Menulislah, apapun. Jangan pernah takut tulisanmu tidak dibaca orang,
yang penting tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna
(Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel Rumah Kaca)
TulisBukan rahasia umum lagi, bahwa sebagian besar skripsi yang dihasilkan mahasiswa kita di negeri ini hanyalah hasil jiplakan dari skripsi senior. Tinggal mengubah lokasi penelitian, subjudul, serta karakter tulisan, nama responden, maka jadilah skripsi “baru.” Padahal sang penjiplak sebenarnya seringkali tak sadar kalau skripsi yang dijiplak tadi kuliatas tulisannya sebenarnya sangat jauh dari baik. Belum lagi fenomena pembuatan skripsi yang kini marak di daerah di sekitar kampus. Bahkan Ghost Writer itu tak hanya menggarap skripsi saja, melainkan juga menerima pesanan disertasi dan tesis. Makanya, ketika saya kuliah dulu saya sempat bertanya pada Dosen saya yang kebetulan bergelar Doktor, mengapa bapak tidak menulis di Koran? Jawabannya sungguh ironis; “Saya tidak bakat menulis, Mas!” Saya jadi pusing juga mendengar jawaban itu.
Sebab kalau tidak bakat menulis, mengapa bisa lolos ujian Skripsi, Desertasi dan Tesis hingga mampu meraih gelar doktor? Atau Jangan-jangan karya tulisnya semua hasil jiplakan atau paling banter bukan buah karyanya sendiri alias pesanan. Padahal tulisan ilmiah seperti Skripsi, Tesis, Disertasi maupun tulisan ilmiah-populer semisal artikel, esai serta resensi buku sebenarnya sama saja. Yang membedakan mungkin hanya dari segi kuantitas. Kalau artikel atau opini di koran dibuat maksimal 3 halaman folio. Tapi kalau skripsi bisa jadi lebih dari 50 lembar folio. Tapi mengenai kualitas jelas sama. Bahwa tulisan yang baik dan indah menurut Wahyu Wibowo (2002; 5-6) mengandung tiga unsur utama, yakni, mengandung kesatuan dan keutuhan, mengandung satu pikiran utama yang jelas dan mengandung prinsip perkembangan. Redaktur Koran misalnya, tak akan meloloskan tulisan yang ‘amburadul’ untuk muncul di halaman OPINI media cetak. Sebab cara penyajian tulisan yang tidak sistematis dan meloncat-loncat akan menyulitkan pembaca dalam memahaminya serta akan memusingkan redaktur untuk mengeditnya (Lasa Hs, 2006). Tulisan yang jelek pasti masuk keranjang sampah, sebab taruhannya adalah Oplah Koran. Koran akan ditinggalkan banyak pembacanya jika tulisan yang muncul hanyalah tulisan jelek dan tidak sistematik. Karenanya redaktur akan menyeleksi ketat tiap tulisan yang masuk ke meja redaksi atau emailnya. Seorang yang punya nama, terutama akademisi atau mereka yang bergelar tinggi kadang memiliki phobia berlebihan terhadap seleksi semacam itu. Artinya, mereka takut kalau naskahnya ditolak. Mereka mungkin merasa gengsi dan reputasinya akan turun bila tulisannya ditolak redaktur. Apalagi jika redakturnya bukan lulusan perguruan tinggi. Sebab hal itu akan dianggap pelecehan akademik. “Masak sih lulusan SLTA lebih pinter dari doktor,” begitu kira-kira komentar mereka. (Lasa HS, 2006;9) Padahal kualitas tulisan tidak ada hubungannya dengan gelar yang disandang seseorang. Buktinya, (Sekedar menyebut nama) Emha Ainun Nadjib, Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla, Pramoedya Ananta Toer, dll, bukanlah lulusan sarjana. Namun karya tulis mereka menjadi acuan para profesor. Bahkan Pramodya Ananta Toer berkali-kali menjadi satu-satunya kandidat peraih Nobel dari Indonesia. hal itu karena mereka menjadikan kegiatan menulis—meminjam istilah The Liang Gie—sebagai pengalaman estetis. Dimana panca inderanya dipusatkan secara sungguh-sungguh terhadap seluk beluk dunia menulis. Dan sebenarnya keseriusan untuk menyelami dunia menulis bisa dilakukan kalangan mahasiswa, dosen, doktor maupun professor. Bukankah menulis merupakan bentuk pengabdian terhadap masyarakat? Lagipula sehari-hari mereka berkecimpung dengan dunia ilmiah yang berasal dari berbagai buku dan teori-teori. Sehingga tak terlalu sulit menuangkan teori dan bacaan untuk menganalisis fenomena social yang tengah terjadi di masyarakat. Tapi nyatanya itu tak pernah terjadi. Karya ilmiah di lingkungan kampus tak lebih dari karya plagiasi dari generasi ke generasi. Mahasiswa lebih suka pacaran atau ngeceng di mall daripada membaca dan merangkum buku. Sementara dosen lebih suka menjadi ‘penguasa’ di kelas dibandingkan menuangkan idenya dalam bentuk tulisan di Koran. Memang harus diakui membuat tulisan di Koran dalam bentuk artikel, opini atau esai cukup sulit. Sebab saingan bagi penulis pemula bisa dibilang berat. Para penulis kelas berat, seperti Shalahuddin Wahid, Goenawan Mohammad, Hudan Hidayat, Zawawi Imron, Ariel Heryanto, dan banyak lagi masih terus menulis di Koran hingga sekarang. Ibarat bermain tinju penulis pemula sedang berhadapan dengan Mike Tyson. Bahkan tanpa bertanding-pun kita tahu siapa yang akan jadi pemenang. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa, bukan? Selama kita berusaha, peluang untuk bisa menciptakan tulisan yang kualitasnya sama dengan karya penulis ternama tetap ada. Lagipula suatu saat nanti generasi tua bakal tutup usia. Nah, pada kondisi itu siapa yang akan menggantikannya kalau bukan generasi muda? Adalah Marx yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan jalannya sejarah, bukan sebaliknya. (Ken Budha Kusumandharu, 2004). Bahkan sejarah bisa diciptakan asal syarat-syarat khusus bisa terpenuhi. Kaitannya dengan menulis adalah, bahwa siapapun bisa membuat tulisan yang bagus. Asalkan sanggup memenuhi syarat khusus berikut ini; Pertama, perbanyak membaca. Membaca dan menulis mengikuti filsafat kendi. Sebuah kendi tidak akan bisa melepas rasa dahaga jika tidak diisi air. Begitu juga dengan menulis. Bahkan seorang wartawanpun jika tidak gemar membaca tak akan bisa menghasilkan tulisan yang baik. Kedua, cacatlah hal penting dari setiap buku yang pernah dibaca dalam buku catatan khusus. Hal itu sangat bermanfaat untuk membantu memori otak yang terbatas. Dan tidak menutup kemungkinan buku catatan itu nantinya bisa menjadi karya ilmiah. Bukankah catatan harian Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib yang terkenal itu berasal dari catatan harian mereka mengenai hasil bacaan dan hasil diskusinya secara intens. Terakhir—dan ini yang paling penting—mulai menulis. Jujur saja, tak ada teori menulis yang ampuh yang mampu mencetak orang menjadi penulis. Satu-satunya jalan untuk menjadi penulis dan menghasilkan karya tulis yang bagus adalah terus berlatih menulis. Buku-buku mengenai teori, tehnik, kiat menulis baik itu tulisan fiksi maupun non fiksi (baca; ilmiah) sebenarnya hanyalah pintu gerbang mengenalkan kita pada dunia tulis-menulis. Sedangkan menulis yang sejatinya adalah praktek. Seperti adagium para aktivis; teori tanpa aksi, onani. Aksi tanpa teori anarki! Terserah anda.***
sumber stta.ac.id
yang penting tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna
(Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel Rumah Kaca)
TulisBukan rahasia umum lagi, bahwa sebagian besar skripsi yang dihasilkan mahasiswa kita di negeri ini hanyalah hasil jiplakan dari skripsi senior. Tinggal mengubah lokasi penelitian, subjudul, serta karakter tulisan, nama responden, maka jadilah skripsi “baru.” Padahal sang penjiplak sebenarnya seringkali tak sadar kalau skripsi yang dijiplak tadi kuliatas tulisannya sebenarnya sangat jauh dari baik. Belum lagi fenomena pembuatan skripsi yang kini marak di daerah di sekitar kampus. Bahkan Ghost Writer itu tak hanya menggarap skripsi saja, melainkan juga menerima pesanan disertasi dan tesis. Makanya, ketika saya kuliah dulu saya sempat bertanya pada Dosen saya yang kebetulan bergelar Doktor, mengapa bapak tidak menulis di Koran? Jawabannya sungguh ironis; “Saya tidak bakat menulis, Mas!” Saya jadi pusing juga mendengar jawaban itu.
Sebab kalau tidak bakat menulis, mengapa bisa lolos ujian Skripsi, Desertasi dan Tesis hingga mampu meraih gelar doktor? Atau Jangan-jangan karya tulisnya semua hasil jiplakan atau paling banter bukan buah karyanya sendiri alias pesanan. Padahal tulisan ilmiah seperti Skripsi, Tesis, Disertasi maupun tulisan ilmiah-populer semisal artikel, esai serta resensi buku sebenarnya sama saja. Yang membedakan mungkin hanya dari segi kuantitas. Kalau artikel atau opini di koran dibuat maksimal 3 halaman folio. Tapi kalau skripsi bisa jadi lebih dari 50 lembar folio. Tapi mengenai kualitas jelas sama. Bahwa tulisan yang baik dan indah menurut Wahyu Wibowo (2002; 5-6) mengandung tiga unsur utama, yakni, mengandung kesatuan dan keutuhan, mengandung satu pikiran utama yang jelas dan mengandung prinsip perkembangan. Redaktur Koran misalnya, tak akan meloloskan tulisan yang ‘amburadul’ untuk muncul di halaman OPINI media cetak. Sebab cara penyajian tulisan yang tidak sistematis dan meloncat-loncat akan menyulitkan pembaca dalam memahaminya serta akan memusingkan redaktur untuk mengeditnya (Lasa Hs, 2006). Tulisan yang jelek pasti masuk keranjang sampah, sebab taruhannya adalah Oplah Koran. Koran akan ditinggalkan banyak pembacanya jika tulisan yang muncul hanyalah tulisan jelek dan tidak sistematik. Karenanya redaktur akan menyeleksi ketat tiap tulisan yang masuk ke meja redaksi atau emailnya. Seorang yang punya nama, terutama akademisi atau mereka yang bergelar tinggi kadang memiliki phobia berlebihan terhadap seleksi semacam itu. Artinya, mereka takut kalau naskahnya ditolak. Mereka mungkin merasa gengsi dan reputasinya akan turun bila tulisannya ditolak redaktur. Apalagi jika redakturnya bukan lulusan perguruan tinggi. Sebab hal itu akan dianggap pelecehan akademik. “Masak sih lulusan SLTA lebih pinter dari doktor,” begitu kira-kira komentar mereka. (Lasa HS, 2006;9) Padahal kualitas tulisan tidak ada hubungannya dengan gelar yang disandang seseorang. Buktinya, (Sekedar menyebut nama) Emha Ainun Nadjib, Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla, Pramoedya Ananta Toer, dll, bukanlah lulusan sarjana. Namun karya tulis mereka menjadi acuan para profesor. Bahkan Pramodya Ananta Toer berkali-kali menjadi satu-satunya kandidat peraih Nobel dari Indonesia. hal itu karena mereka menjadikan kegiatan menulis—meminjam istilah The Liang Gie—sebagai pengalaman estetis. Dimana panca inderanya dipusatkan secara sungguh-sungguh terhadap seluk beluk dunia menulis. Dan sebenarnya keseriusan untuk menyelami dunia menulis bisa dilakukan kalangan mahasiswa, dosen, doktor maupun professor. Bukankah menulis merupakan bentuk pengabdian terhadap masyarakat? Lagipula sehari-hari mereka berkecimpung dengan dunia ilmiah yang berasal dari berbagai buku dan teori-teori. Sehingga tak terlalu sulit menuangkan teori dan bacaan untuk menganalisis fenomena social yang tengah terjadi di masyarakat. Tapi nyatanya itu tak pernah terjadi. Karya ilmiah di lingkungan kampus tak lebih dari karya plagiasi dari generasi ke generasi. Mahasiswa lebih suka pacaran atau ngeceng di mall daripada membaca dan merangkum buku. Sementara dosen lebih suka menjadi ‘penguasa’ di kelas dibandingkan menuangkan idenya dalam bentuk tulisan di Koran. Memang harus diakui membuat tulisan di Koran dalam bentuk artikel, opini atau esai cukup sulit. Sebab saingan bagi penulis pemula bisa dibilang berat. Para penulis kelas berat, seperti Shalahuddin Wahid, Goenawan Mohammad, Hudan Hidayat, Zawawi Imron, Ariel Heryanto, dan banyak lagi masih terus menulis di Koran hingga sekarang. Ibarat bermain tinju penulis pemula sedang berhadapan dengan Mike Tyson. Bahkan tanpa bertanding-pun kita tahu siapa yang akan jadi pemenang. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa, bukan? Selama kita berusaha, peluang untuk bisa menciptakan tulisan yang kualitasnya sama dengan karya penulis ternama tetap ada. Lagipula suatu saat nanti generasi tua bakal tutup usia. Nah, pada kondisi itu siapa yang akan menggantikannya kalau bukan generasi muda? Adalah Marx yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan jalannya sejarah, bukan sebaliknya. (Ken Budha Kusumandharu, 2004). Bahkan sejarah bisa diciptakan asal syarat-syarat khusus bisa terpenuhi. Kaitannya dengan menulis adalah, bahwa siapapun bisa membuat tulisan yang bagus. Asalkan sanggup memenuhi syarat khusus berikut ini; Pertama, perbanyak membaca. Membaca dan menulis mengikuti filsafat kendi. Sebuah kendi tidak akan bisa melepas rasa dahaga jika tidak diisi air. Begitu juga dengan menulis. Bahkan seorang wartawanpun jika tidak gemar membaca tak akan bisa menghasilkan tulisan yang baik. Kedua, cacatlah hal penting dari setiap buku yang pernah dibaca dalam buku catatan khusus. Hal itu sangat bermanfaat untuk membantu memori otak yang terbatas. Dan tidak menutup kemungkinan buku catatan itu nantinya bisa menjadi karya ilmiah. Bukankah catatan harian Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib yang terkenal itu berasal dari catatan harian mereka mengenai hasil bacaan dan hasil diskusinya secara intens. Terakhir—dan ini yang paling penting—mulai menulis. Jujur saja, tak ada teori menulis yang ampuh yang mampu mencetak orang menjadi penulis. Satu-satunya jalan untuk menjadi penulis dan menghasilkan karya tulis yang bagus adalah terus berlatih menulis. Buku-buku mengenai teori, tehnik, kiat menulis baik itu tulisan fiksi maupun non fiksi (baca; ilmiah) sebenarnya hanyalah pintu gerbang mengenalkan kita pada dunia tulis-menulis. Sedangkan menulis yang sejatinya adalah praktek. Seperti adagium para aktivis; teori tanpa aksi, onani. Aksi tanpa teori anarki! Terserah anda.***
sumber stta.ac.id
Komentar :
Posting Komentar