Oleh Sirikit Syah
Amplop Media di Tahun Pemilu
Baru saja KPU memasukkan anggaran Rp 1,09 miliar untuk pos honorarium peliputan media. Ini pun hanya sebagian dari anggaran Rp 4,7 miliar untuk anggaran peliputan dan dokumentasi Pemilu 2009 yang dibuat oleh KPU.
Pertanyaannya, mengapa KPU menganggarkan biaya peliputan? Bukankah peliputan media bukan wilayah kerja KPU, melainkan tugas rutin pers?
Mungkin terjadi kesalahan pembahasaan. Mungkin maksudnya biaya penyebarluasan informasi, sosialisasi, sarana media centre, dan sejenisnya. Kalau ini, masuk akal dan mudah diterima. Tetapi, memberi honor kepada wartawan untuk peliputan media? Benar-benar membingungkan.
Tak hanya membingungkan, ini polusi bagi integritas wartawan. Wartawan yang terus-menerus diingatkan untuk menegakkan kode etik, di antaranya dilarang menerima amplop, oleh KPU malah diiming-imingi honor meliput! Jangan-jangan pers cuma dipakai namanya, tetapi anggarannya akan dibelokkan atau dibocorkan ke mana-mana. Korps berpotensi wartawan dikorup.
Memang istilah "amplop" ini agak sumir. Wartawan nakal sering berkata: "Kami tidak terima amplop. Amplopnya kami kembalikan, isinya saja kami bawa." Ada juga wartawan canggih yang tak pernah bersinggungan dengan ''amplop'', namun nomor rekening banknya sudah di tangan sekretaris narasumber di pos peliputan. Wartawan baik-baik juga sering kebingungan ketika menerima suvenir bolpoin, payung, atau ditraktir makan di restoran mewah. "Ini amplop atau bukan ya?" demikian hati nurani mereka bertanya.
Kesalahannya terletak pada pembahasaan tentang ''amplop'' di berbagai Kode Etik Jurnalistik. KEJ versi Dewan Pers 2006 pasal 6 menyebutkan: "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap." Narasumber dapat dengan mudah meyakinkan bahwa ''amplop'' pemberiannya bukan suap, karena dia tak memaksakan pemuatan. Wartawan juga yakin dia tidak menyalahgunakan profesinya, karena laporannya tidak terpengaruh oleh ''amplop'' pemberian narasumber.
Kode Etik Jurnalistik versi AJI juga mengandung kesalahan serupa. Pasal 14 menyebutkan: "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan". Ada penjelasan dari kata "sogokan", yaitu "semua bentuk pemberian berupa uang, barang, dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik" .
Kalimat ini juga kurang tegas karena ada unsur ''memengaruhi' '. Artinya, bila wartawan tidak terpengaruh, pemberian bukan sogokan. Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indoensia (IJTI) berbunyi, "Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apa pun berkaitan dengan profesinya".
Menurut pantauan penulis atas berbagai versi kode etik jurnalistik, KEJ PWI boleh dikata yang paling jelas maksudnya. Wartawan Indonesia, menurut Kode Etik PWI, tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu pihak.
Kalimat ini sering saya jadikan landasan pemahaman tentang makna ''amplop'' di dunia pers. Hanya ada dua jenis ''amplop'' yang secara tegas dapat dilarang, yaitu ''amplop'' perintah pemuatan dan ''amplop'' pelarangan pemuatan. Yang pertama biasanya digunakan untuk promosi diri, propaganda, atau black campaign kepada pihak lawan. Yang kedua digunakan untuk mencegah tersebarnya skandal, untuk menyembunyikan kebusukan.
Berkaitan dengan proses pemilu, ''amplop'' tak hanya menggoda wartawan ujung tombak yang bertatap muka dengan narasumber dan subjek pemberitaan. ''Amplop'' lebih besar tentu saja masuk ke wilayah iklan, yang dilegalkan UU Pemilu dan tidak melanggar kode etik apa pun.
Di sinilah akan terjadi tarik ulur antara divisi iklan dan divisi redaksi. Ada kemungkinan isi iklan berbeda dengan fakta lapangan, yang berarti tidak sinkron dengan isi berita.
Bila dikatakan pemilu tahun ini akan terjadi banyak pemborosan, sebagian besar anggaran itu terserap di media massa, khususnya di ranah iklan. Oleh sebab itu, jelas kurang beralasan bila KPU menambah anggaran dengan honor liputan. Ini pemborosan uang rakyat yang luar biasa. Pelaku media massa mestinya mewaspadai dan bersikap kritis atas anggaran-anggaran yang diatasnamakan mereka.
Baru saja kita dihadapkan pada fakta adanya daftar anggaran bagi wartawan di lingkungan Dinas Perhubungan yang diduga korupsi. Disebutkan terdapat sekitar 14 wartawan yang menerima amplop Rp 10 juta setiap bulan, dengan kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 750 ribu per wartawan.
Tentu kita tak boleh begitu saja menuduh para wartawan terlibat korupsi. Pertama, daftar itu belum tentu asli. Bisa saja aspal, yaitu namanya asli tapi tanda tangannya dipalsukan. Praktik semacam ini banyak dilakukan di lingkungan kantor pemerintahan, dan pernah penulis alami sendiri semasa menjadi wartawan pada 80-an. Waktu itu terbukti tanda tangan wartawan dipalsukan oleh seorang kepala humas.
Bagaimanapun, dengan pengalaman mengenyam kebebasan pers selama sepuluh tahun, penulis percaya dan optimistis bahwa wartawan Indonesia semakin meningkat kualitasnya.
Kalau dulu wartawan seangkatan penulis tidak pernah belajar berbuat salah -karena sebelum salah sudah disemprit oleh Bakortanasda, yakni banyaknya pencegahan pemuatan alias sensor- wartawan masa kini banyak melakukan kesalahan, dan itu amat baik bagi penempaan kualitas mereka. Mereka babak belur dikecam korban kesalahan pemberitaan, bahkan digugat di pengadilan, atau diancam dengan kekerasan.
Benturan-benturan semacam ini mendewasakan wartawan Indonesia. Mudah-mudahan persoalan klasik tentang ''amplop'' ini segera punah dari ranah pers Indonesia. Ujiannya sekarang: Tahun Pemilu Indonesia 2009.
* Sirikit Syah, pengajar jurnalistik dan analis media di Surabaya.
http://jawapos. com/
10 Februari 2009
Renungan Hari Pers Nasional
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar