“Tiket nomor 65 silakan ke teller 6.” Demikian suara dan mesin bicara yang terdengar di sebuah bank. Lalu, seseorang bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja teller 6. Transaksi pun terjadi. Usai transaksi, nasabah itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan teller yang juga tersenyum manis. Beres dengan nasabah tadi, sang teller memencet tombol di mejanya. Terdengarlah kembali suara dari mesin bicara, “Tiket nomor …..silakan ke teller 6? Demikian seterusnya.
Sepintas tidak ada masalah dengan kalimat yang keluar dari mesin bicara itu. Namun, kadang-kadang saya sering ingin tertawa sendiri bila mengingat kalimat tersebut. Bayangkan, tiket atau karcis yang kita kenal sebagai benda mati kok disuruh menemui teller. Seharusnya, bila ingin memanggil orang—bukannya tiket—kalimat tersebut berbunvi, “Pemegang tiket nomor 65 silakan ke teller 6.”
Seharusnva memang demikian. Namun, perlukah kita meminta pihak bank untuk mengubah kalimat pada mesin bicara itu? Toh, selama ini, para nasabah tidak berkeberatan dipanggil sebagai benda mati. Mereka—termasuk saya—akan langsung bangkit saat nomor tiket yang dipegang disebutkan oleh mesin bicara. Artinya, kita bisa mengerti maksud kalimat yang keluar dan mesin bicara itu. Artinya pula, kalimat tersebut sudah efektif walaupun secara logika bahasa bisa dikatakan salah.
Kalimat tersebut dipandang efektif karena dapat dimengerti oleh para nasabah. Bahkan, hingga saat ini, tidak ada satu pun yang merasa tersinggung walaupun dianggap sebagai benda mati. Pokoknya, maksud kalimat tersebut telah sampai kepada para nasabah. Bukankah prinsip dasar komunikasi adalah ide/pesan dari komunikator bisa sampai dengan baik kepada audiens (pendengar/pembaca) dan direspons sesuai dengan isi ide/pesan vang disampaikan?’
Contoh tersebut menunjukkan bahwa kalimat yang tidak lengkap pun bisa saja efektif sebagai media komunikasi. Kondisi-kondisi seperti itu mungkin yang menjadi cikal bakal munculnya istilah ekonomi bahasa—atau bahasa yang ekonomis—dalam ragam bahasa jurnalistik. Asal pesan atau ide bisa sampai kepada audiens, bahasa yang digunakan sebagai media bisa dikatakan efektif. Akibatnya, banyak kaidah bahasa vang terabaikan.
Ragam bahasa jurnalistik, katanya, memang bercirikan kalimat-kalimat yang singkat namun harus jelas. Hal itu disebabkan terbatasnya ruangan pada media-media massa. Benarkah demikian? Khusus untuk media cetak seperti surat kabar pada zaman baheula hal itu bisa dimaklumi. Saat itu, teknologi media cetak masih tertinggal sehingga lebih banyak straight news yang disajikan surat kabar. Jadi, kalimat-kalimat yang digunakan dalam berita itu memang harus singkat/pendek namun tetap jelas. Jadi, jangan heran apabila para jurnalis (Indonesia) dulu mengesampingkan masalah kebahasaan. Bagi mereka, yang penting pesan/ide bisa sampai kepada pembaca secara jelas dan dapat direspons sesuai dengan keinginan mereka.
Lalu, bagaimana halnya pada masa sekarang? Apakah masalah-masalah kebahasaaan masih bisa dikesampingkan? Ketika teknologi berkembang demikian pesat dan berbagai kemudahan telah didapatkan, apakah para jurnalis akan terus bermasa bodoh terhadap masalah kebahasaan? Sudah saatnya, kalangan media massa memerhatikan masalah kebahasaan yang menjadi modal utamanya. Media massa sebaiknya kini tidak hanya memandang kepentingannya sendiri, tetapi juga memerhatikan kepentingan lain seperti kepentingan perkembangan bahasa dan pendidikan kebahasaan. Artinya, media massa sudah selayaknva tidak hanya mementingkan ide/pesan yang ingin disampaikan, tetapi medianya (baca: bahasa) pun mendapat perhatian yang besar.
Syukurlah, perhatian media-media massa terhadap masalah kebahasaan sudah mulai terwujud. Pada umumnya, media massa kini sudah memiliki lembaga kebahasaan walaupun kewenangannya masih sangat terbatas. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya kesalahan kebahasaan pada penerbitan-penerbitan pers. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi bukan karena ketidakmampuan orang-orang yang berada di lembaga kebahasaan tersebut, melainkan karena kewenangan mereka yang terkalahkan oleh kebijakan-kebijakan redaksional.
Baiklah, di sini, saya tidak ingin “bercerita” tentang kewenangan lembaga bahasa yang kurang kuat di lingkungan penerbitan pers. Saat ini, sesuai dengan tema pertemuan kali ini tentang ekonomi bahasa, saya ingin menyorot kesalahan-kesalahan kebahasaan yang terjadi dan berkaitan dengan masalah ekonomi bahasa. Namun, tunggu dulu, apakah yang dimaksud dengan ekonomi bahasa itu. Masih tepatkah istilah ekonomi bahasa itu? Apakah kata ekonomi di sini bisa disejajarkan dengan kata penghematan atau pengiritan, sesuai dengan kaidah ragam bahasa jurnalistik yang harus singkat dan jelas?
Pada praktiknya ternyata para jurnalis lebih senang menggunakan bahasa yang berbunga-bunga. Akibat penggunaan bahasa berbunga-bunga para jurnalis itu, sering tejadi kesalahan dalam penyusunan kalimat yang sangat berlawanan dengan prinsip ragam bahasa jurnalistik itu. Cukup banyak kata yang mubazir dalam kalimat-kalimat mereka. Berikut, contoh-contoh penggunaan kata mubazir yang sering terjadi.
1. Penggunaan kata hanya dan saja yang sering dipakai bersama dalam satu kalimat. Hanya …..saja…; Hanya korban tewas saja yang cercatat.
2. Penggunaan kata yang berlebihan (pleonastis); Posisi Persib tetap tak beranjak di tempat terbawah; Sebelumnya, dia naik ke atas menara.
3. Pengunaan taksonomi yang tidak tepat; musibah banjir, musibah longsor, minuman bir, minuman sirup; mobli pikap, mobil sedan. Lebih parah lagi sering tertulis juga Ibu Kota Jakartu, Ibu Kota Bagdad.
4. Penggunaan kata walaupun dan namun dalam satu kalimat; Walaupun Persib menang, namun posisinya terap tak beranjak di tempat terbawah.
5. Kata depan yang dianggap mubazir (versi H. Rosihan Anwar); bahwa, adalah, telah, akan, untuk, dan, daripada, dll. (Perlu dicatat, penghilangan kata-kata depan tersebut pada konteks-konteks kalimat tertentu).
Selain itu, kesalahan-kesalahan yang terjadi berkaitan dengan ekonomi bahasa adalah pada penghilangan unsur-unsur bahasa sehingga menyalahi kaidah kebahasaan dan membuat kalimat menjadi rancu. Misalnya, pada kalimat yang keluar dan mesin bicara di bank seperti yang telah disebutkan terdahulu. Penghilangan ansur-unsur tersebut bukan hanya pada kata, melainkan terjadi juga pada tanda baca seperti tanda titik pada singkatan nama dan gelar. Pada tataran kata, yang sering terjadi adalah penghilangan kata yang sebenarnya merupakan idiom. Misal: sesuai dengan menjadi sesuai, sehubungan dengan menjadi sehubungan, bergantung pada/kepada menjadi bergantung/tergantung.
Memang, terasa lucu, saat para jurnalis mengatakan bahwa ragam bahasa jurnalis itu singkat dan jelas namun pada kenyataannya justru berbunga-bunga dan sering melantur. Sering juga, dengan alasan penghematan atau ekonomi bahasa, kaidah-kaidah kebahasaan dilabrak begitu saja. Nah, sebagai “orang-orang bahasa” yang terlibat di dunia pers, bagaimana tanggung jawab kita?
Penulis:
Tendy K. Somantri
Pikiran Rakyat
Makalah ini disajikan pada Diskusi FBMM 2Mei 2002 di Pikiran Rakyat Bandung
10 November 2008
Ekonomi Bahasa, Ciri Bahasa Media Massa
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar