Profil Facebook Nyoman Ekayana

Cari di blog ini

Links

Followers

Advertisers


Masukkan Code ini K1-B133A2-E
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

28 Februari 2011

Televisi Cermin Zaman

Tulisan ini diambil dari milis Media-Bali:

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

Wartawan-wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka."
Beberapa hari sebe lum Metro TV meng udara satu dasawarsa yang lalu,seorang tokoh pertelevisian Indonesia bertanya, "Apakah televisi berita memiliki daya tarik?
Sulit untuk membayangkan." Untuk menghindari perdebatan berlarut, pertanyaan itu dibiarkan mengambang, berlalu tanpa jawaban. Sepuluh tahun kemudian terbukti,televisi berita adalah anak zaman. Dia berfungsi mencerdaskan. Pesan-pesan yang disampaikan Metro TV memenuhi kebutuhan penonton sasarannya. Yakni mereka yang menghendaki siaran padat berita dan informasi, sesuai dengan dinamika kehidupan modern.

Tidak ada masyarakat yang homogen. Semakin tinggi heterogenitas,semakin banyak memerlukan pilihan dan pengkhususan pelayanan jasa,termasuk jasa penyebaran informasi. Ini yang terbaca oleh tokoh pers Surya Paloh, yang idealisme, nyali, dan visinya mencetuskan gagasan melahirkan TV berita pertama di Indonesia.
Menanggapi banjir informasi Dalam era informasi, yang mencemplungkan
masyarakat dalam banjir informasi, para pengamat sosial mendapati ada
dua hal yang meminta perhatian:
1) jenis informasi yang datang dan
2)jenis masyarakat penerima informasi. Penerima informasi memiliki konsep yang berbeda-beda mengenai informasi yang diserap, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman masing-masing. Dr Philip Kotler (1931-...), ahli pemasaran, dalam Social Marketing menyatakan bahwa masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan
nilainilai yang dianutnya. Selain itu, ada saja kelompok yang secara kronis tidak reseptif terhadap informasi karena pengetahuan mereka demikian minim.

Akibatnya, informasi tidak gampang menyentuh perhatiannya. Respons terhadap informasi meningkat kala dia merasa pesan yang disampaikan melibatkan kepentingannya, atau sesuai dengan sikapnya. Masyarakat,kata Kotler, cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapat atau seleranya. Sebaliknya, dia cenderung menyambut gembira informasi yang mengenakkan atau sesuai dengan kebutuhan pikiran dan
perasaannya. Tidak mustahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan,ringan, atau bahkan yang merangsang naluri rendah. Kenyataan tersebut mendorong media elektronik TV umumnya menyuguhkan berbagai jenis program dalam satu paket siaran, demi menarik sebanyakbanyaknya penonton.
Ini pun suatu pilihan.

Dalam kaitan efek siaransiaran televisi terhadap penonton, Dr Juwono Sudarsono, yang juga pakar pendidikan dan komunikasi, pernah mengatakan dalam suatu seminar bahwa masyarakat yang mendapat berbagai macam informasi belum tentu masyarakat yang produktif. Mengutip salah satu edisi majalah bulanan World Monitor, terbitan Christian Science Publishing Society, Juwono kemudian memaparkan tentang sebuah
organisasi yang pernah ada di Amerika, Action for Children Television (ACT; 1968-1992). Organisasi tersebut memperjuangkan agar Kongres Amerika mengupayakan pembaharuan dalam rancangan program-program televisi Amerika. Desakan itu diajukan bukan hanya dalam rangka memperbaiki dan membersihkan siaran-siaran untuk orang-orang dewasa yang sempat ditonton anak-anak, melainkan juga dalam usaha meningkatkan daya saing Amerika menghadapi perekonomian negara-negara lain.

Karena televisi salah satu media pendidikan yang paling efisien dan cost effective, ACT, sebelum dibubarkan pada 1992, pernah menuntut agar anak-anak Amerika pun dididik dan didayagunakan dalam arti luas supaya memahami tempat dan kedudukan Amerika sebagai kekuatan perekonomian dunia. Dengan kata lain, orientasi siaran televisi
hendaknya diarahkan bukan terutama pada hiburan, melainkan pada fungsinya yang utama, yakni `mencerdaskan' masyarakat. Bahwa mediadiharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, agaknya umum disepakati.
Betapa besar peran pengelola yang ada di belakang media, umum dimengerti. Seperti kata almarhum Dr Soedjatmoko, yang prihatin menghadapi masa depan, dan kami k u t i p , " Te r k e m b a n g n y a masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telahmengakibatkan perubahan sosial yang demikian pesat dan mendalam
sehingga melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lemba ga, termasuk
berbagai sistem politik di dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi
ketinggalan karena peningkatan kecerdasan dan kompleksitas
masyarakatnya sendiri."

Retrospeksi wartawan "The press thinks he is Jesus Christ, but he is not." Ucapan yang pernah dilontarkan Jenderal Benny Moerdani (alm)dalam suatu kelompok diskusi itu tidak gampang dilupakan. Bagi wartawan, ucapan itu menyengat, tetapi membuat orang mawas diri.
Apakah wartawan bersikap gagah-gagahan?
Media massa adalah cermin zaman. Wartawan mengungkap situasi zaman.Bukan hanya hasil pembangunan yang diungkap. Struktur hubungan sosial
pada umumnya, jenis-jenis kekuatan/ kekuasaan yang ada, maupun pengaruh tekanan-tekanan institusional dan industri (media) juga
diungkap. Media massa jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Untuk mengenalnya, perlu dikenali proses operasionalnya, identitas/ peran wartawan-wartawannya dalam bidang-bidang politik/ ekonomi/budaya dan sosial, apa sumber-sumber kekuatan dan bagaimana aturan main yang dibuatnya maupun yang dibuat orang lain untuknya.

Di masa-masa sebelum 1966, idealisme wartawan dianggap menonjol karena
pikiran wartawan belum terpengaruh pertimbangan bisnis.Generasigenerasi lama sering berbangga diri bahwa merekalah anakrevolusi yang punya nyali.Namun, rasanya jauh lebih gampang terjun di media tanpamempertimbangkan sisi bisnisnya. Orang-orang pers atau media massa adalah anak zaman.

Namun, sejauh apa wartawan larut menjadi anak zaman? Sejauh apa pertimbangan bisnis membuatnya lupa diri? Perhatikan apa yang pernah dikatakan Goenawan Mohamad: "Maklum, di manamana kita melihat mentalitas bayaran--orang-orang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu, dan wartawan. Apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya kira tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak,tapi tak punya kesempatan untuk mempersoalkan benar atau tidaknya mentalitas bayaran itu." Walaupun Goenawan mengatakannya hampir seperempat abad yang lalu, konsep tersebut terbukti masih berlaku sampai sekarang.

Singkat kata, wartawanwartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya,bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka; selain kelincahan berpikir sesuai dengan perkembangan situasi.

Selamat ulang tahun ke-10 Metro TV.


Komentar :

ada 0 komentar ke “Televisi Cermin Zaman”

donate here

VOA News: Asia

BBCIndonesia.com | Berita Dunia | Indonesian News index

ANTARA - Berita Terkini

KOMPAS.com - Nasional

BALIPOST.com

detiknews - detiknews

Liputan6 - Aktual Tajam dan Terpercaya: RSS 0.92

Sindikasi welcomepage.okezone.com

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga LP * modified by eka DOT