Manajer media harus membawahi berbagai jenis pekerja, dari bagian produksi/teknisi, sirkulasi, periklanan, front-office, dan staf redaksi. Dari semua pekerja ini, staf redaksi biasanya menjadi tantangan terbesar, karena para jurnalis sering bekerja berdasarkan motivasi yang berbeda ketimbang pekerja lain yang berorientasi tugas atau staf bagian bisnis. Pemahaman tentang apa yang memotivasi karyawan (jurnalis) ini penting bagi manajer, agar mereka dapat mengelola stafnya secara lebih efektif.
Kegagalan memahami motivasi para jurnalis ini menjadi sebab mengapa begitu sulit menerapkan gaya manajemen partisipatif di newsroom, justru ketika departemen lain bisa menerimanya dengan lebih mudah. Tampaknya terdapat lebih banyak skeptisisme di kalangan jurnalis, serta keengganan umum untuk berubah. Di bawah ini diuraikan sebagian ciri-ciri umum atau nilai-nilai di kalangan jurnalis, untuk memberi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana memotivasi mereka.
Kebutuhan ego. Bukan rahasia lagi, banyak jurnalis memiliki ego yang tinggi, yang perlu dipuaskan secara rutin dengan memberi byline pada setiap karyanya yang dimuat di suratkabar. Faktor kepuasan ego ini yang membuat banyak pekerja di bisnis media tetap bertahan di dunia jurnalistik, meski mereka sadar bisa memperoleh penghasilan yang lebih baik atau mendapatkan suasana kerja yang tidak terlalu menimbulkan stres di jenis pekerjaan lain. Ego bisa menjadi aset bagi jurnalis, tetapi juga menjadi beban bagi manajer yang harus menangani mereka. Jurnalis yang egoistis sering sulit menerima kritik terhadap karyanya dengan lapang hati.
Idealisme. Salah satu problem utama yang dihadapi redaktur adalah menghadapi kengototan reporter, yang ingin memandang berbagai masalah sebagaimana seharusnya, bukan sebagaimana adanya. Ini terjadi umumnya pada reporter-reporter baru. Konflik ini sering muncul ketika seorang reporter menyadari, gaya tulisannya dianggap terlalu berbunga-bunga atau sebaliknya terlalu datar oleh sang redaktur. Atau, ketika redaktur menuntut sang reporter melengkapi jumlah narasumber dalam artikel yang ditulisnya. Padahal si reporter merasa, jumlah narasumber sudah cukup. Mereka akan mengatakan, instruksi redaktur itu tidak sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari di sekolah jurnalistik. Friksi bisa jadi akan muncul, antara reporter yang menggunakan pendekatan idealistis berhadapan dengan redaktur yang berpandangan realistis.
Skeptisisme. Dibandingkan ciri-ciri jurnalis lainnya, skeptisisme tampaknya adalah yang paling merepotkan manajer. Sejak awal menjalani profesinya, para jurnalis dilatih untuk skeptis pada segala sesuatu, dan ini berkelanjutan sampai ke opini si jurnalis terhadap organisasi, kebijaksanaan kantor dan manajernya sendiri. Skeptisisme itu tidak bisa berdampingan harmonis dengan rasa hormat dan kepatuhan buta terhadap otoritas, siapa pun yang menjadi figur otoritas tersebut, baik narasumber berita maupun redakturnya sendiri. Skeptisisme ini menyebabkan setiap upaya pembaruan dalam gaya kepemimpinan di newsroom perlu waktu lama sebelum bisa diterapkan, karena pertama-tama si manajer harus meraih kepercayaan dari para jurnalis. Ini adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan.
Keagresifan. Dikombinasikan dengan skeptisisme, keagresifan (aggresiveness) atau ketegasan (assertiveness) dapat menghasilkan seorang reporter yang pemberani dan tangguh di lapangan. Namun, hal itu juga dapat menghasilkan seorang karyawan yang sulit diatur. Para redaktur merasa senang, jika reporternya agresif mengejar berita. Namun, mereka tidak siap menghadapi reporter yang dengan agresif bertanya, mengapa berita mereka dipotong oleh redaktur begitu rupa, atau diubah di sana-sini. Banyak produser dan redaktur akan berusaha sedapatnya menghindarkan terjadinya konfrontasi yang sengit di newsroom. Bawahan yang agresif bisa memberi pengaruh tertentu pada atasannya. Sikap agresif seperti ini biasanya juga dimiliki oleh staf sales.
Kreativitas. Studi menunjukkan, salah satu yang memberikan kepuasan kerja dan motivasi pada jurnalis adalah kesempatan menulis cerita yang menarik dari fakta-fakta yang ia kumpulkan di lapangan. Kreativitas juga memberi inspirasi pada praktisi periklanan, ketika merancang iklan yang unik bagi kliennya. Namun di sisi lain, orang yang sangat kreatif mungkin tak mudah diawasi atau diatur, dibandingkan karyawan lain yang cenderung mengikuti prosedur operasi yang standar. Reporter atau praktisi periklanan yang kreatif sering lebih suka mengikuti kemauannya sendiri, ketimbang aturan organisasi. Namun, tanpa kreativitas si pembuatnya, kita mungkin tak akan menemukan artikel atau iklan yang menarik. Dengan kreativitas, keterpaduan antara tujuan individu dan tujuan perusahaan menjadi sangat penting.
Individualisme. Jurnalis yang memiliki individualisme yang kuat sering sulit bekerjasama dengan rekan-rekannya sebagai bagian dari tim. Profesi ini juga menyajikan suatu ironi. Meskipun reporter dan redaktur media cetak berhubungan erat dalam lingkungan komunal yang dinamakan newsroom, pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing sangat individualis. Hal ini kurang terasa di media televisi, di mana reporter dan camera person harus bekerja berdampingan, tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Kadang-kadang keduanya juga bekerjasama dengan producer lapangan. Kenyataannya, banyak reporter bertahan di profesi ini justru karena hakikat pekerjaannya yang relatif bersifat individual. Bisa saja, seorang reporter membuat penugasan sendiri, mengumpulkan informasi sendiri, lalu menuliskan berita dan menyerahkannya ke desk yang mungkin tidak akan banyak menyunting isinya. Dengan adanya reporter yang kompeten, bisa jadi sang redaktur menerima baik individualisme si reporter, karena memandang si reporter sebagai karyawan yang bisa “jalan sendiri” dan hanya membutuhkan pengawasan minimal.
Profesionalisme. Banyak jurnalis menganggap dirinya profesional. Namun definisi profesionalisme itu sendiri sering tak jelas. Jurnalis, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah sebuah profesi (profession). Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990)[1] adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan intensif. Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan khusus. Samuel Huntington[2] menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri: Keahlian (expertise); tanggung jawab (responsibility); dan kesejawatan (corporateness).
sumber : Satrio Arismunandar
04 Juni 2008
Berbagai Motivasi Jurnalis
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar