/1/
Beberapa waktu belakangan ini ada sebuah kata yang dapat dikatakan populer atau dikenal luas dalam komunikasi resmi maupun sehari-hari. Kata yang dimaksud di ini adalah kata event, yang kemungkinan besar marak sebagai akibat dari merebak atau munculnya sejumlah event organizer di Indonesia pada tahun 1990-an, hingga kini. Kenyataan ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja sekiranya kata event yang mempunyai makna (1) ‘peristiwa, kejadian’, dan (2) ‘pertandingan, perlombaan’ (3) itu diposisikan dan dipakai oleh banyak orang sebagaimana mereka memanfaatkan kata-kata asing semacam computer, cyber, internet, dan go public.
Dilihat dari aspek pemakaiannya, kata event tersebut adakalanya memang dipergunakan oleh berbagai kalangan dengan tepat tetapi kerapkali pula dipakai secara semena-mena—istimewanya dalam pengucapan yang berimbas pada penulisan. Tidak terhitung lagi jumlahnya, orang kebanyakan—bahkan juga petinggi negara maupun pejabat pemerintah lainnya—mengucapkan event (dalam bahasa Inggris) laiknya even (dalam bahasa Inggris juga) yang mempunyai makna berbeda. Yang sangat memprihatinkan, kecerobohan pemakaian ini juga dapat dijumpai dalam penulisan di media-media massa, meskipun kata event itu telah dicoba diindonesiakan atau malahan telah dianggap sebagai khazanah bahasa Indonesia dengan mengubah penulisannya. Sekadar contoh, dua kutipan berikut diharapkan dapat memberi gambaran.
Mereka rutin punya even, untuk menyalurkan bakat anak muda, baik bidang nyanyi, fashion show, seni tari tradisional dan banyak lagi even lainnya yang berbau remaja. (”Rindu Event Remaja,” Banjarmasin Post. 2 0ktober 2004, h. 13; cetak tebal oleh penulis, IW)
Kegiatan ini diawali dengan pemukulan shuttle cock sebagai tanda dimulainya iven bergengsi tersebut. Iven ini juga dihadiri oleh mantan pemain bulutangkis nasional antara lain Alan Budikusuma dan Budi Santoso. (”Sroyer Buka Kejuaraan Bulutangkis Pulmon Cup III 2004,” Cahaya Papua, 26 Juli 2004; cetak tebal oleh penulis, IW)
Pemakaian kata “even” pada kutipan pertama tampaknya merupakan suatu upaya mengadopsi kata event—seperti terlihat dari judulnya—ke dalam khazanah bahasa Indonesia dengan penyesuaian dalam hal penulisan. Cara menuliskan “even” yang merupakan pengindonesiaan dari kata event itu sesungguhnya merupakan suatu penulisan yang benar sebagaimana diatur dalam “Garis Haluan Penggantian Kata dan Ungkapan Asing” butir 9.2 yang berbunyi “Penyerapan melalui penyesuaian ejaan dengan mengutamakan bentuk tulisannya. Hasil penyerapan ilu dilafalkan secara Indonesia”‘. (5) Yang menjadi masalah, bukan dalam segi penulisannya itu melainkan dalam pengucapannya, sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan termaktub. Penulisan kata “even” (pada kutipan pertama), sesuai dengan pelafalan Indonesia, seharusnya memang diucapkan sebagai [even] atau [even] dan bukan [iev- n] sebagaimana pengucapan untuk kata “iven”.
Namun, yang lebih perlu dipersoalkan di sini adalah landasan pemilihan kata “even” atau “iven” itu sendiri. Mengapa harus kata itu yang dipilih dan bukan, misalnya, “perlombaan” atau “pertandingan”? Mungkinkah penyebabnya adalah semacam rasa rendah diri atau rasa kurang modern yang dilandasi atas kesalahan dalam memahami pembaca-sasaran?
/2/
Pertanyaan yang baru saja dilontarkan ini sangat bisa dimengerti jikalau dalam sebuah tulisan terdapat kata atau sejumlah kata asing yang dipakai secara paksa dan kurang tepat. Dengan pengertian lain, pemakaian kata atau kata-kata asing itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang boleh jadi mubazir lantaran apa yang diwakili oleh kata atau kata-kata asing itu pada galibnya sudah ada dalam khazanah bahasa Indonesia. Hanya saja, barangkali dirasakan adanya nada “norak”, “kampungan”, atau sekadar “biasa-biasa saja”, dalam kata yang disembunyikan itu sehingga dicarilah kata atau istilah asing yang dikira akan memberikan suatu nuansa atau citra yang lebih mutakhir, masa kini, atau modern. Judul-judul yang berbunyi “Peralatan-Anggar The Best,” (Manado Post, 28 Agustus 2004), “Akbar Mengaku Welcome” (Fajar, 7 Agustus 2004), “Special Price dari Executive” (Tribun Timur, 7 Agustus 2004), “Pameran dan Indonesia City Expo 2004: Surabaya Sebagai Meeting Point” (Surya, 7 Agustus 2004), misalnya, dengan penulisan yang tidak memedulikan kaidah penulisan yang lazim, bukankah dapat merepresentasi rasa-rasa rendah diri atau kurang modern itu? Mengapa untuk “Peralatan Anggar The Best” tidak ditulis saja dengan misalnya “Peralatan-Anggar Terbaik” atau “Special Price dari Executive”
tidak dinyatakan dengan “Harga Khusus dari Executive”, misalnya? Demikian pula dengan contoh-contoh lainnya, niscaya dapat dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dengan nuansa yang tidak kalah modern.
Beberapa contoh yang baru saja dinyatakan ini dapat dikatakan sebagai hanya terjebak kepada suatu pengungkapan yang cenderung “gagah-gagahan”, yang sangat mungkin juga didasari faktor latah. Artinya, karena media yang lain tampak berlomba menggunakan kata-kata asing, media yang tidak mampu mengontrol diri dalam hal memanfaatkan pilihan kata Indonesia akan dengan mudah terjerembab juga dalam pemakaian kata-kata asing seperti telah dinyatakan dalam contoh-contoh di atas. Masih lumayan bahwa cara menuliskan kata-kata asing itu terbebas dari kesalahan penulisan, sebab tidak sedikit media massa cetak yang sepertinya tidak peduli dengan penulisan kata-kata asing itu.
Contoh-contoh berikut merupakan semacam bukti bahwa keteledoran atau kecerobohan dalam penulisan kata-kata asing sangat biasa dan sering terjadi, yang bisa saja disebabkan oleh kemasabodohan atau tidak berfungsinya bagian penyuntingan pada media bersangkutan. Judul yang berbunyi “Jadikan Pelanggan Sebagai Bozz” pada rubrik “Bisnis Harian” dari koran Rakyat Merdeka (29September 2004) jelas-jelas menunjukkan kecerobohan alih-alih kekreatifan. Hal yang sama dapat dijumpai pada judul dari koran dan tanggal yang sama, misalnya, yang berbunyi “Authorize Ban Lansiran Bridgestone”.
Kecerobohan lain yang biasa terjadi sebenarnya bukan sebatas pada judul-judul saja; pada tubuh karangan sangat sering kita jumpai penulisan yang salah. Mungkin kita lebih baik berharap saja, bahwa kesalahan yang terjadi lantaran kekurangcermatan saja dan bukan karena ketidaktahuan. Sebab, jika ketidaktahuan yang ternyata ada, kenyataan semacam itu tentu sangat memprihatinkan. Dengan begitu, keterangan yang menyatakan bahwa salah seorang anak Amien Rais “mendapatkan beasiswa di National University Singapore jurusan Mess Media Communication”—huruf tebal dan penulis, IW—seperti terungkap dalam koran Rakyat Merdeka, 27 September 2004, semestinya berbunyi “mendapatkan beasiswa dari National University of Singapore jurusan Mass Media Communication. Contoh yang lain, pernyataan Adjie Massaid dalam tabloid Star edisi 12-18 September 2004 yang berbunyi ” …, Zahwa menjawab. ‘Miss you to, Papa.’…” mudah-mudahan yang dimaksudkan adalah “…Zahwa menjawab, ‘Miss you too, Papa.’ …”.
/3/
Memang tidak selamanya setiap bahasa mempunyai kata atau istilah yang serba lengkap. Karena kenyataan yang sedemikian itulah maka kegiatan pinjam-meminjam kata di antara bahasa-bahasa di dunia ini biasa terjadi. Namun, kendati dimungkinkan adanya pinjam-meminjam kata itu, tentu ada seperangkat aturan yang harus ditaati. Selain itu, kekonsitenan di dalam penerapan atau penulisan juga merupakan suatu pertanda apakah ketaatasasan sudah dilaksanakan, atau apakah keintelektualan telah dipakai sebagai titik tolak untuk melakukan suatu penyerapan kata. Sayang sekali, sejumlah media massa di Indonesia masih banyak yang asal-asalan dalam menerapkan kata atau istilah yang berasal dari kosakata asing itu, tanpa perlu meralat sesudahnya, bahwa tindakan semacam itu merupakan cela dalam berbahasa.
Judul-judul yang berbunyi “Persib Konfiden, PSIS Pressure Ketat” (Indo Pos, 14 September 2003), “kover yang eye-catching” (Bintang Millenia, No. 184, Minggu V, April 2003), dan “Tak Ketinggalan Aksesori & Spare Part” (Rakyat Merdeka, 27 September 2004) merupakan contoh betapa kekonsitenan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak dipedulikan. Dan lebih dari sekadar ketidakkonsistenan yang ada, persoalan pada judul-judul yang dipakai sebagai contoh kasus ini, memperlihatkan suatu tindak berbahasa yang sangat amburadul dan—seperti sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini—kerendahdirian dalam berbahasa. Mengapa harus memakai
kata “konfiden” kalau kita mempunyai kata “percaya diri” yang mungkin lebih dipahami pembaca? Mengapa harus memakai kata Inggris “pressure” dan apa yang dimaksud dengan “PSIS Pressure Ketat”?
Demikian pula, mengapa harus memakai kata “kover” untuk “sampul depan”. Sementara “eye-catching” tetap dibiarkan sebagaimana penulisan dalam bahasa Inggris? Dan juga untuk contoh ketiga, mengapa “spare part” tetap dipertahankan dan tidak diganti dengan ‘’suku cadang” misalnya, padahal kata “aksesori” sudah dipakai untuk menggantikan kata asing “accessory”?
Namun, pemakaian kata atau istilah asing seringkali pula masih dipertahankan karena istilah itu—khususnya—bertautan dengan sejumlah kode (kultural, sosial, dan semacamnya) dan tidak serta-merta dapat dialihbahasakan. Banyak contoh dapat dipakai untuk menjelaskan gejala ini, tetapi berikut ini hanya akan dikemukakan beberapa saja. Contoh pertama, istilah “baby boom“‘ dalam “Sebagai bagian dari generasi baby boom yang mengalami masa remaja pada era 1960-1970-an, dia sadar akan dua hal: politik juga manisnya dunia komersial” yang dimuat dalani Tempo, 26 September 2004, agaknya sengaja dipakai karena ungkapan baby boom tidak mudah untuk dialihbahasakan secara tepat.
Contoh kedua, judul yang berbunyi “Kecantikan dengan Aroma Therapy” (Fajar, 7 Agustus 2004), sangat mungkin lebih dipahami oleh pembaca daripada jika istilah “aroma therapy” itu diganti atau diindonesiakan dengan misalnya “penyembuhan melalui wewangian” atau ungkapan yang lainnya.
/4/
Merupakan suatu kenyataan bahwa kita—sebagai penutur bahasa Indonesia— tidak dapat melepaskan diri dari pergaulan dengan bahasa-bahasa lain. Kata atau istilah asing sangat boleh jadi “terpaksa” harus kita pakai karena kita memang tidak mempunyai tradisi atau kegiatan, dan yang lainnya, sebagaimana dipunyai atau dilakukan oleh bangsa lain. Olahraga bungy jumping contohnya, adalah suatu jenis olahraga yang datang dari luar. Dalam kaitan ini, hal yang patut kita lakukan adalah mencoba membuat istilah baru yang sepadan dengan karakteristik olahraga itu. Maka ketika ada yang mengusulkan—saya lupa, entah siapa—istilah “lompataja” untuk olahraga itu, maka sudah lahirlah istilah baru dan kekayaan kosakata bahasa Indonesia pun bertambah. Kreativitas semacam inilah yang kita perlukan.
Namun, tidak ada gunanya juga sekiranya kita sudah mencoba mencari kata atau istilah baru tetapi hanya kita simpan di dalam hati. Sosialisasi merupakan kemestian, dan media massa merupakan wahana yang tepat untuk ini.
1) Makalah ini dibentangkan dalam acara diskusi bahasa yang diselenggarakan oleh majalah Tempo bekerja sama dengan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di Hotel Gran Melia, Rabu, 6 Oktober 2004.
2) Pengajar sastra, penulisan populer, dan penyuntingan pada Fakultas llmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia.
3) John M. Echols dan Hassan ShadiSy, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1992. h. 220.
4) Kata even dalam bahasa Inggris mempunyai banyak arti, di antaranya adalah (1) ‘rata. datar’, (2) ‘lelap, mantap’, (3) ’seri’, (4) -genap’, (5) ‘lengkap’, dan (6) ‘tenang, yang jelas sekali tidak rnemperlihatkan pertalian alau asosiasi rnakna dengan kata event. Ibid’ 5) Dendy Sugono, penyunting utama, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing, Jakarta; Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan “Nasional, 2003, h. 10
Penulis:
lbnu Wahyudi
Universitas Indonesia
10 November 2008
Pemakaian Istilah Asing dan Kata Serapan di Media Massa di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar