Menulis resensi buku sebenarnya mirip dengan memilih calon istri atau calon suami. Mengapa demikian? Karena suatu resensi, apapun obyeknya (resensi film, buku, drama, teater, pembacaan puisi, musik, dan sebagainya), pada akhirnya memberikan suatu penilaian, dan kemudian tentunya suatu pertimbangan, saran, rekomendasi kepada pembaca untuk menentukan sendiri sikapnya terhadap obyek yang diresensi tersebut.
Sebelum memilih istri, misalnya, si laki-laki akan membuat penilaian atas berbagai aspek. Aspek luar, yang bisa langsung terlihat: kecantikan, bentuk tubuh, cara bicara, cara makan, dan cara berpakaian, dari calon istrinya. Aspek dalam, yang membutuhkan pengamatan lebih intens: kesabaran, kebaikan hati, sikap pengertian, kesetiaan, kecerdasan, dan sebagainya.
Dalam meresensi buku dan karya-karya lain, hal serupa juga dilakukan. Apakah pertunjukan musik Dewa itu cukup bermutu? Apakah aksi panggungnya menarik? Bagaimana tata suaranya? Apakah dengan kualitas pertunjukan semacam itu, harga karcis masuk Rp 100.000 per orang tidak terlalu mahal?
Apakah buku novel terbaru karya Ayu Utami ini layak dibaca? Apa kelebihan atau kekurangannya dibandingkan karya Ayu sebelumnya, Saman? Adakah unsur-unsur yang baru dalam buku Ayu kali ini, dari segi jalan cerita, karakter tokoh-tokohnya, atau tema yang dipilih? Apakah isinya relevan dengan konteks situasi Indonesia masa kini? Dan seterusnya.
Adanya unsur penilaian inilah yang membedakan resensi buku dari sekadar ringkasan atau rangkuman isi buku belaka. Banyak penulis resensi yang lupa akan esensi suatu resensi, sehingga yang ia tulis sebenarnya cuma ringkasan isi buku. Sampai akhir tulisannya, pembaca tetap tidak tahu apakah buku itu memang layak dibaca atau tidak, apakah isinya bermutu tinggi, rendah, atau sedang-sedang saja.
Persyaratan dan Kriteria
Buku yang mau diresensi:
Untuk keperluan resensi buku di media massa, buku yang mau diresensi sebaiknya buku baru, jangan buku lama, meskipun resensi sebetulnya bisa dilakukan terhadap buku mana saja dan terbitan tahun berapa saja. Kalau resensi dilakukan tahun 2005, buku yang diresensi sebaiknya buku terbitan tahun 2005 juga. Hal ini karena media massa mementingkan aspek aktualitas.
Buku yang diresensi sebaiknya juga buku yang cukup baik dan layak dibaca. Pembaca tidak mau membuang-buang waktu untuk membaca resensi terhadap buku yang secara pengamatan kasar saja sudah terlihat betul-betul bernilai "sampah". Pengelola media massa juga tidak mau menyisihkan ruang di medianya untuk buku semacam itu, karena toh masih banyak buku lain yang jauh lebih bermutu.
Buku yang mau diresensi sebaiknya buku yang isinya memang kita anggap penting diketahui pembaca/masyarakat. Buat apa masyarakat disodori buku yang isinya tidak berkaitan dengan kepentingan mereka?
Ada bagusnya juga jika topik/tema buku yang diresensi itu relevan dengan konteks situasi yang berkembang. Sebagai contoh: ketika sedang ramai-ramainya aksi pemboman militer Amerika terhadap Afganistan, dengan dalih mencari tersangka teroris Osama Ben Laden, November 2001, Harian Kompas memuat resensi buku tentang Osama Ben Laden. Aspek kontekstualitas ini penting bagi media massa.
Persyaratan bagi Peresensi
Peresensi sebaiknya memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk memahami isi buku bersangkutan. Peresensi yang sama sekali tidak tahu sastra, dan tidak pernah membaca buku-buku sastra, tentu akan sulit kalau disuruh meresensi novel baru karya Pramudya Ananta Toer.
Contoh lain, orang yang tidak pernah belajar fisika disuruh meresensi buku karya pemenang Nobel Fisika tahun 2005. Ya, kalau dipaksakan tentu saja bisa, tetapi kualitas resensi macam apa yang bisa kita harapkan dari sini?
Ada suatu penerbitan di Amerika, yang isinya sepenuhnya adalah resensi-resensi buku. Yang hebat, para pembuat resensi itu bukan orang sembarangan, tetapi para ahli dan pakar (beberapa di antaranya pemenang Hadiah Nobel). Buku yang diresensi pun adalah karya terpilih, juga karangan orang-orang hebat.
Akibatnya, resensi-resensi yang umumnya sangat panjang dan mengupas secara mendalam isi buku tersebut bernilai tinggi, bahkan mungkin tidak kalah dengan isi buku yang diresensi itu sendiri. Dengan membaca resensi semacam itu, yang ditulis oleh mereka yang sangat menguasai bidang keahliannya, pembaca mendapat tambahan pengetahuan yang luar biasa.
Hal-hal apa yang patut dinilai dalam resensi buku:
Seperti contoh dalam kasus memilih calon istri, dalam meresensi (menilai) suatu buku, secara garis besar ada dua aspek yang bisa dinilai: aspek luar (penampilan) dan aspek dalam (isi).
Aspek luar, misalnya:
Perwajahan kulit muka. Apakah kulit mukanya enak dipandang dan menarik?
Berat dan ketebalan. Apakah ukuran buku ini terlalu besar, atau justru terlalu kecil? Apakah terlalu berat, terlalu tebal, atau terlalu ringan dan tipis?
Desain halaman dalam. Apakah desainnya menarik sehingga enak dipandang, atau malah membosankan?
Jenis kertas yang digunakan. Apakah jenis kertasnya (kertas koran, HVS, art paper, kertas daur ulang, dan sebagainya) berwarna terang atau suram? Apakah terlalu berat atau ringan? Apakah kuat atau rapuh.
Jenis huruf/tipografi yang digunakan. Apakah tipografi yang digunakan terlalu kecil, sehingga menyulitkan pembaca? Atau justru terlalu besar, sehingga boros halaman? Apakah tipografinya terkesan terlalu kaku?
Foto, gambar, sketsa, grafik, tabel yang digunakan. Apakah foto dan gambar yang dipasang itu jelas dipandang? Apakah grafik dan tabel yang dipasang mudah dipahami dan efektif?
Harga buku. Apakah terlalu mahal?
Dan lain-lain.
Aspek isi, misalnya:
Apa pokok pikiran yang diajukan penulis? Data dan argumen apa saja yang ia ajukan untuk mendukung pokok pikiran tersebut?
Apakah pokok pikiran, argumen, data dan ide-ide yang tertuang di dalam buku itu cukup orisinil?
Pendekatan atau metodologi apa yang ia gunakan dalam membahas masalah dan pokok pikiran dalam buku itu?
Adakah unsur, pendekatan, perspektif atau pengetahuan baru, yang bisa diperoleh dengan membaca buku ini? Ataukah isinya sama saja dengan buku-buku lain yang sudah lebih dulu beredar?
Apakah isinya relevan dengan konteks situasi yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini?
Apa kontribusi buku ini dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tertentu, yang terkait dengan tema buku ini?
Apakah buku ini disusun secara cermat, teliti, mendalam, atau terkesan ceroboh dan tergesa-gesa?
Apakah sistematika pembahasan dalam buku ini bersifat logis, teratur dan memudahkan pembaca untuk memahami, atau justru sebaliknya rumit, berbelit-belit dan membingungkan?
Adakah kesalahan fakta, data, atau analisis, dalam buku ini? Apakah datanya valid? Adakah bias dari si penulis dalam melihat permasalahan?
Apa tujuan pengarang menulis buku ini? Apakah tujuan itu tercapai dengan terbitnya buku ini?
Apakah si pengarang memiliki kompetensi yang cukup untuk menulis buku ini? Seorang sosiolog tentu akan dipertanyakan kredibilitasnya jika ia menulis buku tentang Ilmu Bedah Kedokteran.
Siapa khalayak pembaca buku ini? Apakah isi buku ini bersifat terlalu mendalam, sehingga lebih tepat untuk pembaca tertentu yang memang memiliki kualifikasi khusus (kalangan akademis atau profesional), atau buku ini cocok juga untuk kalangan pembaca yang lebih awam?
Dan lain-lain.
Macam-macam Pola Penulisan Resensi:
Tidak ada pedoman baku dalam penulisan resensi. Namun secara kasar, penulisan resensi untuk media massa mengikuti konvensi umum seperti dalam penulisan artikel lain. Unsur-unsurnya sebagai berikut:
Judul resensi yang menarik. Di media massa, judul yang menarik (eye-cathing) ini perlu dan mutlak.
Deskripsi judul buku, nama pengarang (atau penyunting), nama penerbit, tahun terbit, kota tempat penerbitan, jumlah halaman, dan harga buku (boleh dicantumkan, boleh juga, tidak). Ini disebut Heading dan biasanya dicantumkan di awal resensi. Misalnya: Makna Cinta dan Perkawinan di Era Globalisasi, Dian Kencana Dewi, Bandung: Unpad Press, 2005, vii + 237 hlm.
Alinea pembuka (dalam teknik penulisan berita, disebut sebagai Lead). Alinea pembuka atau Lead ini bersifat sebagai pemancing agar pembaca mau membaca resensi, maka Lead ini harus dibuat semenarik mungkin. Dalam membuat Lead, peresensi, misalnya, bisa mengaitkan isi buku ini dengan konteks situasi yang sedang hangat di masyarakat. Misalnya: buku bertema tentang korupsi diterbitkan ketika sedang ramai-ramainya pengadilan kasus korupsi terhadap seorang pejabat tinggi. Lead bersama judul berfungsi penting sebagai penarik minat pembaca.
Deskripsi atau rangkuman tentang isi buku. Di sini peresensi merangkum isi atau esensi buku secara ringkas. Tentu saja, pembaca tidak bisa menilai suatu buku jika bahkan gambaran ringkas isinya pun ia belum tahu. Dalam merangkum isi buku ini, peresensi boleh mengutip satu atau dua kalimat atau alinea yang menarik dari buku tersebut, yang bisa makin memperjelas gambaran isinya.
Komentar, evaluasi dan penilaian. Inilah esensi dari suatu resensi, yakni si peresensi mengomentari dan menilai suatu buku dari berbagai aspek: aspek luar dan aspek isi. Karena keterbatasan ruang di media cetak, tentu tidak perlu seluruh aspek ini dibahas secara rinci. Peresensi boleh memilih aspek-aspek mana yang menurutnya paling penting untuk diulas dan disampaikan kepada pembaca.
Kalimat penutup dan rekomendasi. Dalam kalimat penutup ini, peresensi kadang-kadang secara tegas merekomendasikan bahwa buku bersangkutan memang layak atau tidak-layak dibaca. Kadang-kadang, rekomendasi tegas semacam itu tidak diungkapkan, karena pembaca dianggap sudah bisa menyimpulkan sendiri berdasarkan ulasan panjang sebelumnya.
Identitas si peresensi sering juga dicantumkan di bagian akhir resensi. Manfaatnya adalah untuk menunjukkan kredibilitas si peresensi dalam meresensi buku bertema tertentu. Misalnya, di akhir sebuah resensi tentang buku Kehumasan, identitas peresensi disebutkan: Dian Eka Puspitasari, staf Humas Trans TV. Artinya, si peresensi mau menunjukkan, ia adalah praktisi Humas dan karena itu memiliki cukup kompetensi untuk meresensi buku bertema Kehumasan.
sumber ; Satrio Arismunandar
04 Juni 2008
Kiat Menulis Resensi Buku
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar