekitar Mei 2003. Artinya, sudah tak perlu kucuran dana lagi dari pemilik. Titik balik keberhasilan Trans TV berlangsung sejak kuartal satu 2002. Menurut survei Nielsen Media Research, saat itu Trans TV berada di peringkat kelima sebagai peraih iklan terbanyak dari 10 stasiun televisi. Nominalnya sebesar Rp 149,2 milyar.<br /><br />Berbekal kesuksesan kinerja, dan menyodok ke urutan nomor dua pada akhir 2005, Trans TV lewat induk perusahaannya Trans Corpora pada Juni 2006 membuat kejutan, dengan membuat MoU untuk membeli saham mayoritas (55 persen) milik TV7. Menurut Chairul Tanjung, pihaknya ingin membentuk aliansi yang seluas-luasnya dengan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang memiliki TV7. Selain pertimbangan bisnis, ada kesamaan visi antara Trans TV dan TV7, yaitu sama-sama merah-putih.<br /><br />Grup Para juga punya hubungan baik dengan Anthoni Salim. Grup Salim pernah “berutang budi” ketika Chairul Tanjung ikut menyelamatkan Bank Central Asia, yang waktu itu didera krisis keuangan. Waktu itu Bank Mega tidak ikut-ikutan menarik uang dari BCA, tetapi malah menambah. Chairul Tanjung membantu BCA sekitar Rp 1,3 triliun karena yakin BCA akan selamat. Indofood milik Grup Salim juga ia bantu Rp 50 miliar pada 1998. Dengan Grup Salim, Grup Para bermitra dalam menggarap proyek di Batam dan Singapura. Dengan Sinar Mas Group, Grup Para juga bermitra dalam asuransi jiwa Mega Life.<br /><br />Di Singapura, Grup Para mengakuisisi satu perusahaan public bernama Asia Medic, yang bergerak di bidang health care. Grup Para membuat perusahaan patungan bernama Gladifora. Sedangkan di Batam, Grup Para membuat perusahaan patungan di bidang property, dan sudah mendapat konsesi lahan sekitar 300 hektare di lokasi strategis, untuk membuat entertainment center dan permukiman.<br /><br />Kemitraan Strategis TV7 - TransTV<br /><br />Perkembangan berikutnya, Trans Corp, perusahaan induk stasiun Trans TV, milik pengusaha Chairul Tanjung akhirnya memutuskan untuk menaruh sahamnya sebesar 49 persen di stasiun TV7. Sebanyak 51 persen saham dikuasai TV7.<br /><br />Nota kesepakatan strategic partnership antara Trans TV dan TV7 dilakukan di Gedung Bank Mega (bagian dari Grup Para), di Jl. Kapt. Tendean, Jakarta, Jumat, 4 Agustus 2006. Penandatanganan dilakukan Chairman Trans Corp., Chairul Tanjung dan Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Jakob Oetama.<br /><br />"Kepemilikan saham di TV7 ada perubahan, tapi perubahan itu tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku selama ini. Saham Trans Corp di TV7 sebesar 49 persen," ungkap Chairul Tandjung kepada pers, didamping Jakob Oetama.<br />Dikatakan Chairul, harapan dari kerjasama antara dua media televisi ini menjadi momentum yang baik untuk melakukan sinergi dalam membangun kemajuan bangsa, khususnya melalui media televisi. "Strategi yang diharapkan dari kerjasama ini menjadikan TV7 ke arah yang lebih baik," ujarnya.<br /><br />Tiga fungsi media televisi, yakni sebagai media informasi, edukasi dan entertainment, lanjut Chairul, akan menjadi dasar pengembangan TV7 ke depan. "Informasi dan proses edukasi yang diberikan akan dibangun dengan konsep entertainment," katanya.<br /><br />Sementara Jakob Oetama menyambut baik kerja sama tersebut. Menurutnya sinergi antara dua media televisi ini diharapkan akan memberi hasil yang terbaik dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. "Dengan sinergi ini diharapkan media televisi akan lebih mampu memenuhi peran pokoknya, baik itu sebagai penyampai informasi, edukasi, entertainment yang mencerahkan," ujarnya.<br /><br />Dalam penyajiannya ke depan, kata Jakob, media televisi diharapkan bisa memberikan hiburan yang sehat, mendidik, dan berperan serta secara maksimal dalam membangun bangsa.<br />Masuknya Trans TV ke TV7 tentu saja membawa sejumlah perubahan, baik dari segi manajemen dan konsep yang ditawarkan.<br /><br />Hanya saja, Chairul menjamin acara TV7 dengan Trans TV tidak akan saling berkompetisi. "Acara yang sudah established di Trans TV bisa diputar di TV7, begitu juga sebaliknya," ujarnya. Toh, Chairul meyakini bahwa masing-masing TV, baik itu TV7 ataupun Trans TV pada saatnya nanti akan tersegmentasi dan punya pasar sendiri-sendiri. "Tidak akan bersinggungan. Justru nantinya audience seperti ini akan membuat pangsa pasar jadi semakin besar," katanya.<br /><br />Tak hanya dari segi content, masuknya Trans TV membawa perubahan pada manajemen di TV7. Wakil Direktur Utama Trans TV, Wishnutama menempati posisi Direktur Utama TV7, yang sebelumnya dijabat Lanny Rahardja. Wakil Direktur ditempati Atiek Nur Wahyuni, yang masih menjabat sebagai Director Sales & Marketing Trans TV. Sementara Direktur Keuangan dijabat Susi (Direktur keuangan TV7).<br /><br />Sedikit Tentang TV7<br /><br />Karena TV7 kini telah menjadi “saudara” Trans TV, ada baiknya juga jika sedikit latar belakang tentang TV7 diceritakan. TV7 berdiri di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG), kelompok bisnis pimpinan Jakob Oetama, yang dikenal sebagai pemain kuat di sektor media. Dalam kelompok tersebut ada juga bisnis perhotelan, perdagangan, dan jaringan toko buku Gramedia. TV7 tak secara eksplisit menyebut Kelompok Kompas Gramedia selaku pemiliknya. Dalam kopian anggaran dasar televisi ini, ada enam pihak pemiliknya. Tiga perorangan, tiga perusahaan.<br /><br />Tiga pemegang saham perorangannya adalah Sukoyo (3.000 saham atau 1%), Yongky Sutanto (10.500 saham atau 3,5%), dan Lanny Irawati Lesmana (5,5%). Tiga nama perusahaan pemilik TV7 adalah PT Teletransmedia (48%), PT Transito Tatamedia (38,7%), dan PT Duta Panca Pesona (3,3%). Tampaknya, pemilik saham mayoritas di balik sejumlah perusahaan ini adalah Jakob Oetama.<br /><br />Lanny Irawati Lesmana punya hubungan darah dengan Karna Brata Lesmana, presiden direktur PT Inter Delta Tbk, distributor peralatan fotografi produksi Canon dan Kodak Imaging Group. Di TV7, dia juga punya ketersinggungan dengan PT Duta Panca Pesona. Sementara Sukoyo seorang pengusaha tambak udang asal Jawa Timur.<br /><br />Awalnya, dialah pemegang izin siaran PT Duta Visual Nusantara, perusahaan TV7. Kelompok Kompas Gramedia lantas membelinya dan mengubah namanya jadi PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh. Sukoyo sendiri lantas bikin stasiun televisi lokal Jakarta bernama Space Toon.<br /><br />Karena kinerjanya yang tak juga membaik setelah sekian tahun beroperasi, TV7 melepas 49% sahamnya untuk dibeli oleh Trans Corp (Grup Para), yang sudah memiliki Trans TV. Sebetulnya, TV7 sudah dilirik untuk dibeli oleh sejumlah TV nasional dan asing, seperti Indosiar, SCTV dan Star TV. Namun tidak ada yang serius menindaklanjuti. Berbeda dengan Trans TV yang langsung bertindak cepat. Selain itu, TV7 merasa lebih nyaman bekerjasama dengan perusahaan nasional ketimbang asing, sehingga mereka menolak Star TV.<br /><br />Crew News TransTV “Hijrah” ke TV7<br /><br />Sebagai tindak lanjut, setelah Trans Corp membeli saham TV7, tentu pembenahan manajemen TV7 perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerjanya, khususnya di bagian News. Untuk itu, sejumlah crew Divisi News TransTV telah dipindahkan ke News TV7 untuk memperkuat News TV7. Nama-nama yang pindah itu diumumkan di rapat News Trans TV, Rabu, 23 Agustus 2006.<br /><br />Daftar crew yang pindah tersebut adalah:<br /><br />Titin Rosmasari<br />(menjadi Kepala Departemen Buletin & Current Affairs)<br /><br />Sulaeman Sakib<br />(menjadi Kepala Departemen Magazine & Documentary)<br /><br />Pracoyo Wiryoutomo (Executive Producer)<br />Teguh Satyawan Usis (Executive Producer)<br /><br />Producer:<br />Amatul Rayani<br />Gatut Mukti<br />Mufthi Akbar<br />Nicky Laoh<br /><br />Associate Producer:<br />Asri Rasma<br />Ardina Yunita<br />Fajar Ridwan<br />Ilham Jauhari<br />M. Affan Mantu<br />Nurul Qoyimah<br />Tunggul Bayu Aji<br />Yulius Suman<br /><br />Kepala Divisi News Trans TV, Iwan Sudirwan, menjadi General Manager di News TV7, tanpa melepas jabatannya di Trans TV.<br /><br />Catatan:<br />Data di atas terutama berasal dari tulisan Widiyanto, editor Jurnal Hukum Jentera terbitan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia-PSHK (http://www.pshk.org/). Liputan yang dikerjakan dengan sponsor Unesco Jakarta via Yayasan Pantau ini sempat dimuat dalam Harian Bisnis Indonesia. Data itu juga saya lengkapi dengan hasil liputan Majalah Tempo, edisi 9 Juli 2006, berita Kompas Cyber Media, Jumat, 04 Agustus 2006 - 17:52 wib., serta sejumlah fakta yang saya catat dan saya ketahui sendiri secara langsung.<br /><br /> Sumber : Satrio Arismunandar<br /><br /></span>eka btvhttp://www.blogger.com/profile/01311452655700156103noreply@blogger.com3