Perkembangan terkini dalam dunia jurnalistik dan industri media menuntut penyesuaian dan pembaruan dalam kurikulum pendidikan Ilmu Komunikasi di perguruan tinggi. Hal ini khususnya berlaku bagi mahasiswa program S-1 yang memilih konsentrasi Jurnalistik, selain Public Relations dan Periklanan.
Tulisan ini mencoba memberi masukan kepada dunia akademis, tentang perkembangan terkini di dunia jurnalistik dan industri media massa, dari sisi pandang seorang praktisi yang biasa bergelut di dunia tersebut.
Sebagai orang yang telah cukup lama menggauli media cetak (suratkabar dan majalah), dan kemudian menjadi produser di sebuah stasiun televisi swasta, saya ingin menyampaikan sejumlah pandangan tentang perkembangan terkini di industri media. Semoga dari sejumlah pandangan dan masukan ini, dapat dipetik manfaatnya bagi pengembangan kurikulum Ilmu Komunikasi di perguruan tinggi.
Kurikulum Ilmu Komunikasi di perguruan tinggi diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan nyata di dunia industri, dan pada saat yang sama juga dirancang untuk mendorong perkembangan Ilmu Komunikasi itu sendiri. Untuk maksud itu, ada sejumlah tren di industri media yang patut dicermati.
Ada dua aspek yang perlu kita perhatikan. Aspek pertama, menyangkut perangkat keras (hardware) atau produk teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai produk teknologi yang berkembang pesat akhir-akhir ini praktis telah menjelma menjadi medium-medium baru dalam penyampaian informasi.
Aspek kedua, menyangkut pergeseran struktur dan mekanisme dalam industri media itu sendiri, yang mengakibatkan perubahan pula dalam pola kerja dan operasional industri media. Pergeseran ini terjadi terutama karena didorong oleh faktor-faktor lingkungan global, seperti proses globalisasi, yang imbasnya mempengaruhi industri media di Indonesia.
Globalisasi pada intinya ingin menjadikan dunia sebagai satu pasar global. Ciri-ciri pokok globalisasi adalah: pergerakan bebas bagi gagasan, informasi, uang, tenaga kerja, produk dan jasa di tingkat global; makin tipisnya batas-batas teritorial antarnegara; serta terjadinya saling keterkaitan (interconnectedness) antara satu unsur dengan yang lain.
Globalisasi terlihat dari masuknya dengan mudah berbagai program televisi asing, untuk ditonton oleh publik Indonesia, baik melalui saluran televisi siaran yang biasa, maupun melalui TV kabel. Juga masuknya modal asing dalam industri media nasional, seperti pembelian sebagian saham ANTV oleh Star TV, yang merupakan bagian dari imperium media News Corp (Rupert Murdoch). Tekanan globalisasi makin meningkatkan iklim persaingan di dalam industri media.
Munculnya jenis-jenis media baru
Perkembangan pertama yang patut disimak adalah perkembangan dalam medium komunikasi massa itu sendiri. Perkembangan yang pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi, serta terjadinya konvergensi teknologi, menyebabkan lahirnya berbagai jenis media baru, yang tidak secara sederhana dapat kita pilah dengan kategori media cetak atau elektronik.
Sebagai contoh, telepon seluler atau HP (hand phone) yang sangat populer di Indonesia, pada awalnya hanyalah alat komunikasi pengganti telepon, yang memiliki keunggulan dari segi mobilitas (praktis dan mudah dibawa ke mana-mana). Namun, HP jenis terbaru kini tidak cuma sekadar alat buat mengobrol atau saling berkirim SMS (short message services).
HP jenis terbaru memiliki fungsi yang beraneka ragam. Mulai dari kalkulator, notepad (untuk membuat tulisan), membuat presentasi, melakukan transaksi perbankan, menggantikan peran komputer biasa untuk menjelajah internet, mengirim dan menerima e-mail, menerima dan mengirim berita, bahkan menerima siaran televisi.
Sampai kuartal ketiga tahun 2006, di seluruh dunia sudah terdapat 100 juta pengguna HP (3G), dan 264 juta sambungan saluran pita lebar (fixed broadband line). Diperkirakan, saluran tetap ini akan mencapai 500 juta dalam beberapa tahun.
Tercatat sudah lebih dari 120 operator ponsel seluruh dunia yang meluncurkan layanan TV bergerak, di mana lebih dari 90 persen mempergunakan jaringan seluler dua arah yang ada. Dari jaringan seluler ini ada lebih dari 2,5 miliar pengguna dengan teknologi unicast dan broadcast MBMS (multimedia broadcast multicast service).[2]
Artinya, dalam waktu yang tak lama lagi, ketika kita bicara soal audience media televisi, audience itu sebetulnya tidak lagi terbatas pada pemilik pesawat televisi konvensional (yang rating-nya secara rutin dicatat oleh lembaga AGB Nielsen Media Research). Tetapi juga mencakup pemilik HP (3G) dan pengguna komputer (yang juga bisa di-set untuk menerima siaran televisi).
Media yang semakin bersifat interaktif
Berkat perkembangan teknologi Internet, media lama seperti televisi juga bisa berubah sifat atau karakternya. Jika sebelumnya penonton televisi hanya dapat bersikap pasif, dalam arti hanya bisa “pasrah” memilih dari sekian channel yang tersedia, kini mereka bisa bersikap jauh lebih aktif.
Secara teknologi kini sudah dimungkinkan munculnya IPTV (Internet protocol televisions) atau televisi Internet, yang teknologinya sudah dipamerkan di International Telecom Union World di Hong Kong, akhir tahun 2006. IPTV bisa berwujud siaran televisi biasa atau bank acara dan film yang dapat diakses penonton, mirip payTV di hotel-hotel berbintang.
IPTV memiliki banyak keunggulan ketimbang televisi siaran konvensional, karena si penonton bisa sesuka hati memutar ulang siaran yang terlewatkan. Selain itu, IPTV juga bisa membuat siaran menjadi interaktif. Sebagaimana teknologi lain yang berbasiskan Internet, kendali IPTV pun ada di tangan penonton.
Komentar terhadap sebuah siaran bisa langsung dikirim ke stasiun televisi bersangkutan. Bahkan si penonton bisa berbagi komentar dengan para penonton lain, karena setiap IPTV memiliki nama (account) tersendiri. Sambil menonton siaran, mereka bisa saling berkomentar melalui pesan pendek yang muncul di layar televisi.
IPTV bisa lebih personal, interaktif, HDTV (high definition television, atau memiliki ketajaman gambar yang sangat tinggi), dan mengintegrasikan layanan komunikasi dan video. Selain membuka peluang distribusi dua arah dan multiple-stream, IPTV menjadi awal layanan triple play, atau satu saluran untuk tiga macam layanan (telepon suara, hiburan/TV, dan internet).[3]
Teknologi IPTV ini sudah berkembang di Eropa dan Amerika Utara, yang sudah memiliki infrastruktur komunikasi pita lebar. Di dua kawasan itu sudah empat juta rumah tangga tersambung dengan IPTV, dan diperkirakan pada tahun 2009, jumlah pelanggan akan meningkat cepat menjadi 36,8 juta. Di Indonesia sendiri, hambatan bagi penyelenggaraan IPTV adalah belum tersedianya saluran komunikasi pita lebar yang memadai. Perlu investasi yang sangat besar, karena harus mengganti perangkat dan jaringan yang lama.
Munculnya jenis “jurnalisme baru”
Media internet sendiri, sebagai suatu media baru (new media), pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian macam bentuk jurnalisme yang sebelumnya tidak kita kenal. Salah satunya adalah yang kita sebut sebagai “jurnalisme warga” (citizen journalism).
Dengan biaya relatif murah, kini setiap pengguna Internet pada dasarnya bisa menciptakan media tersendiri. Mereka dapat melakukan semua fungsi jurnalistik sendiri, mulai dari merencanakan liputan, meliput, menuliskan hasil liputan, mengedit tulisan, memuatnya dan menyebarkannya di berbagai situs Internet atau di weblog yang tersedia gratis.
Dengan demikian, praktis sebenarnya semua orang yang memiliki akses terhadap Internet sebenarnya bisa menjadi “jurnalis dadakan,” meski tentu saja kualitas jurnalistik mereka masih bisa kita perdebatkan. Yang jelas, orang tidak dituntut harus lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi atau sekolah jurnalistik, untuk menjadi “jurnalis dadakan” di dunia maya.
Suka atau tidak, tren munculnya “jurnalisme warga” dan “jurnalis dadakan” semacam ini tampaknya makin kuat.[4] Sebagai catatan, seingat saya, berita pertama soal bencana Tsunami di Aceh, pada Desember 2005 lalu, justru muncul dan diketahui publik lewat blog pribadi di Internet. Jadi, tidak melalui saluran-saluran media yang konvensional.
Dengan demikian, kehadiran “jurnalisme warga” ini juga telah menjadi tantangan bagi jenis “jurnalisme mapan,” yang diterapkan di media-media konvensional, seperti: suratkabar, majalah, radio, dan televisi.
Membaurnya Newsroom dan Bagian Bisnis
Perkembangan kedua yang patut dicermati berkaitan dengan kondisi lingkungan tempat industri media tersebut hidup. Kondisi lingkungan memberi tekanan-tekanan pada institusi media bersangkutan. Globalisasi, yang ditandai dengan pergerakan bebas informasi, uang, tenaga kerja, produk dan jasa melintasi batas-batas tradisional negara, makin mendesak berbagai institusi media untuk betul-betul bersifat kompetitif, jika mau survive.
Tren terakhir menunjukkan semakin ketatnya iklim persaingan dan semakin menguatnya nilai-nilai kepentingan ekonomi (profit) atas nilai-nilai “jurnalisme murni”. Pemilihan topik atau isyu untuk diliput, misalnya, semakin mempertimbangkan faktor untung-rugi (cost-benefit) secara finansial. Jadi, tidak semata-mata hanya mempertimbangkan nilai “jurnalisme murni.”
Contohnya terlihat nyata di media cetak pada tahun-tahun terakhir ini, dengan makin tipisnya jarak antara newsroom atau bagian redaksi (editorial) dengan bagian bisnis atau usaha. “Pembauran” bagian redaksi dengan usaha ini dipraktikkan dalam operasional sehari-hari di sejumlah koran nasional.
Mereka sudah mematok tanggal atau hari tertentu untuk halaman khusus otomotif, teknologi informasi, pendidikan, dan sebagainya. Penentuan tanggal dan hari tersebut dikoordinasikan jauh-jauh hari, antara bagian redaksi dan bagian sales, marketing, dan periklanan.
Tujuannya, supaya di halaman koran termaksud terjadi kombinasi content yang pas, antara artikel/berita dengan iklan yang dipasang. Artikel-artikel yang bertopik otomotif, misalnya, akan didampingi oleh iklan-iklan dengan topik yang sejenis. Seperti, iklan mobil, asuransi mobil, perangkat audio mobil, sepeda motor, ban, minyak pelumas, akumulator, dan sebagainya.
Sudah barang tentu, dalam penentuan halaman mana untuk rubrik/topik apa, bagian usaha akan lebih cenderung memilih topik yang secara finansial akan mendatangkan keuntungan yang besar. Sebaliknya, topik-topik yang diduga tidak akan menarik minat pihak pengiklan, cenderung untuk tidak diliput sama sekali.
Artinya, pemilihan topik untuk diliput tidak ditentukan (semata-mata) oleh penting-tidaknya topik itu bagi khalayak pembaca, tetapi lebih oleh prospek keuntungan finansial (iklan) dari topik yang dipilih itu untuk perusahaan media. Dan hal ini dilakukan secara sadar bersama-sama antara bagian redaksi dan bagian usaha dari koran tersebut.
“Kesadaran akan aspek finansial” di kalangan jurnalis
Dalam bentuk yang lebih subtil, hal itu juga dilakukan di media televisi. Saya mengambil contoh yang berlangsung di Trans TV, walaupun saya yakin hal semacam ini sedikit-banyak juga dipraktikkan di stasiun-stasiun televisi lain.
Misalnya: Seorang reporter program Sisi Lain akan membuat liputan tunggal tentang kehidupan malam di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Oleh si produser, si reporter akan ditanya: “Ada nggak topik-topik lain di Yogya –selain kehidupan malam di Malioboro- yang kira-kira menarik untuk diliput? Soalnya, biaya liputan ‘kan mahal. Sayang, kalau tim kita bolak-balik Jakarta-Yogya dan hanya mendapat satu liputan”.
Si reporter menjawab: “Ada, Mas. Yaitu, tradisi pembuatan keris yang makin langka. Juga kerajinan perak di Kotagede….”
“Nah, kalau begitu, sekalian saja diliput dua topik tambahan itu. Lumayan, kan. Jadi, sekali DLK (dinas luar kota), kita bisa dapat tiga episode sekaligus, cukup untuk tiga hari tayangan. Cuma tolong, risetnya diperkuat dulu sebelum berangkat, agar hasil liputannya lebih mendalam,” ujar si produser.
Dialog semacam ini adalah gambaran sehari-hari dalam kehidupan di Divisi News Trans TV. Kepada si produser, begitu juga reporter, camera person, dan unsur-unsur lain dalam proses liputan, sejak awal ditanamkan “kesadaran akan biaya.” Jadi, yang dipertimbangkan bukan cuma nilai jurnalistik semata.
Hal semacam ini tidak dirasakan pada awal tahun 1990-an, ketika kondisi ekonomi nasional masih baik dan krisis ekonomi belum melanda Indonesia. Di sejumlah media cetak nasional yang mapan semacam Kompas, misalnya, tidak ada aturan pembatasan finansial yang berlebihan dalam melakukan liputan. Sementara bagian redaksi seolah jalan sendiri, tak mau direcoki oleh bagian bisnis/iklan.
“Tugas bagian iklan adalah cari duit, sedangkan tugas bagian redaksi adalah bikin liputan yang bagus. Bagian iklan tak usah ikut campur dalam urusan redaksi.” Ini adalah sentimen umum di kalangan jurnalis pada waktu itu. Namun sekarang, dorongan yang dimajukan oleh pemilik media adalah “perlu kerjasama dan koordinasi yang baik” antara bagian redaksi dan bagian usaha/bisnis.
Tekanan kompetisi dan pengelompokan media
Terakhir, tekanan kompetisi lokal maupun global, serta dorongan untuk makin meningkatkan efisiensi, menurunkan cost, dan meningkatkan profit, memunculkan berbagai merger atau aliansi antara berbagai institusi media, khususnya di media televisi siaran di Indonesia.
Hal ini bisa dilihat dari mengelompoknya RCTI, TPI, dan Global TV di bawah payung MNC (PT. Media Nusantara Citra). Kelompok kedua, dengan payung PT. Bakrie Brothers (Grup Bakrie), membawahi: ANTV dan Lativi. Kelompok ketiga, dengan payung PT. Trans Corpora (Grup Para), membawahi: Trans TV dan Trans-7 (dulu TV7).
Konvergensi perusahaan media juga melahirkan grup media, yang dapat memanfaatkan materi berita yang sama untuk disebar ke berbagai jenis media yang berbeda di bawah naungannya. Bayangkanlah, sebuah grup perusahaan media yang membawahi produk media suratkabar, majalah, radio, televisi, dan situs Internet.
Karena pertimbangan efisiensi dan sinergi, tentu akan sangat mengurangi biaya operasi dan meningkatkan keuntungan, jika item berita karya seorang jurnalis di satu media bisa dimanfaatkan pula di media-media lain dalam satu grup media yang sama. Hal semacam ini sudah lama dilakukan di jaringan suratkabar di bawah Grup Jawa Pos.
Dengan demikian, seorang jurnalis mungkin akan dituntut untuk memiliki kemampuan menulis dengan format yang berbeda-beda, karena tulisannya bukan cuma akan dimuat di satu jenis media, tetapi juga di jenis-jenis media lainnya.
Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) menimbulkan peluang-peluang baru dalam berbisnis. Salah satunya adalah bisnis multimedia content provider. Konsep multimedia di era ICT tidak sekadar banyak media, seperti media cetak, media elektronik, atau media online. Namun, di era ICT, multimedia berbicara mengenai konvergensi, yaitu bagaimana sumber-sumber informasi yang tersaji dalam pelbagai media bermuara pada satu jendela.[5]
Jurnalis dan praktisi media yang diharapkan oleh kalangan industri
Dari sekian uraian di atas, penulis mencoba membuat rangkuman sederhana. Berdasarkan latar belakang perkembangan pesat teknologi media, pergeseran struktur dan pola operasional institusi media, serta tekanan kompetisi yang ketat dalam iklim globalisasi, jenis jurnalis dan praktisi media yang dibutuhkan industri media tampaknya juga telah berubah.
Pertama, berkembangnya jenis-jenis media baru menuntut penyesuaian keterampilan tertentu bagi para jurnalis, untuk memahami, menguasai dan berkiprah di jenis media baru tersebut. Jenis media baru ini, berkat konvergensi teknologi, tampaknya tidak lagi secara sederhana bisa dipilah dalam pembagian media cetak dan media elektronik.
Dengan demikian, muncul pertanyaan, apakah pembagian pengajaran jurnalisme untuk media cetak, media elektronik, dan media online –seperti yang kini berlaku dalam kurikulum program S-1 Ilmu Komunikasi di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta—masih dapat atau masih perlu dipertahankan?
Penulis memperkirakan, dalam satu-dua tahun ke depan, mungkin pembagian ini masih bisa dipertahankan. Namun, mulai saat ini, kepada para mahasiswa S-1 harus sudah mulai diperkenalkan tentang akan makin berkembangnya apa yang saya sebut “jurnalis multimedia,” yakni tipe jurnalis yang tidak secara sederhana dibatasi dalam sekat media cetak, media elektronik, dan media online.
Kedua, berkembangnya jenis jurnalisme baru, yang praktis memungkinkan setiap orang yang punya akses Internet bisa menjadi “jurnalis dadakan” –bahkan “pemilik media dadakan”- memberi tantangan baru pada industri media konvensional dan profesi jurnalis yang sudah mapan. Hal ini pada gilirannya juga membangkitkan pertanyaan, seberapa jauh kurikulum pendidikan S-1 Ilmu Komunikasi di perguruan tinggi telah membekali mahasiswa untuk menangani perkembangan ini.
Ketiga, iklim kompetisisi yang semakin ketat dan tantangan globalisasi membutuhkan jurnalis dan praktisi media, yang memiliki ketahanan mental, tanggap terhadap lingkungan, berwawasan luas, dan sekaligus kemampuan beradaptasi yang tinggi menghadapi berbagai perubahan cepat yang terjadi. Oleh karena itu, penyiapan dasar-dasar keilmuan bagi para mahasiswa Ilmu Komunikasi hendaknya ditekankan pada dimilikinya “daya adaptasi” dan “daya kompetisi” yang tinggi.
Oleh karena itu, menurut saya, sangat penting jika para dosen berkualifikasi tinggi yang mengajar di S-1 memberi “dasar keilmuan yang kuat” pada para mahasiswanya. Tujuannya bukan untuk mengajarkan perkembangan teknologi media terbaru, karena dunia akademis pasti akan selalu kalah cepat dengan perkembangan teknologi informasi di industri media, yang terus berubah dan berkembang dari tahun ke tahun.
Gadget dan perangkat teknologi media boleh berubah cepat, tetapi dasar-dasar keilmuannya toh relatif mantap dan tak berubah drastis. Jika mahasiswa bisa mendapat landasan dan dasar keilmuan yang kuat, mereka diharapkan tidak akan terlalu sulit beradaptasi dengan perkembangan industri media dengan berbagai perangkat teknologi informasinya.
Berdasarkan pengalaman saya menangani sejumlah mahasiswa yang magang atau melakukan KKN di Divisi News Trans TV, mereka terlihat punya bekal ilmu atau teori yang lumayan. Tetapi, mereka tampak tidak memiliki kesiapan mental untuk benar-benar beklerja di industri media yang menuntut komitmen tinggi. Mereka terkaget-kaget ketika harus ikut syuting larut malam, misalnya. Atau, mereka mengira, bekerja di industri TV itu seperti orang yang kerja kantoran biasa, yang masuk kantor pukul 8.30 pagi dan sudah bisa pulang pukul 17.00 sore.
Demikianlah sedikit sumbangan pemikiran yang bisa saya sampaikan. Semoga kontribusi sederhana ini dapat memberi manfaat, bagi pengembangan kurikulum Ilmu Komunikasi yang betul-betul tanggap dengan kebutuhan dunia industri media, dan pada saat yang sama juga terus mendorong pengembangan Ilmu Komunikasi itu sendiri.
sumber : satrioarismunandar6.blogspot.com
12 April 2008
Perkembangan Industri Media
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar